Posted by : mulhaeri azzahra Selasa, 17 Januari 2017







Roti : Untuk Bapak dan Kenangan Tentangnya
Rani Ar Rayyan*

Kepulangan ini adalah keputusan paling mendadak. Bapak sakit—begitu ibu menyampaikan. Tapi bukan karena sakitnya bapak sehingga keputusan pulang menjadi semendesak ini. Aku khawatir pada bapak—tentu saja, tapi kekhawatiranku terhadap roti masih jauh lebih tinggi. ROTI—toko bakery, sumbu pertamanya perekonomian keluarga kami yang atas permintaan bapak akan segera ditutup.
Pun tak pernah ada jawaban yang patut diterima, kenapa bapak hanya memasang papan nama ‘ROTI’ di depan tokonya, dulu. Atau karena bapak memang orang yang begitu simpel sehingga tak begitu tertarik untuk meniru toko sebelah yang punya nama ‘Surya Abadi, atau toko kelontong  ‘Masagena’ di sudut pasar, atau paling tidak mengambil namanya saja sehingga lebih terkesan aura kepemilikan ‘Toko Baharuddin’ seperti yang umumnya dilakukan para pemilik toko. Ah, apapun itu … satu-satunya alasan yang paling logis kenapa pada akhirnya harus mengakui nama toko itu, karena produknya memang hanya satu, roti. Satu-satunya toko roti di kota kecil ini. Dan bukan lagi hal yang sulit ketika ada pertanyaan : Dimana toko ROTI’?, selain jawabnya cuma satu : di depan pasar sentral.
Dan koki tak tergantikan itu adalah bapak. Lelaki yang otot-otot kekarnya memang sudah tercipta untuk membanting adonan roti yang berkilo banyaknya. Pernah sekali kutanya pada rentang waktu jauh yang telah lewat : Kenapa harus bapak? Kenapa bukan ibu saja? Pertanyaan ini jelas mengandalkan nalarku mengingat pekerjaan seperti ini lebih dekat dengan perempuan, pada umumnya. Dan jawaban bapak telah mengantarkan pada realita yang harus kuakui : Roti adalah pengaduan kekuatan, dan kekuatan itu ada pada laki-laki. Mungkin karena itu, pada sebagian besar belahan dunia yang telah kutapak, koki-koki terbaik adalah laki-laki.
“Bapakmu sudah tidak bisa menggerakkan tubuhnya lagi, lumpuh sebagian.” Lirih suara ibu seakan berusaha meredam lompatan perasaan yang telah beradu di dalam sana. Aku diajaknya keluar kamar, menjauh dari ruang dengar bapak yang bukan tak berarti masih bisa menyerap semua suara-suara di sekelilingnya.
“Sehari sebelumnya, dia masih saja ngotot untuk membuat adonan roti … untuk mengirimkanmu, juga adikmu, karena seperti yang bapakmu selalu bilang akhir-akhir ini, mungkin kalian merindukan roti buatannya.”
Air mataku tertahan. Hingga kemudian kakiku menapak ruang dapur—goa pertapaan bapak, melesatlah turun semuanya : air mata, lelehan ingus, dan isakan. Ruangan yang kuinjak lagi, terakhir dua puluh tahun lalu. Betapa ingatan telah mencuat semuanya kali ini. Masa kecil dan bantingan adonan bapak yang menjadi musik tersendiri. Karena disinilah kehidupan kecil kami dimulai. Berdua Rita, adikku.
***
Bagi kami, aroma roti itulah yang telah membesarkan. Mencubit sedikit demi sedikit adonan bapak—jelas tanpa sepengetahuannya—adalah mainan paling menggembirakan yang mengalahkan permainan apapun di luar sana. Berdua Rita, selalunya hanya berdua, membuat istana kecil dengan prajurit-prajuritnya dari adonan roti milik bapak, lebih sering membuat roti mainan juga sambil menirukan aksi bapak, hingga tergelak dan terpingkal pada akhirnya. Tapi ternyata, kemarahan bapak begitu tingkah kami terbongkar bukan main-main belaka. Bapak marah. Dan kemarahan itu adalah kemarahan kali pertama yang pernah kulihat. Ruang dapur tak boleh lagi kami injak, hukuman yang harus diterima. Dan itu adalah alamat untuk mengucapkan selamat tinggal pada adonan roti.
Entah dengan alasan apa, tak pernah sekali pun bapak mengizinkan kami untuk menyentuh adonan rotinya, terlebih untuk membantu. Bapak hanya selalu menjawab dengan dingin : belajar saja. Padahal, tanpa sepengetahuannya aku selalu diam-diam mengamati setiap saat—sebelum berlakunya hukuman itu—bagaimana bapak membanting, mengukus, membakar sampai mengemas roti buatannya. Betapa aku ingin melakukan hal yang sama, seperti bapak. Menjadi pembuat roti. Terlebih ketika teman-teman di sekolah suka mengatakan kalau roti buatan bapak sangat enak.
“Kamu ingin jadi apa kalau besar nanti?” Suatu ketika kutanya hal itu pada Rita.   
 “Seperti bapak … pembuat roti.”
“Sama … aku juga ingin seperti bapak, membuat roti terenak di dunia.” Jawabku tak kalah semangat. Dan siapa sangka, ternyata cita-cita itu adalah kemarahan kedua bapak setelah insiden adonan roti. Bapak mengirimku masuk pesantren, Rita juga. Kepulangan kami ke rumah hanya dua kali dalam setahun. Idul fitri dan idul adha, saat aktivitas pembuatan roti libur total. Dan bapak ibu yang memilih lebih sering mengunjungi. Jangan harap ada roti pada setiap kunjungannya, melainkan biskuit aneka rupa dan buah-buahan yang entah ada berapa macam. Bapak telah memutuskan dunia kami dengan roti.
Bertahun lamanya tak pernah lagi terlihat, bagaimana tangan kekar bapak membanting adonan roti. Hingga kemudian aku harus melanjutkan studi ke Jepang mengambil riset teknologi pertanian, dan Rita yang sudah terbang ke Belanda melanjutkan jenjang kedokterannya. Barulah pada saat kami berada di negara lain, sekali tiga bulan bapak mengirimkan roti buatannya untuk kami. Roti yang termakan sebiji, selebihnya kubiarkan utuh memenuhi kulkas. Entah akan berwujud lumutan atau seperti apa pada akhirnya, bagiku tak lagi penting. Selain satu, pada roti itu ada kekuatan bapak yang harus kuhargai.  Kekuatan cinta, yang belakangan baru kusadari.
***
Air mataku kembali luruh, begitu pesawat lepas landas menyusup masuk ke awan. Masih, tatapanku menatap satu titik yang entah keyakinan dari mana bahwa di sanalah rumah kami bermukim. Rumah merangkap toko roti di depannya. Dan ada bapak yang berbaring tak berdaya di dalamnya. Bapak …
“Kamu boleh menjadi apapun yang kamu inginkan, asalkan tidak menjadi seperti bapak, menjadi pembuat roti … sudah cukup sampai pada bapak saja julukan pembuat roti  yang sudah turun-temurun melekat pada keluarga kita.” Samar kalimat yang tak utuh itu tersampaikan menjelang keberangkatanku, hingga telingaku benar-benar menempel di mulutnya.
“Jadilah pembeda … jadilah pemutus benang merah itu, untuk kamu tahu saja, bahwa menjadi pembuat roti bukanlah satu-satunya profesi mulia di dunia ini.”   
Ah, mungkin saja bapak memang ada benarnya. Biar kami, anak-anaknya bisa melintas zaman dan melepaskan diri dari belenggu pekerjaan yang sudah menjadi warisan. Tapi sebelum aku menuntaskan cerita ini: jika kalian ada waktu ke Jepang, berkunjunglah ke Shibuya … disana ada toko roti yang seperti punya bapak, itu toko rotiku—pekerjaan utama di tengah-tengah kesibukanku menghadapi padatnya jadwal kuliah. Karena seperti jawaban yang akan kukeluarkan  kelak : membuat roti memang bukan satu-satunya pekerjaan mulia, tapi di sana kutemukan bapak ... cinta dan kenangan tentangnya. END

*Penikmat literasi dan selalu belajar untuk menulis lebih baik.

Dimuat di Kolom Budaya Fajar, Edisi 8 Mei 2016


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -