- Back to Home »
- Sepenggal Kisah : Catatan MIWF 2014
Posted by : mulhaeri azzahra
Jumat, 27 Juni 2014
Ini tentang teori kebetulan, jika toh pada akhirnya saya
harus mengakui kalau teori itu memang ada. Tapi memang ada ya?? Hahaha ... saya
akan ditapok sama Harun Yahya atau paling tidak Ippho Santosa jika teori
kebetulan ini kupaparkan pada mereka. Okelah ... terserah, kalian mau
menyebutnya apa kalau begitu, teori relativitas, teori gravitasi, teori
perputaran cahaya (emang ada???) ... itu hak kalian sebagai manusia yang punya
HAM (Hak Asasi Monyet) untuk , #tapok, #kabur ...
Kamis sore waktu itu, entah tanggal berapa (sumpah, saya
paling ribet jika berhubungan mengingat angka), terlebih pukul berapa (angkat
tangan) ... saya membujuk adikku yang waktu itu sangat tidak bisa diajak
kompromi. Coba saja saya tidak berhati malaikat mungkin sudah kucincang dari
tadi tubuh kurus kerempengnya itu, biar tahu rasa!
“Ra ... temanika ke MIWF ... “ Ucapku masih dalam tataran
emosi yang stabil. Saat itu kami berada di lantai bawah gedung Phinisi.
“Idedeeeehhh ... malasku, besokpi saya pergika.” Balasnya
enteng. Sabar ...
“Apakah agendamu hari ini?” Tuh kan, saya masih sangat
demokratis, sangat pakai ‘banget’.
“Tidak ji ... ada saja kuliahku tapi tidak kutahu masuk dosenku
atau tidak ... “ sambil masih ongkang-ongkang kaki menyeruput jus alpukatnnya
yang saya traktir, catat : JUS ALPUKAT, SAYA YANG TRAKTIR DIA.
“Temani mika paeng ... masalahnya tidak kutahu ke Rotterdam
... padahal menunggu temanku di sana.” Nada suaraku mulai memaksa, sedikit.
“Ideeeeh ... mukira kutahu juga.” Masih seenteng tadi.
Tandukku sudah mau keluar, coba ulang lagi kalimat itu ...
“Astaga ... kampungannya kamu, ke Rotterdam saja tidak mutau
... ndak pernahko kah ke sana?”
“Sory nah ... selaluka ke sana ... Cuma ndak pernahka naik
pete-pete, naik motor terus jika ...” Dia mulai terpancing.
“Iiihh ... pokoknya jalan miki saja ... ditau ji itu nanti.”
Akhirnya aku tidak mau kompromi.
“Tidak bisaka ... pusingka kalo naik pete-pete.”
Wealaaaaahhh ... coba diulangi lagi, Sista?! Sumpah, kalo tidak banyak orang mungkin sudah kupelintir
telinganya ... hahahaha ...
“Mauka saja ke Agung ... “Dia kembali melontarkan ucapan
basinya.
“Ayo’mi paeng ... tapi setelah itu ke Rotterdam miki ... “
“Tidak bisaka ... “
Tuhan ... susahnya diajak kompromi ini anak.
“Ayo’mi paeng ... di Agung dekat mi Rotterdam toh?”
“Ndak tahu ... masih jauh perasaan ... “
Iiih ... awas kamu.
“Pergi maki paeng ... tambah sore nanti ... di Agung pi
bertanyaka ...”
“Tidak ikutka itu saya ... mauka saja ke Agung ... “
“Yaaaaaaaaaa .... “ Akhirnya aku menurut.
“Tidak bisaka itu naik pete-pete, naik bentor maki.”
Hoeeeekkkk ... Okey ... kamu yang bayar!
“Tidak ada itu uangku, kamu yang bayar.” Ucapnya asal sambil
jalan mendahuluiku. Awas kamu.
Seperti yang kalian duga, naik bentor_lah kedua putri
kesorean ini ke Agung. Sial ... lagi-lagi dia membuatku gregetan pentium
sepuluh (emang ada?). Masa’ mau beli buku, mengharapnya sama saya untuk
dibayarkan. Ini anak benar-benar ... masa’ mau marah atau mencak-mencak (Dia
memang tahu kalau dalam situasi seperti ini, saya akan menjelma menjadi sosok
yang tak bisa berbuat apa-apa). Mana buku yang dibelinya mahal lagi ... uangku
yang tersisa tinggal beberapa lembar lagi. Dan dia ... senyum-senyum lagi.
“Yok ... saya pulang mika nah.” Ucapnya enteng yang
kesekian-kesekian begitu keluar dari Agung.
“Saya ????? “ Mimikku pasti begitu memprihatinkan.
“Ndak tahu ... ke Rotterdam mi saja ...”
“Naik pete-pete apaKa masalahnya?” Sewotku.
“Bertanya saja ... “
Aku masih menahan geram begitu seorang satpam kuhentikan
untuk bertanya arah ke Rotterdam. Ternyata harus jalan kaki dulu beberapa
meter, lalu ambil pete-pete kode B. Sekedar info : tidak ada pete-pete ke
Rotterdam depannya Agung, catat nah.
“Jalanki katanya dulu ... di sana ... “
“Ikutka juga?” Bertanya lagi? Emang kamu rela membiarkan
kakakmu yang jelita ini tersesat di negeri antah berantah? Masih untung kalau
ada pangeran kodok yang menemukannya, kalo kodok betulan, mati konyol, sumpah.
Dia mengekor juga di belakangku. Dasar! Akhirnya ketemu juga
pete-pete B yang akan membawa kami. Rotterdam ... i’m Coming ^_^
Rotterdam ...
Aku bersua dulu dengan temanku, ngobrol ngalor-ngidul ...
^_^, dia, juga ikut bertemu dengan teman-temannya yang banyak jadi Volunteer
ternyata.
“Maluka kurasa ... “ ucapnya kemudian begitu yang tersisa
hanya kami berdua. Berjalan mengitari stand-stand buku, menongolkan kepala di
ruangan yang ada talk shownya.
“Kenapa?”
“Natahu semua temanku kalo lolos seleksi puisiku dan mau dilaunchingkan
besok.”
Idedededeeeeee ... jadi bangga mika ceritanya ini berjalan
bersisian dengan penyair yang bukunya mau dilaunchingkan besok, tidak ji nah!
“Nyantai mi waseng ... puisi ji lagi.” Gubrak. Dia melotoku.
“Masalahnya mauka juga naajak ketemuan mbak Olin setelah
Maghrib ... “ Mbak Olin, kurator antologi puisinya.
“Wiii ... ndak bisaka saya, mauma pulang.”
“Temani mika waseng ... takkala pergiki ... “
Gubrak. Emang siapa yang tadinya dipaksa ke sini. Awas akan
kugorok lehermu.
Kami masih menikmati langit sore Rotterdam saat itu begitu
satu per satu temannya berdatangan memberi selamat padanya, aku geli, jujur ...
kepalanya pasti mau terbang saat itu. Nah ... siapa yang harus berterima kasih
pada siapa kalo kejadiannya sudah begini. Dan entah mataku sudah seperti apa
keluarnya, saat temannya pada bertanya “Ini siapa?” Pliiiisss ... jangan bilang
kakak, meskipun wajah tidak bisa bohong.
“Temanku ... “ Nah ... gitu dong. Saya temannya. Teman
bertengkar, maksudnya. Tidak bohong, bukaan?!
Setelah Maghrib
“Ada telponnya mbak Olin ... adai di luar benteng ...
natungguka.” Dia mengusik ketenanganku memandangi dekorasi panggung pementasan
teater sebentar lagi. Tanpa menunggu jawabanku dia sudah berlalu, pergi. Beberapa
menit kemudian, dia kembali dengan wajah tersenyum dikulum.
“Naajakka makan malam
sekarang, pergiki ... “
“Saya? Maluka ...”
“Temanika ... soalnya banyak temannya juga dan non muslim
semua kulihat ...”
“Ada laki-laki?”
“Ada dua ... tiga orang perempuan ... ayo’mi.”
Boleh dicoba. Sesekali memenuhi undangan, hukumnya wajib,
bukan? Tapi tunggu dulu ...
“Yang dipanggil kan kamu, kenapa ikutka juga?” Akhirnya aku
melengos.
“Tidak ji ... naajakko juga ... bilangka, ada temanku di
dalam, mbak ... lalu bilangmi, ajak sekalian.”
Horeeee .... padahal ini memang sudah lapar pakai banget.
“Dimana?” Tanyaku sambil berjalan keluar bentang.
“Di depan ji ... di kampung popsa.”
Di kampoeng popsa (tulisannya begini, bukan?) Tempatnya kan
yang semacam bar itu, bukan? Sepanjang jalan kami berdua hanya cekikikan kayak
orang bego antara enggan tapi mau juga.
Di meja sudah menunggu mbak Olin Monteiro, yang dari
penampilannya saya sudah menebak genre feminis begitu gencar dia bawa. Agak
kikuk juga saat satu per satu teman-temannya memperkenalkan diri yang berasal
dari berbagai daerah, yang malah ada dari Filiphina dan Switzherland. Eh, pas
tiba suruh pesan makanan, si dia malah bilang ...
“Tidak usah, Mbak.” Duh ... ini anak goblok apa tolol, ya
... lugu banget, lha apa gunanya coba kita ke sini kalo tidak makan, memang
undangannya untuk makan, bukan hanya ngobrol. Masa’ saya yang mau langsung
seloyoran pesan makan, kan tidak etis, siapa yang diundang siapa.
“Ayolah Amirah ... tidak usah malu-malu, yokk ... mau pesan
apa?”
“Tidak usah mbak, masih kenyang.” BOHONG. Helloooo ... sejak
kapan kita makan? Perasaan semenjak sore tadi yang isi perut kita Cuma es
kelapa, itu doang.
“Loh ... belum makan, bukan?” Mbak Olin memang bisa menebak.
“Belum, Mbak.” Ya ... akhirnya aku buka suara juga. Dia
melotot malu ke arahku. Lha ...
“Tuh kan ... ayo pesan makanan dulu ... “
Dia ditemani siapa gitu (aku lupa... )mulai bangkit pesan
makanan. Tinggal aku dan yang lainnya yang ikutan nimbrung diobrolan mereka.
Waaaakkaaaakkk ....
Eh, pas tiba-tiba makanan datang. Sumpah, ingin kucekik
lehernya biar mampus. Dia pesannya apa? Yang lain pesannya nasi goreng. Dia
pesan ayam rica-rica. Sumpah. Bukan karena mahalnya, karena biar bagaimana pun
pasti dibayarin, ini ayam rica-rica, yang dari fisiknya saja cabenya
berkilo-kilo sepertinya yang pasti pedasnya bikin wajah merah padam, dan dia
sangat tahu kalau saya tidak bisa makan pedas, padahal lagi lapar pakai banget.
Sial! Dan saat minumannya datang ... dia pesan apa? Yang lainnya pesan teh
hangat, kopi hangat. Yang dia pesan adalah jus alpukat yang dinginnya minta
ampun, yang siang tadi saya sudah teler setelah menghabiskan satu botol jus
alpukat. Itu otak disimpan dimana sih?! Pesan yang lain kek, apa gitu ... asal
bukan jus! Nah ... jadi tidak enak kan jadinya saat ayam rica-rica milikku
hanya tersentuh secuil, yang membuat mbak Olin memaksa agar dibungkus dibawa
pulang saja.
Adikku ... adikku ... kamu membuatku gregetan, sayang!
Pukul sepuluh malam kita pulang dengan resiko penuh was-was
khawatir tidak ada pete-pete lagi jam segini. Jalan kaki beberapa meter,
akhirnya dapat juga pete-pete jurusan IKIP di sekitar jalan Layya. Hm ...
sampai di kost-an, sepanjang jalan gregetan campur cekikikan ... malu-maluin,
dari bar bawa pulang ayam rica-rica.
Hm ... apapun itu, senang bisa duduk semeja dengan para
penyair tadi. Walaupun tidak sebegitu terkenal di publik, tapi saya yakin
mereka begitu populer dikalangannya para penyair. Terima kasih telah mengajakku
^_^
Ya ... kamu memang masih begitu polos, lugu dan apa ya ... tapi selama kamu yakin dan
memegang prinsip yang diajarkan orang tua kita. Semua akan baik-baik saja. All
iz Well