Posted by : mulhaeri azzahra Selasa, 17 Januari 2017





Perempuan yang Mencari Mukanya
Chaery Ma*

Bapak memperkenalkan perempuan itu padaku, dua hari yang lalu, di ruang keluarga yang terhubung langsung dengan taman samping rumah. Tak benar-benar kuperhatikan bagaimana rupa perempuan itu selain aroma rempah-rempah menyengat yang keluar banyak dari tubuhnya—mungkin juga bajunya.  
Namanya tante Kurni, beraroma minyak-minyak segala rupa dari kayu manis, kunyit, ketumbar sampai seledri dan pada hari-hari selanjutnya akan tercium aroma lain yang sulit lagi untuk kuketahui. Barangkali dia menyimpan stok aroma rempah-rempah cukup banyak di tubuhnya—mungkin juga bajunya—digunakan sesuai dengan kondisi perasaan. Juga, dia akan tinggal di rumahku, menetap, dalam jangka waktu yang lama, begitu kata bapak kemudian. Barangkali dia yang menggantikan posisi Sitti—mantan pembantu di rumah—yang meninggal sebulan lalu karena bunuh diri. Pun tentang Sitti, peristiwa bunuh dirinya sudah diceritakan kepadaku sehari sebelumnya. Alasan yang sangat tak masuk di akal, dia sudah bosan hidup. Begitu rumitnya kah menjadi orang dewasa?! Beruntungnya, kasusnya lekas ditangani pihak berwajib secara jelas tanpa perlu mengaitkan berbagai perihal kasus lain—pembunuhan berencana, misalnya. Lagi tentang tante Kurni, tak pernah terlihat sekali pun memegang sapu untuk membersihkan sisa makanan di ruang dapur, jangankan itu, tak ada makanan di atas meja yang berasal dari kerja tangannya melainkan semuanya dipesan dari luar. Atau barangkali dia tidak menggantikan Sitti, mungkin saja dia adalah ... perempuan simpanan bapak. Ah, bapak jelas tak setega itu menghancurkan perasaan mama. Kondisi mama yang memprihatinkan—stroke—tak lantas membuat bapak berpindah ke hati yang lain. Pun tak ada perbandingan yang memadai antara mama dan Tante Kurni. Tak ada. Selain yang satunya cantik, dan yang lainnya jelek. Mungkin saja dia hanya relasi bapak atau saudara jauh, atau orang miskin yang dipungutnya di pinggir jalan, semoga tak jauh dari itu.
***
Dia sekretaris bapak, jawaban yang pada akhirnya kutemui. Dan sejak kapan seorang sekretaris sampai harus tinggal di kediaman bosnya, mengurusi segala hal kebutuhan dari urusan dokumen yang banyak berserakan di atas meja sampai jenis jas yang harus dipakai oleh bapak. Aku jelas berharap mama akan cemburu berat, melemparkan gelas hingga mengenai kepala tante Kurni, tapi sayangnya tidak. Jangankan melempar gelas, mulutnya saja begitu susah untuk melafalkan kata. Kabar buruknya lagi, mama meninggal dalam tidurnya beberapa jam yang lalu. Bapak terlihat terpukul, berkali-kali digoncangnya tubuh mama berharap pas diakhir mama akan tiba-tiba bangun dengan mulut miringnya, lantas bilang : elammm ...at, kaammu dikeyjain. Ini bukan bahan candaan yang baik. Mama pergi, selama-lamanya. Menyusul Sitti. Menyusul yang lainnya. Mungkin sudah bosan hidup juga. Pada rutinitas yang hanya berkutat pada itu-itu saja.
Maka sudah jelas, semakin ke sini, seperti apa status tante Kurni di rumah ini. Dia mengurusi segala sesuatunya, sampai hal sekecil-kecilnya. Mondar-mandir tak karuan di hadapanku, menyebarkan aroma rempah-rempah yang keluar dari tubuhnya. Kali ini aroma merica, tajam dam menampar. Tante Kurni menggantikan posisi mama, secara utuh. Dan lebih sempurna. Kesedihan bapak hanya pada saat mama  diputuskan meninggal oleh dokter, selebihnya wajah itu seperti tak ada kejadian apa-apa. Malamnya, dia sudah tertawa tergelak, saking besarnya, perut gendutnya ikut bergoyang mengimbangi tawanya.
“Mulai sekarang kamu harus hati-hati.” Supri mendekatiku. Setengah berbisik. Setiap menjelang sore dia selalu sembunyi-sembunyi masuk ke rumah. Khawatir tante Kurni akan tiba-tiba mencegat di depan bahkan mengusirnya pulang, maka dia selalu datang di saat tante Kurni sedang pergi di pusat kebugaran, memperbaiki bentuk tubuhnya yang digendongi banyak lemak.
“Dia bukan orang baik ... dia perempuan bermuka seribu, beberapa hari yang lalu dia memelototiku dengan menggertakkan gerahamnya kuat-kuat, dia jelas sangat tidak menyukaiku, lebih tepatnya tidak menyukai kedekatan kita.”
Aku tahu. Jawaban yang kusimpan sendiri. Sesegera mungkin mengusir Supri keluar dari rumah karena sebentar lagi tante Kurni akan tiba.
***
 Bapak tak pulang-pulang. Seminggu, dua minggu bahkan berminggu-minggu. Beberapa awak media datang menyerbu rumah kami. Menanyakan berbagai perihal. Kemana perginya bapak? Dan yang lebih geger bapak menghilang bersamaan raibnya uang perusahaan senilai triliunan rupiah. Tante Kurni yang beberapa saat lalu tertawa terpingkal dari dalam kamarnya, keluar menghadapi wartawan dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin. Betapa mudahnya perubahan ekspresi seseorang. Atau baiknya tante Kurni menjadi bintang film saja, melengserkan posisi Merriam Bellina untuk memerankan emak-emak jahat.
“Dia mulai menjebak bapakmu, setelahnya ini adalah kamu.” Supri menekan kata ‘kamu’ seolah-olah itu adalah kepastian yang tak lagi terganggu gugat. Entah, bagaimana caranya dia bisa lolos masuk ke dalam rumah di saat tante Kurni sedang konferensi pers di luar sana—tepatnya di halaman rumah.
Aku tahu. Jawaban yang masih kusimpan sendiri.
Besoknya tante Kurni membawa keluar semua perabotan di rumah. Entah membawanya kemana. Kali ini dia ditemani seorang lelaki, sepantaran bapak, namun lebih tegap dan gagah, berpakaian dipenuhi berbagai lambang di pundak, di dada juga. Aku ingat, lelaki itu yang selalu muncul di TV, bak pahlawan kesiangan yang katanya membela keadilan. Mereka tertawa bersama. Terbahak. Kali ini tubuhnya mengeluarkan aroma cabe rawit. Panas dan memuakkan. Aku teringat mama. Dulu sekali, mama selalu bilang bahwa tak ada orang yang benar-benar bisa dipercaya. Terlalu banyak muka yang berseliweran, hingga kita tak pernah benar-benar tahu seperti apa muka asli itu yang sebenarnya. Manusia sibuk mencari mukanya, mengenyahkan prikemanusiaan dan mendewakan ego sampai ke langit. Bagaimana baiknya aku, mungkin menyusul mama, juga Sitti adalah satu-satunya jalan. Terdampar di tong sampah belakang rumah adalah jalan menuju ke sana. Tapi aku mengutuk tante Kurni, terlalu ceroboh meninggalkan jejak pembunuhan yang memudahkan para detektif melacak dengan mudah kronologis kematianku, nantinya. Tapi begitulah. Dunia hanya terletak pada permainan bodoh dan yang paling bodoh.
“Sudah kutebak ... kau akan dibuang di sini.” Supri datang, menjatuhkan tong besar itu hingga bergelinding dan berhenti.”Apakah kau sudah mati?”
Aku menangis. Tak bersuara. Pita suaraku sudah rusak permanen sejak kecil. Supri menggoyangkan ekornya, perintah agar aku mengikut. Dia seekor kucing tetangga yang membersamaiku sejak setahun yang lalu. Sayangnya, aku tak punya stok nama bagus untuk kucing sebaiknya. Hanya nama Supri. Berbahagialah, Supri!
*Perempuan yang mimpinya sampai langit


Dimuat di Kolom Budaya Fajar, Edisi 1 Januari 2017

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -