Posted by : mulhaeri azzahra Kamis, 10 November 2016


Orang yang Kutemui di Sepanjang Jalan
Rani Ar Rayyan*





Tak ada ingatan yang mampu melampaui kenangan tentang pete-pete dan pagi buta. Juga, teman senasib sepenanggungan di kala itu. Beberapa tahun yang telah lewat. Sepuluh tahun atau barangkali telah masuk sebelas. Tak jauh dengan kisaran tenggang waktu itu. Tiga tahun berkutat, masa SMA dan rutinitas pagi yang tak mengenal kata bosan.
Rindu, adalah kenangan yang selalu melekat. Seperti perjalanan yang suatu ketika harus berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Tak bermaksud kembali. Hanya sekedar meneropong langkah, betapa jauhnya kini kaki berjalan.
Dan betapa erat pertalian rindunya : aku, pete-pete dan pagi buta. Seperti segitiga yang tak akan sempurna dinamakan segitiga jika hilang salah satu seginya.
***
Tahun 2005 – Tahun 2008
Nama yang selalu melekat. Arham. A-r-h-a-m. Lelaki tinggi yang selalu membersamai di bawah pohon mangga depan rumah. Satu tujuan. Menunggu pete-pete. Dan baiklah, kuperkenalkan Reebook. Pete-pete putih dengan kulit luar yang terdempul dengan pilox yang entah telah berapa puluhan kali disemprotkan. Pun dari kejauhan, suara mesinnya yang fals dengan klakson bersuara ‘joli’ (mencret)—demikian bangsa kami menjulukinya—adalah irama pagi yang selalu menjadi alasan untuk bangun lebih awal mendahului adzan subuh mesjid. Sarapan—makan subuhala kadarnya yang tinggal dipanasi emak sisa makanan semalam selalunya dipaksakan masuk ke tenggorokan. Karena, tak ada kenikmatan menelan nasi di subuh hari pun di waktu puasa dengan menu tak menggiurkan, kecuali jika memang sedang kelaparan. Tapi selalu berhasil masuk mengingat kelaparan yang akan melilitmu beberapa jam kemudian, karena jangan harap ada selipan uang jajan yang ongkos pete-pete saja sudah membuat emak banting tulang tiap hari. Rice, Lelaki tanggung dengan rambut gondrong ala Dora yang dengan suara berat selalu menyapa. Susunan gigi yang berjejalan tak pernah tertutup dengan sempurna karena struktur bawaan yang membuatnya demikian atau barangkali kemurahan senyumnya yang tak pernah pudar.  Setia di belakang stir, membawa kami menempuh perjalanan ±10 km. Dan perjalanan ini bukan laju jalan yang lazimnya ditemui. Jalanan beraspal yang menggunung dan berlembah—jalanan rusak. Tak sedikit sering memancing untuk memuntahkan isi perut. Kondisi itulah yang membesarkan, demikian kalimat penghibur yang entah dikeluarkan untuk siapa.  
Arham, tetangga—beberapa rumah yang jadi perantara—yang juga setiap pagi buta sudah berdiri tegap di bawah pohon depan rumah. Pernah sekali ketika kutanya, kenapa menunggunya harus di depan rumahku? Jawabnya, karena hanya ada satu rumah dengan pohon paling besar di sepanjang jalan ini. Dan setelahnya itu tak pernah lagi kutanya, apa hubungan menunggu dan pohon paling besar? Tak pernah lagi, hingga kini, hingga di waktu-waktu mendatang. Selain, dia masih saja setia di sana. Menunggu dan bercerita. Cerita apa saja. Tentang Hellen keller. Karen Amstrong. Vasco da Gama. Kisah perang salib. Perang Dunia. Dan tentu saja Romeo dan Juliet. Kak Arham, begitu selalu kusapa seperti membawa alamat baru pada sebuah hati polos yang haus akan cerita hebat. Tak terlalu kutahu apa pekerjaannya, selain di beberapa hari yang lalu dia mengatakan akan masuk kuliah, beberapa waktu kemudian dia kembali mengatakan akan mengajar, dan setelahnya itu mengatakan akan jualan di pasar. Dia pencerita hebat, hanya itu jawaban yang akan kusiapkan andaikan ada yang bertanya tentang apa pekerjaannya. Dia mampu membuatku terpukau dengan ekspresi dan intonasi suaranya yang seakan-akan nyata ceritanya.
Pete-pete, wadah yang menautkan hatiku. Berdempetan antara penumpang satu dan yang lain. Namun lebih sering dengan kak Arham. Dia akan tersenyum meringis ketika kedua pahanya harus bertumpuan, begitupun denganku. Tertawa ringan pada akhirnya melihat posisi tak nyaman ini. Dan suara Ariel—yang pada saat itu masih menjadi Peter Pan—mengiringi perjalanan ini. Terkadang menjadi musik latar tentang perasaan yang entah harus kujelaskan seperti apa. Aku mencintainya, entah sejak kapan. Berkutat pada bisingnya deruman pete-pete di pagi buta, kularungkan rasaku.  
***
“Kamu baiknya memilih jurusan sejarah jika kuliah nanti.” Pandangannya tak tertuju padaku, tapi kutahu pernyataan itu ditujukan pada siapa. Pagi buta yang kesekian kali di dalam pete-pete yang kali ini hanya berisi beberapa penumpang. Di pojok ada Puang Aji—panggilan yang sudah lazim untuk orang yang mengenakan ciput haji—yang memang sepertinya sudah mem-booking bahwa tempat duduk pas bagian pojok itu hanya untuknya. Jualannya—baskom berisi ikan segar—terkadang menjadi alamat beberapa penumpang gagal naik. Tentu saja. Jalanan yang bermasalah adalah pemicu air ikan akan tumpah mencimprati sedikit banyaknya ujung kain. Namun alasan itu tak berlaku dalam kamusku. Tumpah tidaknya, setidaknya prinsip yang masih menjadi prioritas agar tidak terlambat ke sekolah lebih baik. Karena setelah Reebook, pete-pete lain yang bermunculan tunggu sejam atau dua jam kemudian, di saat pintu gerbang sudah hampir tertutup atau malah tertutup sama sekali.
“Kamu punya impian ingin keliling dunia … dan menurutku jurusan sejarah adalah salah satu pilihan yang bijak, kau akan keluar melakukan riset, menemukan fosil-fosil di belahan dunia yang sedikit pun tak pernah kau bayangkan.”
Ludahku tertelan pahit. Kenapa juga terbeberkan dengan sempurna cerita-cerita semu tentang impian itu. Juga, kenapa harus padanya? Yang bahkan untuk memimpikan hal yang terlalu besar itu terkadang membuatku harus tahu diri. Terlalu jauh. Pungguk merindukan bulan. Bagai langit dan bumi. Dan pernah sekali waktu kusampaikan pada emak agar mengabulkan keinginanku memiliki peta dunia. Entah pada buku mana yang menyampaikan nasehat itu, mulailah dengan memiliki peta dunia sebagai langkah awal untuk keliling dunia. Namun tertahan di tenggorokan, karena jelas tak akan tersampaikan di saat memiliki buku tulis sudah jauh lebih dari cukup. Cukup menggambar peta dunia itu pada sisa buku tulis yang tak terpakai, kemudian menghubungkannya satu sama lain. Jelas tak akan sama, terlebih ketika kertas itu berakhir basah dengan jejak tinta luntur karena hujan yang turun melalui celah atap bocor.
“Memilih jurusan sejarah, berkutat dengan fosil Pithecantropus Erectus … menelusuri jejak Alfonso de Albuquerque … “ Sambungku dengan nada yang kelewat hambar. Tawanya menggema sambil menaikkan dua jempol entah dengan maksud apa. Mengakui otakku yang bisa diperhitungkan, atau justru sebaliknya menyindir keminiman pengetahuanku yang hanya sampai pada standar itu.
“Lihatlah … “ Kepalanya berbalik ke jendela pete-pete yang terbuka lebar. Ada matahari yang mulai menampakkan kemerahannya. Kuikuti sampai sejauh mana arah pandangannya. “Sawah-sawah itu, pepohonan itu ... adalah kerinduan yang tak terbayarkan oleh apapun saat kau keliling dunia nanti.”
“Kicauan burung di pagi hari, bedug adzan subuh, bahkan tiupan anginnya … semua akan menagih pulang untuk kau kunjungi kelak.“ Dan dimulai sejak kapan, pernyataan-pernyataan itu selalu rutin dikeluarkannya pada setiap kebersamaan menghabiskan pagi dalam pete-pete yang terpisah saat aku turun di sekolah nantinya. Aku tak pernah bosan, lucunya. Bahkan sejauh apapun kutepis impian semu itu, maka segila itu juga kudengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sudah menjadi bahasa mantra, barangkali.
“Resapilah … hirup baik-baik udaranya.” Dia memejamkan mata. Berulang kali mempraktekkan adegan pernafasan yang lebih sering kusebut pertapaan. Rice terkadang meledek ulah kami, tentu tak bermaksud mengejek sama sekali. Bahkan terkadang sesekali dia menimpali pembicaraan kami. Dan Puang Aji yang sama sekali acuh, melainkan jika tak sengaja ada yang menginjak kakinya dan sepanjang jalan yang terdengar bukan lagi kalimat bijak kak Arham, melainkan keluhan sakit Puang Aji yang sampai aku turun masih terdengar. Dan aku membencinya jika sudah demikian.   
“Kau pasti akan menginjakkan kaki ke seluruh belahan dunia.”
“Menara Pisa, Pulau Jeju, Gondola, tembok China, Haghia Sophia, daun Maple, Hollywood, Bollywood,” Kulafalkan dengan antusias. Kata-kata yang kudapat dari buku yang dipinjamkannya.
Maka beruntutan buku-buku dengan segala rupa disodorkannya kepadaku. Termasuk peta dunia, adalah hadiah paling istimewa yang kuterima di sepanjang hidupku, barangkali. Dia memberikannya tepat pada hari ulang tahunku. Entah kebetulan yang disengaja. Karena sekali pun, tak pernah ada perbincangan pribadi selain impian dan dunia dalam kamus kami berdua. Maka sempurnalah, peta dunia itu tertempel di dinding kamarku—kamar yang semua orang punya—yang jika hujan turun maka peta itu juga harus segera dicopot dan memasangnya kembali jika hujan sudah mereda.  
“Apa impianmu?” pertanyaan yang kemudian suatu hari kukeluarkan.
“Menjadi penulis.”
“Seperti JK.Rowling?” Pun penulis tenar itu kutemukan di salah satu majalah yang dipinjamkannya. Tak mungkin dari televisi. Karena hal itu jauh dari harapan. Di rumah memang sempat punya televisi sebelumnya, namun setelah rusak sepertinya memperbaikinya bukan lagi hal yang utama. 
Dia menaikkan kedua tangannya. Sebuah jawaban mimik yang ambigu. Biasanya setelah itu, dia akan larut dalam keheningan yang diciptakannya. Memandang lurus ke arah jalanan depan, atau memandang hamparan sawah yang membentang. Dan seketika itu, mata liarku mulai beraksi memandangi setiap senti wajahnya. Hanya sepersekian detik. Karena laju pete-pete yang lebih sering tak bersahabat akan membuyarkan segalanya.
***
Rini. R-i-n-i. hanya Rini. Tak ada embel-embel di depan terlebih di belakangnya. Anak remaja berbau matahari yang belum pernah absen dari sekolah. Dia akan kau temui setiap paginya di Reebook dengan rambut yang lebih sering tak sempurna disisir—karena buru-buru, atau lampu rumah yang sedang bermasalah. Sepertinya tak ada yang lebih tabah dari kesetiaannya menanti cerita tetangga idolanya yang meskipun kadang masih berkutat pada cerita yang berulang-ulang. Hampir tiga tahun. Dan bulan depan, dia akan ujian nasional. Di awal dia sudah sempat menggambarkan betapa emak berjuang untuk membiayai ongkos pete-petenya. Berjuang. Karena sebagaimana latar belakang orang-orang kampung seperti mereka, segala sesuatunya memang harus diperjuangkan. Hidup dan kehidupan. Bapaknya telah meninggal sekian tahun yang telah lewat. Dan emak yang menikah lagi beberapa tahun kemudian. Awalnya dia menjadi anak tunggal, berganti dengan keluarga besar dengan saudara tiri yang banyak jumlahnya. Mungkin saja hidupnya akan sejahtera sedikit mengingat bapak barunya itu salah seorang penjual emas yang lumayan berhasil. Namun takdir tak pernah pilih kasih, dia akan menjatuhkan pilihannya pada siapa saja yang dikehendakinya. Bapak baru bangkrut dan beralih profesi menggarap sawah yang lebih sering berakhir puso—gagal.     
Demikian perkenalan singkat tentangku. Dan tak ada jawaban yang mewakili tentang Rini selain anak SMA yang bangun pagi buta menunggu pete-pete. Seperti pada suatu waktu, di pagi buta yang sedang gerimis. Mengandalkan payung tua, aku tetap tak beranjak dari tempatku. Sebenarnya masuk di rumah sambil menunggu pete-pete adalah pilihan yang tepat secara Rice tak mungkin lupa mengangkutku. Tapi keputusan ini tak bisa lagi dibantah. Aku rindu kak Arham. Sebab alasan apa hingga tiga hari ini tak lagi muncul di sini membersamai menunggu pete-pete. Adalah pantas jika kuputuskan untuk setia menunggunya. Beberapa kali mataku mengekor pada rumahnya yang hanya terlihat pagarnya dari tempatku berdiri. Tak ada tanda-tanda dia akan menampakkan wujudnya. Apakah dia sakit? Atau dia keluar kota. Dan sejak kapan aku begitu marah jika dia tidak menginformasikan kejadian terkait dengannya kepadaku.   
Reebok sudah menampakkan kepalanya. Rice, seperti biasa memamerkan giginya yang berjejalan. Tak pernah benar-benar jelas seperti apa wajahnya setiap menjemputku selain hanya giginya yang terlihat. Masih sempat mataku menoleh sejenak ke pagar rumah berwarna gado-gado itu. Berharap ada penampakan tubuh yang menyongsong pete-pete. Tapi seperti tiga hari sebelumnya, sampai aku duduk di pete-pete pun tetap saja tak ada kejadian.
“Dia kemana?” Rice membuyarkan kekhawatiranku.
“Entah ... “
Dia menyambut jawabanku dengan gelak tawa. Penumpangnya pagi ini lumayan hampir memenuhi ruangan. Dan tentu saja Puang Aji yang standby di posisinya.
“Kegelisahan seorang gadis terhadap kekasihnya.” Jelas aku tak menyangka, tambahan kalimat Rice telah membuat pipiku bersemu merah. Untung sekeliling masih tak begitu terang, dan dia tak melihat bagaimana ekspresi mukaku sekarang.
“Kau bilang apa?” Aku pura-pura bersungut. Padahal ada senyum di hati ini. Kegelisahan seorang gadis terhadap kekasihnya. Betapa geli mebayangkan hal demikian? Benarkah seperti ini rasanya seseorang yang mengkhawatirkan kekasihnya? Rasa permen nano-nano.
“Kalian pacaran, kan?”Rice seperti tak tahu situasi blak-blakan mengatakan hal itu.
“Apaan ...” Sergahku. “Kami berteman, hanya itu.”
Jelas aku tak mengharapkan kondisinya akan sesederhana itu. Pun perasaan apa ini? Perasaan yang awalnya kuingkari sendiri. Tak pernah benar-benar kuambil hati andaikan dia menampakkan dirinya setiap hari, membersamaiku menunggu pete-pete. Nyatanya dia menghilang di saat menjelang ujian nasional sudah di depan mata. Penyemangatku pergi. Pencerita hebatku tak ada lagi. Dan aku yang tak ada apa-apanya menurutnya, barangkali.
Sungguh, tak ada kerinduan hebat melebihi ini. Aku rindu bapak. Tapi rindu ini jauh lebih berbeda. Sudah hitungan minggu aku tak lagi melihatnya. Bahkan setelah aku ujian, dan sudah mulai jarang menggunakan pete-pete karena aktivitas sekolah yang sudah tak ada lagi melainkan sisa menunggu hasil ujian yang datangnya sebulan kemudian. Itu pertanda, intensitas pertemuan kami sudah semakin jauh dari harapan.
Namun siapa sangka pagi itu adalah sebuah keajaiban paling besar di hidupku. Dia datang. Bukan seperti kebiasaan sebelumnya—berteduh di bawah pohon mangga depan rumah—melainkan berdiri di depan pintu rumahku. Sontak semua saudaraku geger karena tak pernah ada riwayat seorang laki-laki yang bukan bagian keluarga datang ke rumah dan menanyakan keberadaanku. Meskipun bagi mereka, kak Arham sama tak asingnya dengan tetangga yang lain, tapi tetap saja seorang lelaki yang kali pertama menginjakkan kaki di teras rumah adalah sesuatu yang berbeda. Segera kupoles bedak tipis untuk menyamarkan wajah kusut karena belum mandi dan menyisir rambut dengan asal. Entah seperti apa kugambarkan hati ini begitu melihat orang yang rinduku begitu besar kepadanya. Dia dengan kaos oblong dan celana panjang gombrang sama sekali tak berbeda dengan dia pada hari-hari sebelumnya. Hanya cambang tipis yang terlihat tumbuh di wajahnya. Sungguh, hal itu membuatnya sudah seperti laki-laki dewasa saja. Tuhan, bolehkan aku pingsan dulu?!
“Rini, apa kabar?” Sapanya mendahului. Semoga saja tingkahku tak terlihat grogi di depannya.
“Kak Arham dari mana saja?” Dan pertanyaan itu adalah jawaban yang lebih tepat untuk pertanyaannya. Ada senyum yang mengembang.
“Maaf ... aku tak memberitahumu.”
Tunggu, dia minta maaf?! Apakah itu tanda kalau dia merasa bersalah?!
“Aku mengurus banyak hal ... dan hari ini aku datang untuk pamit.”
Hatiku yang tadinya melambung jauh, kini terpental sakit ke bawah.
“Aku lolos beasiswa ke Bordeaux, Rin ...”
Dan jawaban selanjutnya tak lagi penting.
“Kamu juga harus berjuang keras untuk mewujudkan impianmu, karena tak ada kenyataan yang menggembirakan jika asalnya bukan dari apa yang kita impikan.”
Sepeninggal kak Arham, segera aku berlari ke kamar. Membentangkan peta yang dulunya pernah dia berikan. Tujuanku cuma satu. Mencari Bordeaux. Apakah bersebelahan dengan Indonesia? Atau letaknya di Malaysia?! Tak kutemukan. Selain menabahkan hati kalau kak Arham ke luar negeri. Sungguh! Telah begitu jauh rentang jarak kini. Entah kapan bertemu lagi? Masihkah dia akan mengingatku? Dan seperti buku yang pernah kubaca : Untuk jatuh cinta pun aku harus tahu diri.
Sekuat tenaga kutahan air mata yang sudah mau jebol. Bisa tambah parah masalahnya. Tak hanya sangkut paut dengan kak Arham melainkan dengan saudaraku yang lain. Lebih-lebih dengan orang tuaku. Bisa jawab apa jika kenyataannya mataku ditemukan bengkak gara-gara menangis. Alasan sakit kepala sepertinya bukan lagi jawaban yang mendukung secara ayah tiriku adalah ahli herbal yang diperhitungkan di daerah ini.
***
Tahun 2015
Musim hujan dan kesetiaanku menatap turunnya dari balik kaca jendela ruang kerja. Berapa kali pun turunnya, setiap itu juga perhatianku teralihkan dari tumpukan proposal yang berdesakan di atas meja. Biasanya hanya beberapa menit. Namun tak jarang juga kecolongan hingga hujannya mereda. Seperti tulisan yang pernah kubaca, hujan adalah jembatan yang akan membuatmu terhubung pada ingatan.
Sesekali aku menyesap cappuccino yang masih berembun hangat. Sebelah tubuhku bertumpu pada dinding kaca—yang keseluruhan dindingnya memang dari kaca. Menara Phinisi yang merupakan ikon salah satu universitas di Makassar berdiri gagah di sana. Gagah terlihat, tapi tahukah kalian, dia kesepian. Sendiri berdiri paling tinggi di sana, tidakkah menjadi hal yang membosankan?! Seperti diriku kini. Sepi dan sendiri. Pandanganku beralih pada pete-pete yang terlihat menyemut dari tempatku berdiri. Musim hujan dan pete-pete adalah takdir yang saling mendukung. Sebagian orang memilih menganggurkan kendaraan pribadinya jika musim hujan tiba dan lebih memilih naik pete-pete. Alasannya? Tentu banyak alasan yang lebih subjektif. Salah satunya malas mencuci kendaraan setelah menginjak jalanan becek. Entahlah. Sejak kapan aku peduli. Pun naik pete-pete sudah hitungan tahun tak lagi kunaiki. Sudah tidak pernah. Dan entah kapan lagi.    
“Rin …” Suara itu lembut. Selembut wajah pemiliknya. Berjalan anggun dia mendekatiku. Perubaha jam tak pernah sekali pun mempengaruhi raut wajahnya. Tetap selalu sama. Pun jilbab yang membalut kepalanya tak pernah terlihat kusut. Dia turut mengikuti gerikku. Menyandarkan sebelah tubuhnya pada dinding kaca.
“Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam hujan.” Aku memodifikasi puisi Gie di film Gie dengan mengubah kata ‘cinta’ pada kalimat aslinya menjadi ‘hujan’. Senyumnya mengembang, memperlihatkan deretan giginya yang manis dengan ginsul.
“Juga novel dan drama Korea … “ Tambahnya, mengedipkan sebelah matanya untuk memastikan betapa kami berdua memiliki persamaan yang lebih dari satu, ternyata.
Cappucino … juga.” Pecahlah tawa kami. Entah lebih tepatnya menertawakan apa. Barangkali tentang kegilaan. Dan … kesepian. Seperti inilah, hujan turun akan mendekatkan jiwa-jiwa yang sepi.
Baiklah, namanya Aisyah. A-i-s-y-a-h. Kak Ais, lebih sering kusapa begitu. Sebenarnya hampir seumuran, meskipun kak Ais lebih tua lima bulan dariku. Pernah kusapa dengan panggilan ‘Ais’ saja. Tapi dia menegurku habis-habisan—tak benar-benar menegur—alasannya, karena dia lebih duluan diterima bekerja di tempat ini. Mungkin terdengar senioritas, tapi sayang sekali … kak Ais begitu baik sama siapa pun, sampai tukang sapu kantor sekali pun. Pernah saya berpikiran, kok ada orang yang ditengah deadline tugas yang menumpuk saling kejar-mengejar masih saja menyempatkan diri menyapa salah satu tukang sapu lengkap dengan namanya, yang aku sendiri pun tak pernah benar-benar akan serius untuk mengetahui nama-nama dari mereka.
“Suamimu sudah pulang?” Suaranya lirih. Mungkin bermaksud menjaga perasaanku. Tapi apapun itu, semua—hampir semua—peliknya hidupku tertumpahkan padanya. Juga tentang Arham, suamiku yang semakin menjaga jarak kini.
“Biarlah dia pergi menjauh, mungkin begini lebih baik menurutnya.”
“Tapi tidak menurutmu.”
Nafasku terdengar berat. Tak akan kubiarkan air mata menang lagi kali ini, setiap perbincangan tentangnya. Tak akan. Meskipun selalu gagal berulang kali.
“Sudahlah kak Ais … aku tak mau mengungkitnya lagi sekarang, biarkan saja waktu mengembalikan atau pergi sama sekali dia dari hidupku.”
“Aku tahu, dan meskipun kata pergi bukan pilihan yang kita inginkan.” Dia menekan ‘pergi’ seakan menggambarkan rasanya juga. Rasa yang berbeda, tentu dengan masalah yang berbeda. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Terlalu cepat. Sangat cepat diusia pernikahannya yang baru seumur jagung dengan janin yang masih dalam kandungan waktu itu. Kepedihan seperti apa rasanya yang dialami kak Ais. Tentu begitu perih, ditambah cabikan yang menyisakan luka menganga. Lahirnya buah cinta mereka beberapa bulan kemudian menambah pedih menurutnya. Seorang anak yang lahir tanpa mengenal siapa bapaknya adalah pertanyaan yang selalu menimbulkan luka untuk menjawabnya jika anak itu besar kelak.
Hujan sudah reda di luar sana. Dan jarum jam yang menunjukkan waktu pulang. Proposal yang belum tersentuh masih kubiarkan berdiam di posisinya. Segera aku beranjak pergi bersamaan kak Ais dengan perasaan masing-masing.
***
Sudah malam kedua dia tak pulang ke rumah. Kekesalannya mungkin bercampur menjadi satu. Tak pernah sebelumnya dia melakukan itu—meninggalkanku dalam kesendirian—kecuali ada urusan dinas, itu pun dengan telpon yang tak pernah absen. Dan sekarang ini semua berbeda rasanya.
Vonis dokter tentang rahimku yang tak bisa hamil tentu menjadi pukulan paling besar dalam rumah tangga kami. Dia mungkin bisa pura-pura tegar, tapi aku tidak. Telah berkelindan sejuta bahkan semilyar pikiran di kepalaku. Kesedihan apa yang bisa menandingi sepasang suami istri yang tak akan menggendong bayi mereka selama hidupnya.
“Aku punya sesuatu untukmu.” kataku tempo hari. Segera kutinggalkan tontonan drama Korea pelepas penat begitu melihatnya masuk kamar. Ada sesuatu yang harus kuperlihatkan, telah kupertimbangkan dengan sebaik mungkin, tentu saja.
“Apaan ini … “ Suaranya mulai tak terdengar enak begitu beberapa lembar foto kuperlihatan padanya.
“Pilihlah … barangkali ada yang bisa membuatmu tertarik dan … memberi keturunan untukmu.” Dan aku berusaha sewajar mungkin. Padahal detak di dadaku tak akan mampu terkontrol andaikan dia benar-benar menjatuhkan pilihannya pada salah satu dari mereka. Tapi sayangnya, tingkahnya kemudian justru lebih membuatku sakit. Dia menghempaskan apa yang ada di tangannya. Tak hanya itu, benda-benda di sekelilingnya juga turut menjadi sasaran kemarahannya. Mungkinkah aku telah berbuat yang tak sepantasnya?! Tak pernah sekali pun dia kulihat semarah ini. Setelahnya itu dia keluar, meninggalkanku, dan tak pernah pulang lagi.
Pernikahan yang memasuki usia setahun. Masih terlalu muda. Dan orang tua kami yang tanpa henti memberi sokongan moral dan materil bahwa apapun yang terjadi ketika telah menyangkut urusan anak sama halnya menyangkut urusan Tuhan. Dan tak ada yang tahu seperti apa takdir Tuhan selanjutnya. Semoga saja keimananku masih bisa diandalkan sampai tahap itu. Hanya saja aku terlalu labil sekarang, barangkali.
Namanya Arham. A-r-h-a-m. Arham yang berbeda. Arham yang penikmat kopi, penyuka segala hal tentang pepohonan, pecinta alam. Dan aku mulai tertarik saat dia menjadi ketua tim ekspedisi Bawakaraeng sewaktu kuliah dulu, entahlah … atau barangkali karena dia juga mempunyai nama ARHAM. Dan keberuntungan apa lagi yang tidak kusyukuri begitu ibu mengabulkan impianku untuk lanjut kuliah di kota Makassar. Keajaiban yang melebihi ajaibnya kedatangan kak Arham di pagi itu di rumahku. Tak sekedar itu, beasiswa pun mulai bergelontoran karena keterlibatanku dalam berorganisasi serta nilaiku yang di atas rata-rata. Ibu tentu tak punya alasan untuk menghentikan langkah anak perempuannya yang sedang kehausan itu. Pun tentang kak Arham, lamat-lamat mulai bias diingatan, tapi di hati jelas tak akan bergeser. Masih diposisinya.
Kak Arham, dan apa kabarnya? Sejak kepergiannya ke Bordeaux—yang belakangan baru kutahu kalau negara itu merupakan salah satu negara di Eropa, dekat Perancis—tak ada lagi interaksi apapun terlebih dia sudah tak pernah lagi pulang. Kemana lagi kakinya melangkah? Sedang apa? Mungkin sudah menikah? Jawaban yang tak pernah kudapatkan. Hanya peta dunia, dan kesabarannya menempel di setiap kamar yang kutempati menjadi tanda bahwa dia tetap pelopor Rini yang ada sekarang.
Kembali tentang Arham, suamiku. Dan sebab-musabab kenapa pada akhirnya kami disatukan pada takdir pernikahan. Juga, lelaki pendiam yang lebih banyak kerjanya dibandingkan mengoar teori-teori Karl Max, Maslow, Che Guavara yang menjadi andalan mahasiswa di masaku. Kami bertemu pada kegiatan kampus, hanya itu. Selebihnya jangan harap, karena dia akan bermarkas di hutan belantara, sedangkan aku di media kampus—berkecimpung dengan majalah kampus. Pertemuan pertama kami, saat aku harus mewawancarainya karena dia berhasil menemukan inovasi teknologi hutan. Masih dengan peluh dan keringat sebesar butiran jagung di dahi aku menghampirinya.
“Bagaimana kesan anda saat berhasil menemukan inovasi teknologi hutan?” Dan kuketawai kekonyolanku. Pertanyaan yang paling dasar sekali dalam pelatihan dasar jurnalistik.
“Biasa saja.” Jawaban yang jelas tak kuharapkan akan sesingkat itu.
“Maaf, apa makanan kesukaan anda?” Tio, partner kerjaku entah dalam keadaan sadar atau tidak menepok kepalaku begitu dia tak melihat ke arah kami.
“Rin … aku tak pernah melihatmu bodoh, dan hari ini aku menyadari kau yang paling bodoh.” Tio masih sempat membisiki kalimat itu. Segera kutepis dan mensejajari langkah target kami.
“Maaf, anda belum menjawab pertanyaan saya … apa makanan favorit anda?” Dia berhenti. Tanpa melihatku.
“Makanan favorit tak ada hubungannya dengan keberhasilan ini, tapi kalau anda mau tahu sekali … aku suka kopi.”
Aku tertegun. Sejak kapan kopi menjadi menu makanan favorit.
“Baiklah … saya akan menunggu anda di warung kopi depan kampus sore nanti, pukul empat, saya akan menunggu anda … sampai anda datang.”
Dia menatapku sekilas. Dan berlalu, tanpa kalimat lagi. Tio menepuk pundakku.
“Ralat, kamu memang cerdas, Rin … “ Kumonyongkan bibirku sebagai tanda tidak terima atas perlakuannya tadi padaku.
“Ketika engkau ingin membuat feature tentang seseorang, traktir dia dengan makanan kesukaannya.” Pu aku tak tahu, sejak kapa ada teori seperti itu.
Dan menurutmu dia datang? Dia tidak datang. Dan tak pernah datang. Tak kutemukan dia lagi berbulan lamanya. Hingga kemudian kami kembali bersama di tim ekspedisi gunung Bawakaraeng. Dimana aku menjadi peserta dan dia yang menjadi tim leader. Berlanjut pada komunitas sebagai follow up atas kegiatan itu. dan diam-diam aku mulai mengagumi sosok dinginnya. Apakah masih disebut keajaiban jika sehari setelah wisuda dia datang di rumahmu dan melamar? Sangat ajaib. Karena sekali pun tak pernah ada perbincangan perasaan di antara kami berdua. Hingga takdir itu seperti teka-teki yang hanya bisa ditebak.          
Suara kodok mengalihkan semua pikiranku kembali ke waktu hari ini. suara-suara yang menjadi teman jika musim hujan turun. Jam di ponsel sudah menunjukkan angka yang kelewat larut malam. Entah sudah berapa jam aku tetap bergeming di posisiku. Dan kini tak berniat beranjak. Lampu pun masih terang-benderang, sempurna membuat pandanganku mengitari pigura foto pernikahan kami yang tertempel banyak di dinding. Senyumku mengembang saat berhenti pada foto keluarga besar kami. Tampak ibu dengan wajah belepotan bedak—karena tak terbiasa menggunakannya—sedang tertawa lebar, juga ada bapak dengan setelan jas terbaiknya yang kuhadiahkan pada beasiswa pertamaku. Belum lagi saudara-saudara tiriku yang sudah melebihi saudara sendiri berpose dengan gayanya masing-masing. Hingga kemudian tertuju pada wajahnya, yang sedang tersenyum manis. Seketika itu juga air mataku kembali terurai. Deras. Sesenggukan. Sungguh aku rindu. Sangat rindu.
***
Keputusan untuk pulang karena begitu rindu. Terakhir kepulanganku pada idul fitri lima bulan kemarin. Dan itu seperti sudah sangat lama, seakan hitungan tahun. Sejak diterima menjadi PNS di instansi pemerintahan terlebih setelah menikah, intensitas kepulanganku sudah tak sesering sebelumnya. Waktu kuliah dulu mungkin masih bisa kuakali dengan keabsenan sehari dua hari, dan terpuaskan saat liburan semester. Tapi kini, tentu telah lain jalan ceritanya.
Sawah di belakang rumah masih sama hijaunya dengan dulu-dulu. Juga pohon mangga depan rumah yang tak sedikit pun bergeser pada posisinya. Hanya rantingnya yang harus rela terpangkas begitu dahannya sudah menyentuh atap rumah, begitu cerita bapak. Perbedaan itu, karena rumah kini hanya ada ibu dan bapak. Saudara-saudaraku telah punya hidupnya masing-masing. Ibu dan bapak yang menikmati kesendirian di usia senjanya. Tentu bukan hal yang biasa, jika bukan hati tabah yang menjalaninya. Ibu pernah bilang begini: anakmu di waktu mereka kecil tapi bukan anakmu di waktu mereka sudah besar. Kini mulai kusadari betul betapa hidup pada kehidupan hanya berpaku pada dua pilihan : meninggalkan dan ditinggalkan. Sungguh kasihan ibu bapak. Tapi seperti itulah jalannya. Beberapa kali kuajak mereka tinggal serumah saja denganku. Dan tawaran seperti ini juga seringkali dilontarkan saudaraku yang lain. Jawabnya pun barangkali akan kau ulang di beberapa tahun yang mendatang ketika mengalami hal yang serupa : di sini lebih baik.
Pun kepulanganku bukan sesuatu yang terlepas begitu saja dari perbincangannya. Apalagi tanpa Arham. Jelas teka-tekinya menjadi pertanyaan besar. Ada sesuatu yang terjadi pada anaknya. Tapi ibu bapak tak pernah ikut campur pun pada urusan dulu-dulu tentang rumah tangga anaknya selain kami harus menjalaninya dengan bijak. Hidup di pedesaan selalu mengajarkan tentang kedamaian, dan dari rahim itulah kenapa para orang tua yang hidup di sini begitu menolak mentah-mentah perceraian, sepelik apapun masalahnya. Dan kepulanganku bukan tanpa tujuan, aku rindu. Itu saja.
Maka disinilah aku kini, pada pagi-pagi buta di bawah pohon mangga depan rumah. Menyemai semua kenangan yang telah lewat. Merasakan aliran kedamaiannya. Tentang perasaan. Tentang cinta. Juga rindu. Terlebih saat tubuhku berada di ruangan Reebook, dengan wujud peyot serta suara mesinnya yang fals dengan klakson bersuara ‘joli’—demikian bangsa kami menjulukinya—yang begitu khas.
“Rin … kapan datang?” Rice yang masih setia di belakang stir. Entah sudah berapa usianya kini. Rambut ala Dora-nya sudah terpangkas botak menyisakan kepala plontos berbentuk bola baseball.
“Kemarin, apa kabarmu?”
Tawanya lepas.
“Begitulah … anak sudah tiga, bini hamil lagi, bapaknya masih awet muda, bukan?”
Pun tak mampu kutahan tawaku. Untung saja penumpangnya hanya dua orang, tiga orang dengan diriku. Yang duanya adalah anak SMA yang mungkin saja bernasib sama denganku, dulu. Tentang puang aji—semoga masih ada yang mengingat—dia meninggal beberapa tahun yang lalu karena diabetes, begitu ibu sempat bercerita yang atas ihwal apa saling terkait dengan puang aji, teman senasib sepenanggungan di kala itu. Pandanganku beralih ke pojok. Pada tempat favoritnya. Sejenak kulafadzkan al fatihah, sungguh kenangan adalah teman yang tak mungkin teringkari.
“Serasa baru kemarin … ternyata sudah tujuh tahun berlalu.” Rice mengembalikan kesadaranku.
“Kamu mengingatnya?” Selidikku.
“Tentu, tak ada yang mampu melupakan kesetiaan selama tiga tahun sosok Rini dan pagi-pagi buta di pete-pete ini.”
Tawaku kembali pecah. Sejak kapan Rice belajar sastra?! Dan pertanyaan ini tentu tak kusampaikan. Hanya membiarkan tawaku, juga tawanya bersatu menjadi iringan musik pagi.
“Jika pete-pete ini butuh brand, boleh kok fotoku dipajang di bagian depannya.”
“Mungkin saja, kalau pete-pete ini sudah berwujud Lambhorgini.”
“Hahaha … kalau sudah berwujud seperti itu, mohon maaf saja … aku membatalkan perjanjian.”
“Loh, kenapa?”
“Hingga hari ini, mungkin sampai besok … Reebok masih tak ada duanya.”
Hening merajai.
“Kenapa tape-nya tidak diputar?”
“Rusak, bu … kamu kira dengan rentang tujuh tahun pete-pete ini akan baik-baik saja? Syukur-syukur kalau kamu tidak ikut mendorong nantinya.”
“Memang sering begitu?”
“Berdoalah …”
Dua anak SMA di depanku dengan pemikiran yang larut terdiam dalam keterdiaman. Entah. Atau barangkali ikut menikmati perbincangan antara aku dan Rice.  
“Dia ini langganan setiaku.” Begitu Rice pada akhirnya memperkenalkan aku pada mereka.
“Apa impianmu, dek?”
Wajah itu bersemu merah. Dulu pun, ketika ditanya demikian wajahku akan mengalami hal yang serupa.
“Keliling dunia …”
Mulutku terkunci. Beberapa detik.
“Kelak ketika kuliah nanti, menurutku jurusan sejarah adalah salah satu pilihan yang bijak, kau akan keluar melakukan riset, menemukan fosil-fosil di belahan dunia yang sedikit pun tak pernah kau bayangkan.”
Dan kalimat itu. Utuh masih tersimpan pada ingatan. Kini sempurna sudah, kenangan demi kenangan yang seperti kepingan puzzle menyatu seperti roll film. Arham. A-r-h-a-m. Dia yang sebenarnya masih tak bergeser di hati.
“Rin … kalian memang tidak pacaran?”
“Pacaran sama siapa?”
“Arham …”
DEG. Dan Rice yang menambah kenangan masa lalu.
“Tidak pernah.” Cepat kusampaikan hal itu. Barangkali, tak akan pernah.
“Bulan kemarin Arham menaiki Reebok, pertama kali sejak kepergiannya ke luar negeri.”
Dadaku sudah bergemuruh hebat. Ingin kutuai sejuta pertanyaan. Tapi tenggorokan sudah menahannya terlebih dahulu.
“Dia juga bercerita banyak, Rin … tentang luar negeri, wuih ... sepertinya seru merantau ke sana.”
Bagaimana kabarnya? Sudahkah dia menikah? Dimana dia sekarang? Dan lagi, semuanya tertahan. Pertanyaan itu.
“Dan dia juga menanyakan kabarmu.”
***
Wajah itu muncul pada akhirnya. Dengan raut kusut, dan bulu-bulu kasar yang tak terawat memenuhi sekitaran mulutnya. Hanya kusapa sekilas, dan kemudian meninggalkannya sendiri, di ruang tamu. Sekalian sebagai pembelajaran kenapa dia meninggalkanku selama ini. Satu pekan. Mungkin dia akan menyusulku masuk ke kamar? Tapi lagi, sampai malam pun dia masih tak bergeser di posisinya. Ibu bapak pun entah kemana. Atau mereka sengaja mengungsi untuk membiarkan kami menyelesaikannya berdua. Sungguh, tak ada saksi jika ada insiden pertumpahan darah di sini. Dan itu pemikiran yang benar-benar kusesali kemudian.
“Rini … aku lapar.”
Tawaku tetahan begitu dia berdiriawalnya kukira dia akan memelukku saking rindunya. Sambil berusaha menutupi ekspresi wajah, segera kusiapkan makan malam untuknya. Jelas saja dia akan kelaparan, secara sejak tengah hari dia datang dan tak setetes air pun masuk di tenggorokannya. Entahlah. Kecuali dia mengakalinya dengan membeli sesuatu di warung sebelah begitu keluar sholat di mesjid tadinya.
Tak ada suara. Pun kunyahannya sama sekali terdengar. Sampai selesai. Dan aku yang diam-diam menemani dari jauh. Punggung yang tetap saja sama. Pun segera aku mengubah posisi begitu dia kembali lagi ke tempatnya.
“Persiapkan barangmu, besok kita pulang.”
“Tapi masalah kita belum selesai.”
Hening. Lagi.  
“Apanya lagi? Kamu kira aku akan dengan mudah mengabulkan permintaan konyolmu itu?” Pelan dia mengucapkan kalimat itu, dan getaran yang jelas terdengar dari sana. ”Kamu terlalu banyak menonton drama Korea, Rini … juga masalah kita sebenarnya apa? Vonis dokter? Kenapa semudah itu kamu mempercayainya … bahkan nabi Ibrahim saja di usia senjanya baru bisa mendapatkan keturunan.”
Suaranya berubah parau. Entah bagaimana wujud perasaan yang bercokol di sana.
“Dan kamu kira masalahnya hanya itu? Setelah kenyang lantas kemudian menganggap semuanya seremeh itu? Juga menuduhku korban drama Korea! Kenapa seakan emosiku tersulut seperti ini.
“Rini … tidak seperti itu.”
“Bukan. Bukan itu. Tapi kamu? Kenapa kamu meninggalkanku selama ini?”
Pecah, sudah. Dan dia yang menghambur ke arahku. Kami berpelukan, erat.  Bertangisan bersama. Hal itu sering kami lakukan. Entah sebab-musabab apa. Selalu saja ada hal yang membuat kita menangis bersama.
“Dan jawabannya semoga menjadi keputusan akhir … jangan pernah mengulangi itu lagi kepadaku.” Ucapnya lirih, tepat di telingaku.
Selesai. Sudah. Dan besok paginya kami akan kembali pulang. Juga, wejangan ibu bapak yang pada akhirnya tersampaikan.
Dan tak ada keterkejutan melebihi keterkejutan lainnya, selain melihat dia, dia … melintas di depan rumahku esoknya. Kuikuti pandangan kemana tubuhnya berjalan, hingga dia tak lagi terlihat. Ada getir melanda, sungguh! Pun wajahnya yang telah banyak berubah.
“Siapa?” Arham menghampiriku.
“Arham.” Seketika dia berpikir berat.
“Yang memberikanmu peta dunia?”
Hanya anggukan sebagai jawaban. Dia memegang tanganku. Erat. Segera kubalas tatapannya. Mencari posisi diriku di sana, pada bola matanya. Lihatlah, aku di sana. Kupeluk suamiku kemudian. Melarungkan rasa. Cinta pertama tak akan pernah hilang seberapa pun kau berusaha untuk melupakannya. Dia selalu terngiang, meskipun sosok cinta sejati itu telah hadir di depanmu. Tapi hidup memang terkadang serumit itu, bukan?! Memutarbalikkan perasaan dengan seenak jidat.  Sudahlah! Ini hanya perasaanku saja. Tentang cinta bertepuk sebelah tangan, dan perasaan yang tak pernah terungkap. Begini lebih baik. Dan biarkan waktu mengaburkan jejak itu. Hanya saja, jika ada waktu aku ingin mengatakan sesuatu padanya. Pada Arham. Arham yang bukan suamiku. Tentang sarannya dulu agar aku memilih jurusan Sejarah, dan alasan-alasan lainnya yang bisa mewujudkan mimpiku. Dan kenyataannya aku tak mengikuti semua itu. Karena seperti jawaban yang akan kusampaikan : Mungkin akan lain jalan ceritanya kalau dulu hal itu kulakukan, dan kehidupan yang kutempuh saat ini, itulah pilihan yang terbaik.     
***
Jakarta 2016
Sir, aku tertarik dengan sosok perempuan lugu yang barusan kamu ceritakan.” Seorang remaja berperawakan tinggi menghampiriku.
“Oh ya …?!” Aku masih asyik menandatangani tumpukan buku yang beberapa hari ini akan segera launching. Beberapa saat tadi, aku baru saja mengisi pelatihan menulis di toko buku merangkap tempat nongkrong komunitas pecinta literasi di sini, di tempatku kini meregangkan kembali otot-otot jari.
“Dia pacarmu, Sir?” Remaja yang terlalu lancang. Kualihkan perhatianku sejenak dengan melirik wajahnya yang lumayan cantik dengan pipi merah yang merona.
No … “ Kujawab dengan senyum. 
“Tapi dia nyata, bukan?” Dia masih mengejarku dengan pertanyaan seperti itu. Apakah dia cemburu? Tuhan, sudah berapa banyak makhluk seperti ini Kau kirimkan kepadaku. 
“Menurutmu?”
Sir … “ Dia meninggalkanku dengan gemas. Kualihkan pikiranku, hingga kemudian tertuju pada sebuah inisial di lembar yang kutandatangani. Untuk R : Ketika merindukanmu, apakah itu cinta? Karena sungguh hatiku kini begitu rindu, tentangnya ... di bawah pohon mangga dan pete-pete di pagi buta. END

*Penikmat teh hangat, buku, hujan, becak dan ... anak-anak
Catatan :
pete-pete : angkot

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -