Posted by : mulhaeri azzahra Selasa, 28 Maret 2017







Saya mengenal Banggai dari seorang perempuan Banggai yang begitu kukagumi karya-karyanya. Ia mengenalkan Sebelum Hujan di Sea-Sea, Ning di Bawah Gerhana, Rumah Perahu, dan Kei : Kutemukan Cinta di Tengah Perang.
Dari sebuah wawancara yang kemudian saya kutip, ia mengatakan lahir dan tumbuh di Desa Lipulalongo, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, dengan kondisi serba terbatas di pelosok membuatnya termotivasi untuk belajar dan mengubah nasib. Ia sadar betul, kata bisa menjadi pedang tajam jika disuarakan dengan tepat. Ia konsisten mengangkat kerumitan masalah di pedesaan dan meraciknya jadi amunisi untuk memerangi ketidakadilan.
Hal ini mengingatkan saya pada apa yang pernah ditulis oleh Leila S. Chudori dalam pengantar kumpulan cerpennya Malam Terakhir dimana Virginia Wolf, seorang sastrawan Inggris menggugat mengapa jumlah penulis perempuan jauh lebih sedikit, hingga dia mengatakan, “For most of history, Anonymous was a woman.” Meski Leila pengagum fanatiknya, dan memiliki seluruh buku karyanya, baru 20 tahun kemudian ia betul-betul tunduk pada pendapat Virginia Woolf ini. Para penulis, para kreator membutuhkan sebuah “ruang”, tetapi para penulis perempuan membutuhkan ruang pribadi yang jauh lebih besar, lebih kukuh dan pribadi untuk membuat sebuah karya yang jujur dan bercahaya.
Adalah Erni Aladjai, penulis perempuan yang lahir dari rahim Banggai yang saya maksud. Adapun Novel Kei yang merupakan salah satu karyanya yang populer setelah menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta—bercerita tentang konflik di Pulau Kei, dekat dengan Banggai Laut—membuat saya tertunduk dan tertegun dalam jangka waktu yang begitu lama, mengambil pada suatu kesimpulan bahwa perang tidak akan membawa apa-apa selain rasa senasib rakyatnya yang kemudian menghapus jarak antara penduduk Kei bahwa tidak ada Islam, tidak ada Kristen, yang ada adalah orang Kei dan semuanya harus saling bahu-membahu.  Jika memang kenyataannya novel ini tetap fiksi, saya ingin kehadirannya tetap bisa menampar krisis kemanusiaan yang merajelala di negara kita.

 

Pun kejujuran tulisan Erni Aladjai yang lain menjadikannya harus berurusan dengan polisi gara-gara karya di kumpulan cerpen Ning di Bawah Gerhana, yang ia sumbangkan ke perpustakaan desa. Cerpen yang bercerita tentang kepala desa yang korupsi saat pilkada itu membuat tersinggung seorang pejabat desa yang kebetulan membaca. Jadilah ia dilaporkan ke polisi, bahkan dituduh antek PKI, padahal tidak ada satu pun isinya memuat tentang PKI.
Pengalaman ini membuat ia sadar betapa suram potret pendidikan di sana.
***
Terlepas dari sudut pandang seorang Erni Aladjai dalam menyikapi persoalan yang terjadi di salah satu pelosok desa di daerah Banggai. Saya memandang dalam sudut pandang yang berbeda, bahwa Banggai patut bersyukur mempunyai aset sumber daya manusia yang mampu menerjemahkan berbagai perihal dalam sebuah ruang yang membuat kata-kata, huruf-huruf dan kalimat-kalimat saling bertemu dan bermesraan. Sehingga kata-kata, huruf-huruf dan kalimat-kalimat tersebut bersenyawa, mempunyai kehidupan dan menari-nari dalam sebuah ruang yang nyata dan begitu menarik.
Banggai yang terkenal dengan kota laut, bahkan keindahan lautnya disebut-sebut sebagai surga yang jatuh di bumi tentu saja adalah aset sumber daya alam yang benar-benar membanggakan, dan bukan isapan jempol belaka. Potensi  pariwisata dan potensi penulis yang menghuni surga dunia tersebut akan menjadi bentuk lain yang kelak akan mengantarkan Banggai menjadi kota laut yang dekat dengan tulisan-tulisan.  Mengingat masih sedikitnya tulisan sastra yang menceritakan tentang laut : laut Indonesia yang paling luas, laut Indonesia Timur, laut Banggai. Hal ini akan menjadi mutiara di masa depan jika disandingkan dengan cara saling bersinergi.
Baiklah, mari kita berkenalan dengan tempat wisata Banggai satu per satu yang semoga saja akan menjadi inspirasi sastra di suatu hari nanti  :
1.      Pulo Dua, Balantak



Terletak di Kecamatan Balantak Utara, dengan menempuh perjalanan darat sekitar 150 Km dari Luwuk. Mempunyai rimbunan flora endemik, dan gugusan bukit serta batu karang yang menjulang tinggi membelah laut. Ada pemandangan menarik lainnya saat musim kemarau, bukit yang mirip pegunungan bernama Tompotika, semua pemandangan yang ada di pantai, bukit dan pegunungan akan terlihat dengan jelas tanpa penghalang seperti kabut dan awan hitam. Pulo Dua ini juga sering dijadikan lokasi syuting Mancing Mania karena terkenal dengan ikan-ikannya yang memang menggoda.

2.      Agro Wisata Salodik





Salodik mempunyai wisata alam yang sangat menarik. Menempuh perjalanan darat sekitar 1 jam dari kota Luwuk. Kawasan ini mempunyai air terjun yang jernih dan terdiri dari beberapa tingkat dengan kedalaman air sekitar 5 meter. Kawasan ini juga ditumbuhi pohon pinus sehingga menjadi hutan wisata.

3.      Danau Tower



Terletak di Desa Tower, Kecamatan Balantak Utara. Daerah ini dikembangkan sebagai area pemancingan bagi para wisatawan. Keberadaan sungai ini menjadi unik, karena selama puluhan tahun pada musim kemarau menjadi kering. Namun belakangan kemudian danau ini tidak pernah lagi kering melainkan menjadi tempat bertemunya air tawar dan air laut.

4.      Air Malino Tontouan
Tempatnya nyaris tak banyak orang mengetahui. Jaraknya hanya sekitar 300 meter dari pemukiman penduduk Desa Tontouon. Yang membuat tempat ini berbeda dari tempat wisata alam lainnya yakni suguhan alamnya yang masih perawan dan belum tersentuh oleh tangan-tangan manusia.

5.      Pantai Kilolima


Merupakan objek wisata alam yang indah dan bersih. Letaknya dijantung kota Luwuk. Beragam makanan khas daerah dari dan luar Banggai tersaji di sepanjang cafe-cafe di tempat wisata ini.

Sungguh, betapa jurus kata-kata akan membuat gambar menjadi nyata dan bernyawa.
Tak hanya berhenti sampai di situ,   
Babad Banggai, yang memuat tentang Kerajaan Banggai merupakan bukti nyata tulisan menjadi periode awal bagaimana Banggai mulai dikenal oleh masyarakat luas. Babad Banggai merangkum tentang bagaimana sejarah Kerajaan Banggai, Sistem Pemerintahannya, Silsilah Raja-Raja, dan Berakhirnya Kerajaan Banggai. Bahkan teman-teman dari Indonesia Mengajar turut meramaikan tentang Banggai melalui jurnal Lentera Banggai, yang tentu saja menilik pada persoalan pendidikan anak-anak Banggai pada titik tertentu masih membutuhkan pembenahan struktur dan infrastruktur lebih spesifik.
Diselenggarakannya FestivalSastra di Banggai merupakan suatu bukti nyata telah sadarnya penulis-penulis tentang potensi yang dimilikinya yang sudah saatnya menunjukkan pada dunia tentang talenta kepenulisan yang subur di sana. Pun saya sudah menerawang jauh ke depan, ketika para generasinya diberdayakan untuk menulis tentang laut Banggai yang indah maka Banggai akan menjadi objek wisata dunia pada tahun mendatang. 
Atau barangkali ke depannya, Banggai tidak hanya dikenal dengan pemandangan lautnya.
Tidak hanya dikenal dengan ubinya yang merupakan ubi satu-satunya di dunia yang hanya tumbuh di Banggai.
Banggai akan dikenal sebagai kota Literasi yang menyuburkan penulis-penulis untuk jujur memakna Banggai tentang laut, tentang Indonesia Timur. Seperti Belitong yang kemudian disorot kamera berkat Andrea Hirata dalam menuliskannya lewat tetralogi Laskar pelangi.
Pun alasan saya untuk hadir pada Festival Sastra Banggai, saya ingin menjadi saksi lahirnya kota laut dan literasi yang sebentar lagi akan BANGKIT DAN BERAKSI ! 


 Tulisan ini saya ikutkan pada lomba menulis di Blog yang diselenggarakan Babasal Mombasa





Referensi :
Chudori, Leila S. 2017. Malam Terakhir. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -