Posted by : mulhaeri azzahra Selasa, 17 Januari 2017




Perihal Mudik
Rani Ar Rayyan*

Sejak bapak ibu meninggal dunia, dan rumah satu-satunya dikontrakkan, mudik tak pernah lagi menjadi alasan untuk pulang. Tiga belas tahun yang telah lewat atau barangkali telah masuk empat belas. Tak lagi benar-benar utuh dalam ingatan tentang kapan terakhir aku pulang, karena tak lagi penting. Dan jelas saja, apalah arti pulang tanpa bapak atau ibu yang menanti dengan setia. Dulu—tentu saja selalu mengangkat kisah tentang dulu—ibu tak selalu berhasil menutup mata dengan rapat sampai aku tiba di rumah dengan selamat, bercerita banyak tentang peristiwa yang terlewati di rantauan hingga fajar menjelang, besok-besoknya meja makan akan dipenuhi oleh aneka makanan kesukaanku. Dan kini, kerinduan itu tentu saja masih tersimpan di kedalaman. Dan selalunya hanya berakhir seperti itu, menyimpan dalam-dalam, membiarkannya hidup sendiri pada hati. Tapi pada asal muasal yang bagaimana hingga kemudian kuputuskan untuk mengejar penerbangan terakhir malam itu. Hanya sebuah tas ransel yang kusesaki begitu saja pakaian dan sedikit cemilan di dalamnya.  Hatiku terpanggil pulang, itu saja. Barangkali dari kedalaman,  pengakuan rindu itu menuntut untuk diwujudkan. Lebaran. Suasana takbir. Burasa[1]. Gambang[2]. Entah, setitik air dan lama-lama menjadi banjir memenuhi wajahku. Aku menangis seperti anak kecil. Untung saja, pesawat sudah berada di atas awan. Sehingga aku tak perlu khawatir dengan rasa iba teman duduk di sekitaranku. Pun barangkali mereka merasakan hal yang sama. Larut dalam kerinduan. Dan sebaik-baiknya jawaban adalah pulang.
“Baru kuputuskan untuk pulang sejak dua puluh lima tahun di rantauan. “ Bapak pas di sampingku mengangkat bicara begitu menganggap perasaanku sudah stabil, barangkali. Pun berani kupastikan, dia seperti mengamati keseluruhan tingkahku beberapa menit yang lalu. Seharusnya aku malu.Tapi dia seperti teman bagiku—saat itu juga—menyodorkansekotak tissue yang dirogohnya dari kantongan tempat duduk di depannya. Barangkali wajahku terlihat parah sekarang.
“Lebaran dan mudik adalah momen yang paling ditunggu oleh kami yang tinggal di tanah rantau.” Suaranya terdengar tegas namun tenang—lebih tepat, berbicara sendiri. “Dua puluh lima tahun adalah penantian yang tentu saja sangat lama.
“Yang pas di sampingku adalah anakku yang tertua, di kursi depan ada istriku dan dua anakku yang lain.” Segera kualihkan pandanganku pada remaja perempuan yang hanya si bapak menjadi perantara di antara kami. Dia sudah lelap dalam tidur, kelihatannya. Tanpa sedikit pun terganggu dengan pembicaraan di dekatnya.
“Tujuan bapak kemana?” Pada akhirnya kuputuskan untuk bertanya.
“Soppeng.”
“Bone.”Balasku.
“Soppeng dan Bone dulunya adalah dua kerajaan yang begitu bersahabat, Tellumpoccoe ri Limpo adalah bukti persahabatan mereka … Wajo juga.”
Arah perbincangan yang sebenarnya tak benar-benar membuatku tertarik. Namun kubiarkan saja dia berkisah panjang lebar,  hingga kupastikan dia sudah berhenti. Setidaknya membuat perasaanku lebih baik kali  ini.
“Kalau boleh tahu kenapa bapak baru memutuskan untuk pulang?”
Ada tawa dipaksakan dari sana.
“Pulang tak hanya membawa satu orang, anak muda … tapi lima orang … dan itu bukan nominal angka yang kecil untuk orang-orang seperti kami.”
“Tentu saja bapak merasa bahagia pada akhirnya bias pulang sekeluarga kali ini.”
“Ya. Tentu saja.” Dan kali ini tawanya terdengar tulus.” Dan kamu sendiri, anak muda? Kamu hanya seorang?”
Pertanyaan seperti itu yang sebenarnya kuhindari. Tapi karena aku sendiri yang telah memulai maka menjawabnya adalah keputusan yang tidakperlu lagi dihindari.
“Sendiri. Sudah hampir tiga bulan aku dan istri sudah tidak tinggal serumahlagi … biasa, percekcokan rumah tangga, dan anakku tentu saja kubiarkan untuk tinggal bersama ibunya … mereka masih kecil dan aku tak menjamin bias menjaga mereka setelaten ibunya.”
Tawa si bapak kembali terdengar.
“Berarti Ramadan tahun ini benar-benar menyedihkan untuk kau lewati.” Tambahnya—menohok.
“Juga lebarannya.” Dan kali ini kuperkuat.
“Dan maka dari itu kau memutuskan untuk pulang,  padahal alangkah bahagianya jika kau membawa serta istri dan anakmu.”
Mau tidakmau, ada tawa yang juga kupaksakan.
“Pun aku sudah begitu lama tidak pulang juga … tapi masih lebih lama bapak tentunya.” Entah, kuputuskan untuk berkisah kali ini, membunuh kantuk.“ Aku tidak punya tempat tujuan ketika pulang kampung sejak kedua orang tua berpulang.”
Hening. Dan suara dengkuran halus yang mulai terdengar beberapa saat kemudian. Mataku masih terjaga, mengalihkan pandangan pada jendela yang menghadirkan temaram lampu dari bawah sana. Apa kabarmu, Makassar?! Lama tak jumpa—sangat. Hanya tampilan layar kaca yang menceritakan keadaanmu kini. Puluhan tahun lalu tentu tak ada bandingannya dengan hari ini. Dan gemuruh yang kembali membuncah dari hati. Tangisku kembali pecah begitu kalimat si bapak barusan kembali terngiang, Lebaran dan mudik adalah momen yang paling ditunggu oleh kami yang tinggal di tanah rantau.Tapi kenapa kurasakan nelangsa yang semakin dalam bahkan saat mobil penumpang membawaku menempuh perjalanan empat sampai lima jam untuk tiba di kota Bone beberapa saat kemudian. Kembali aku menangis seperti anak kecil. Karena kini kurasakan keperihan yang lain, ketika kepulangan itu tak mempunyai tempat tujuan. Wajah ibu bapak seperti dekat sekali pada ingatan : suasana masa kecil dengan baju yang masih bau took menjadi hadiah dari bapak apabila aku berhasil khatam alquran selama ramadan, juga aroma kayu bakar yang di atasnya bertengger sepanci besar burasa menjadi tugas utamaku untuk memasukkan kayu baru begitu apinya sudah terlihat kecil. Kemana akan kutemui semua itu. Seketika rindu membuncah, pada istriku, juga anak-anakku. Telah jauh keegoan itu menguasai hatiku selama ini.
“Jadi sesampai di Bone kamu akan langsung kemana? Si Bapak masih mencecarku begitu keluar dari bandara tadi. Istri dan anak-anaknya tetap setia mengekor di belakang dengan beban barang yang pastinya berisi oleholeh untuk sanak keluarga di kampung.
“Mungkin langsung  ke masjid … atau ke rumah keluarga lain yang semoga saja masih ada yang tersisa.”
“Anak muda … pulanglah, selalu ingat untuk pulang … mungkin kita tak punya rumah tujuan, tapi kampong halaman selalu menjadi rumah darimana asal muasal kita berada.”
Si bapak ada benarnya. Suatu hari nanti barangkali akan kuputuskan untuk pulang lebih sering.  Untuk melihat makam ibu bapak yang sudah jelas tak terurus sekarang. Dan tentu saja,  untuk menjenguk kenangan. Karena perihal mudik itu adalah rindu dan pulang.

*Penikmat becak dan teh hangat

Terbit di Kolom Budaya Fajar, Edisi 17 Juli 2016



[1]Makanan khas Bugis saat lebaran yang terbuat dari beras biasa yang dicampur dengan santan setelah itu dibungkus dengan daun pisang dan butuh waktu yang cukup lama untuk memasaknya.
[2] Tape, terbuat dari beras ketan yang difermentasikan

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -