- Back to Home »
- Orang yang Kutemui di Sepanjang Jalan
Posted by : mulhaeri azzahra
Kamis, 10 November 2016
Orang yang Kutemui di Sepanjang Jalan
Rani Ar Rayyan*
Tak ada ingatan yang mampu melampaui
kenangan tentang pete-pete dan pagi buta. Juga, teman senasib
sepenanggungan di kala itu. Beberapa tahun yang telah lewat. Sepuluh tahun atau
barangkali telah masuk sebelas. Tak jauh dengan kisaran tenggang waktu itu.
Tiga tahun berkutat, masa SMA dan rutinitas pagi yang tak mengenal kata bosan.
Rindu, adalah kenangan yang selalu melekat. Seperti perjalanan yang
suatu ketika harus berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Tak bermaksud
kembali. Hanya sekedar meneropong langkah, betapa jauhnya kini kaki berjalan.
Dan betapa erat pertalian rindunya : aku, pete-pete dan pagi
buta. Seperti segitiga yang tak akan sempurna dinamakan segitiga jika hilang
salah satu seginya.
***
Tahun 2005 – Tahun 2008
Nama yang selalu melekat. Arham. A-r-h-a-m. Lelaki tinggi yang selalu
membersamai di bawah pohon mangga depan rumah. Satu tujuan. Menunggu pete-pete.
Dan baiklah, kuperkenalkan Reebook. Pete-pete putih dengan kulit luar yang
terdempul dengan pilox yang entah telah berapa puluhan kali disemprotkan. Pun
dari kejauhan, suara mesinnya yang fals dengan klakson bersuara ‘joli’
(mencret)—demikian bangsa kami menjulukinya—adalah irama pagi yang selalu
menjadi alasan untuk bangun lebih awal mendahului adzan subuh mesjid.
Sarapan—makan subuh—ala kadarnya yang tinggal dipanasi emak sisa makanan semalam selalunya
dipaksakan masuk ke tenggorokan. Karena, tak ada kenikmatan menelan nasi di
subuh hari pun di waktu puasa dengan menu tak menggiurkan, kecuali jika memang
sedang kelaparan. Tapi selalu berhasil masuk mengingat kelaparan yang akan melilitmu
beberapa jam kemudian, karena jangan harap ada selipan uang jajan yang ongkos pete-pete
saja sudah membuat emak banting tulang tiap hari. Rice, Lelaki tanggung dengan
rambut gondrong ala Dora yang dengan suara berat selalu menyapa. Susunan gigi
yang berjejalan tak pernah tertutup dengan sempurna karena struktur bawaan yang
membuatnya demikian atau barangkali kemurahan senyumnya yang tak pernah pudar. Setia di belakang stir, membawa kami menempuh
perjalanan ±10 km. Dan perjalanan ini bukan laju jalan yang lazimnya ditemui. Jalanan
beraspal yang menggunung dan berlembah—jalanan rusak. Tak sedikit sering
memancing untuk memuntahkan isi perut. Kondisi itulah yang membesarkan,
demikian kalimat penghibur yang entah dikeluarkan untuk siapa.
Arham, tetangga—beberapa rumah yang jadi perantara—yang juga setiap
pagi buta sudah berdiri tegap di bawah pohon depan rumah. Pernah sekali ketika
kutanya, kenapa menunggunya harus di depan rumahku? Jawabnya, karena hanya ada
satu rumah dengan pohon paling besar di sepanjang jalan ini. Dan setelahnya itu
tak pernah lagi kutanya, apa hubungan menunggu dan pohon paling besar? Tak
pernah lagi, hingga kini, hingga di waktu-waktu mendatang. Selain, dia masih
saja setia di sana. Menunggu dan bercerita. Cerita apa saja. Tentang Hellen keller. Karen Amstrong. Vasco da Gama.
Kisah perang salib. Perang Dunia. Dan tentu saja Romeo dan Juliet. Kak Arham, begitu selalu kusapa seperti membawa alamat baru pada
sebuah hati polos yang haus akan cerita hebat. Tak terlalu kutahu apa
pekerjaannya, selain di beberapa hari yang lalu dia mengatakan akan masuk
kuliah, beberapa waktu kemudian dia kembali mengatakan akan mengajar, dan setelahnya
itu mengatakan akan jualan di pasar. Dia pencerita hebat, hanya itu jawaban
yang akan kusiapkan andaikan ada yang bertanya tentang apa pekerjaannya. Dia
mampu membuatku terpukau dengan ekspresi dan intonasi suaranya yang seakan-akan
nyata ceritanya.
Pete-pete, wadah yang menautkan hatiku. Berdempetan antara penumpang satu
dan yang lain. Namun lebih sering dengan kak Arham. Dia akan tersenyum meringis
ketika kedua pahanya harus bertumpuan, begitupun denganku. Tertawa ringan pada
akhirnya melihat posisi tak nyaman ini. Dan suara Ariel—yang pada saat itu
masih menjadi Peter Pan—mengiringi
perjalanan ini. Terkadang menjadi musik latar tentang perasaan yang entah harus
kujelaskan seperti apa. Aku mencintainya, entah sejak kapan. Berkutat pada bisingnya deruman pete-pete di pagi buta, kularungkan
rasaku.
***
“Kamu baiknya memilih
jurusan sejarah jika kuliah nanti.” Pandangannya tak tertuju padaku, tapi
kutahu pernyataan itu ditujukan pada siapa. Pagi buta yang kesekian kali di
dalam pete-pete yang kali ini hanya berisi beberapa penumpang. Di pojok ada Puang Aji—panggilan yang sudah lazim
untuk orang yang mengenakan ciput haji—yang memang sepertinya sudah mem-booking bahwa tempat duduk pas bagian pojok itu hanya untuknya. Jualannya—baskom berisi ikan segar—terkadang menjadi
alamat beberapa penumpang gagal naik. Tentu saja. Jalanan yang bermasalah
adalah pemicu air ikan akan tumpah mencimprati sedikit banyaknya ujung kain.
Namun alasan itu tak berlaku dalam kamusku. Tumpah tidaknya, setidaknya prinsip
yang masih menjadi prioritas agar tidak terlambat ke sekolah lebih baik. Karena
setelah Reebook, pete-pete lain yang bermunculan tunggu sejam atau dua jam kemudian,
di saat pintu gerbang sudah hampir tertutup atau malah tertutup sama sekali.
“Kamu punya impian
ingin keliling dunia … dan menurutku jurusan sejarah adalah salah satu pilihan
yang bijak, kau akan keluar melakukan riset, menemukan fosil-fosil di belahan
dunia yang sedikit pun tak pernah kau bayangkan.”
Ludahku tertelan pahit.
Kenapa juga terbeberkan dengan sempurna cerita-cerita semu tentang impian itu.
Juga, kenapa harus padanya? Yang bahkan untuk memimpikan hal yang terlalu besar
itu terkadang membuatku harus tahu diri. Terlalu jauh. Pungguk merindukan
bulan. Bagai langit dan bumi. Dan pernah sekali waktu kusampaikan pada emak
agar mengabulkan keinginanku memiliki peta dunia. Entah pada buku mana yang
menyampaikan nasehat itu, mulailah dengan memiliki peta dunia sebagai langkah
awal untuk keliling dunia. Namun tertahan di tenggorokan, karena jelas tak akan
tersampaikan di saat memiliki buku tulis sudah jauh lebih dari cukup. Cukup
menggambar peta dunia itu pada sisa buku tulis yang tak terpakai, kemudian
menghubungkannya satu sama lain. Jelas tak akan sama, terlebih ketika kertas
itu berakhir basah dengan jejak tinta luntur karena hujan yang turun melalui
celah atap bocor.
“Memilih jurusan
sejarah, berkutat dengan fosil Pithecantropus
Erectus … menelusuri jejak Alfonso de
Albuquerque … “ Sambungku dengan nada yang kelewat hambar. Tawanya menggema
sambil menaikkan dua jempol entah dengan maksud apa. Mengakui otakku yang bisa
diperhitungkan, atau justru sebaliknya menyindir keminiman pengetahuanku yang
hanya sampai pada standar itu.
“Lihatlah … “ Kepalanya
berbalik ke jendela pete-pete yang
terbuka lebar. Ada matahari yang mulai menampakkan kemerahannya. Kuikuti sampai
sejauh mana arah pandangannya. “Sawah-sawah itu, pepohonan itu ... adalah kerinduan yang tak terbayarkan oleh
apapun saat kau keliling dunia nanti.”
“Kicauan burung di pagi
hari, bedug adzan subuh, bahkan tiupan anginnya … semua akan menagih pulang
untuk kau kunjungi kelak.“ Dan dimulai sejak kapan, pernyataan-pernyataan itu
selalu rutin dikeluarkannya pada setiap kebersamaan menghabiskan pagi dalam pete-pete yang terpisah saat aku turun
di sekolah nantinya. Aku tak pernah bosan, lucunya. Bahkan sejauh apapun
kutepis impian semu itu, maka segila itu juga kudengar setiap kata yang keluar
dari mulutnya. Sudah menjadi bahasa mantra, barangkali.
“Resapilah … hirup
baik-baik udaranya.” Dia memejamkan mata. Berulang kali mempraktekkan adegan
pernafasan yang lebih sering kusebut pertapaan. Rice terkadang meledek ulah
kami, tentu tak bermaksud mengejek sama sekali. Bahkan terkadang sesekali dia
menimpali pembicaraan kami. Dan Puang Aji
yang sama sekali acuh, melainkan jika tak sengaja ada yang menginjak kakinya
dan sepanjang jalan yang terdengar bukan lagi kalimat bijak kak Arham,
melainkan keluhan sakit Puang Aji
yang sampai aku turun masih terdengar. Dan aku membencinya jika sudah
demikian.
“Kau pasti akan
menginjakkan kaki ke seluruh belahan dunia.”
“Menara Pisa, Pulau Jeju, Gondola, tembok
China, Haghia Sophia, daun Maple, Hollywood, Bollywood,”
Kulafalkan dengan antusias. Kata-kata yang kudapat dari buku yang
dipinjamkannya.
Maka beruntutan
buku-buku dengan segala rupa disodorkannya kepadaku. Termasuk peta dunia,
adalah hadiah paling istimewa yang kuterima di sepanjang hidupku, barangkali.
Dia memberikannya tepat pada hari ulang tahunku. Entah kebetulan yang
disengaja. Karena sekali pun, tak pernah ada perbincangan pribadi selain impian
dan dunia dalam kamus kami berdua. Maka sempurnalah, peta dunia itu tertempel
di dinding kamarku—kamar yang semua orang punya—yang jika hujan turun maka peta
itu juga harus segera dicopot dan memasangnya kembali jika hujan sudah mereda.
“Apa impianmu?”
pertanyaan yang kemudian suatu hari kukeluarkan.
“Menjadi penulis.”
“Seperti JK.Rowling?” Pun penulis tenar itu
kutemukan di salah satu majalah yang dipinjamkannya. Tak mungkin dari televisi.
Karena hal itu jauh dari harapan. Di rumah memang sempat punya televisi
sebelumnya, namun setelah rusak sepertinya memperbaikinya bukan lagi hal yang
utama.
Dia menaikkan kedua
tangannya. Sebuah jawaban mimik yang ambigu. Biasanya setelah itu, dia akan larut
dalam keheningan yang diciptakannya. Memandang lurus ke arah jalanan depan,
atau memandang hamparan sawah yang membentang. Dan seketika itu, mata liarku
mulai beraksi memandangi setiap senti wajahnya. Hanya sepersekian detik. Karena
laju pete-pete yang lebih sering tak
bersahabat akan membuyarkan segalanya.
***
Rini. R-i-n-i. hanya
Rini. Tak ada embel-embel di depan terlebih di belakangnya. Anak remaja berbau matahari yang
belum pernah absen dari sekolah. Dia akan kau temui setiap paginya di Reebook dengan rambut yang lebih sering
tak sempurna disisir—karena buru-buru, atau lampu rumah yang sedang bermasalah.
Sepertinya tak ada yang lebih tabah dari kesetiaannya menanti cerita tetangga
idolanya yang meskipun kadang masih berkutat pada cerita yang berulang-ulang.
Hampir tiga tahun. Dan bulan depan, dia akan ujian nasional. Di awal dia sudah
sempat menggambarkan betapa emak berjuang untuk membiayai ongkos pete-petenya. Berjuang. Karena
sebagaimana latar belakang orang-orang kampung seperti mereka, segala
sesuatunya memang harus diperjuangkan. Hidup dan kehidupan. Bapaknya telah
meninggal sekian tahun yang telah lewat. Dan emak yang menikah lagi beberapa
tahun kemudian. Awalnya dia menjadi anak tunggal, berganti dengan keluarga
besar dengan saudara tiri yang banyak jumlahnya. Mungkin saja hidupnya akan
sejahtera sedikit mengingat bapak barunya itu salah seorang
penjual emas yang lumayan berhasil. Namun takdir tak pernah pilih kasih, dia
akan menjatuhkan pilihannya pada siapa saja yang dikehendakinya. Bapak baru
bangkrut dan beralih profesi menggarap sawah yang lebih sering berakhir puso—gagal.
Demikian perkenalan
singkat tentangku. Dan tak ada jawaban yang mewakili tentang
Rini selain anak SMA yang bangun pagi buta menunggu pete-pete. Seperti pada suatu waktu, di pagi buta yang sedang gerimis. Mengandalkan payung tua, aku tetap tak beranjak dari tempatku.
Sebenarnya masuk di rumah sambil menunggu pete-pete
adalah pilihan yang tepat secara Rice tak mungkin lupa mengangkutku. Tapi
keputusan ini tak bisa lagi dibantah. Aku rindu kak Arham. Sebab alasan apa
hingga tiga hari ini tak lagi muncul di sini membersamai menunggu pete-pete. Adalah pantas jika kuputuskan
untuk setia menunggunya. Beberapa kali mataku mengekor pada rumahnya yang hanya
terlihat pagarnya dari tempatku berdiri. Tak ada tanda-tanda dia akan
menampakkan wujudnya. Apakah dia sakit? Atau dia keluar kota. Dan sejak kapan
aku begitu marah jika dia tidak menginformasikan kejadian terkait dengannya
kepadaku.
Reebok sudah menampakkan
kepalanya. Rice, seperti biasa memamerkan giginya yang berjejalan. Tak pernah
benar-benar jelas seperti apa wajahnya setiap menjemputku selain hanya giginya
yang terlihat. Masih sempat mataku menoleh sejenak ke pagar rumah berwarna
gado-gado itu. Berharap ada penampakan tubuh yang menyongsong pete-pete. Tapi seperti tiga hari
sebelumnya, sampai aku duduk di pete-pete
pun tetap saja tak ada kejadian.
“Dia kemana?” Rice membuyarkan kekhawatiranku.
“Entah ... “
Dia menyambut jawabanku dengan gelak tawa. Penumpangnya pagi ini
lumayan hampir memenuhi ruangan. Dan tentu saja Puang Aji yang standby di posisinya.
“Kegelisahan seorang gadis terhadap kekasihnya.” Jelas aku tak
menyangka, tambahan kalimat Rice telah membuat pipiku bersemu merah. Untung
sekeliling masih tak begitu terang, dan dia tak melihat bagaimana ekspresi
mukaku sekarang.
“Kau bilang apa?” Aku pura-pura bersungut. Padahal ada senyum di
hati ini. Kegelisahan seorang gadis terhadap kekasihnya. Betapa geli
mebayangkan hal demikian? Benarkah seperti ini rasanya seseorang yang
mengkhawatirkan kekasihnya? Rasa permen nano-nano.
“Kalian pacaran, kan?”Rice seperti tak tahu situasi blak-blakan
mengatakan hal itu.
“Apaan ...” Sergahku. “Kami berteman, hanya itu.”
Jelas aku tak mengharapkan kondisinya akan sesederhana itu. Pun
perasaan apa ini? Perasaan yang awalnya kuingkari sendiri. Tak pernah
benar-benar kuambil hati andaikan dia menampakkan dirinya setiap hari,
membersamaiku menunggu pete-pete.
Nyatanya dia menghilang di saat menjelang ujian nasional sudah di depan mata.
Penyemangatku pergi. Pencerita hebatku tak ada lagi. Dan aku yang tak ada
apa-apanya menurutnya, barangkali.
Sungguh, tak ada kerinduan hebat melebihi ini. Aku rindu bapak.
Tapi rindu ini jauh lebih berbeda. Sudah hitungan minggu aku tak lagi
melihatnya. Bahkan setelah aku ujian, dan sudah mulai jarang menggunakan pete-pete karena aktivitas sekolah yang
sudah tak ada lagi melainkan sisa menunggu hasil ujian yang datangnya sebulan
kemudian. Itu pertanda, intensitas pertemuan kami sudah semakin jauh dari
harapan.
Namun siapa sangka pagi itu adalah sebuah keajaiban paling besar di
hidupku. Dia datang. Bukan seperti kebiasaan sebelumnya—berteduh di bawah pohon
mangga depan rumah—melainkan berdiri di depan pintu rumahku. Sontak semua
saudaraku geger karena tak pernah ada riwayat seorang laki-laki yang bukan
bagian keluarga datang ke rumah dan menanyakan keberadaanku. Meskipun bagi
mereka, kak Arham sama tak asingnya dengan tetangga yang lain, tapi tetap saja
seorang lelaki yang kali pertama menginjakkan kaki di teras rumah adalah
sesuatu yang berbeda. Segera kupoles bedak tipis untuk menyamarkan wajah kusut
karena belum mandi dan menyisir rambut dengan asal. Entah seperti apa
kugambarkan hati ini begitu melihat orang yang rinduku begitu besar kepadanya.
Dia dengan kaos oblong dan celana panjang gombrang sama sekali tak berbeda dengan dia pada
hari-hari sebelumnya. Hanya cambang tipis yang terlihat tumbuh di wajahnya.
Sungguh, hal itu membuatnya sudah seperti laki-laki dewasa saja. Tuhan,
bolehkan aku pingsan dulu?!
“Rini, apa kabar?” Sapanya mendahului. Semoga saja tingkahku tak
terlihat grogi di depannya.
“Kak Arham dari mana saja?” Dan pertanyaan itu adalah jawaban yang
lebih tepat untuk pertanyaannya. Ada senyum yang mengembang.
“Maaf ... aku tak memberitahumu.”
Tunggu, dia minta maaf?! Apakah itu tanda kalau dia merasa
bersalah?!
“Aku mengurus banyak hal ... dan hari ini aku datang untuk pamit.”
Hatiku yang tadinya melambung jauh, kini terpental sakit ke bawah.
“Aku lolos beasiswa ke Bordeaux, Rin ...”
Dan jawaban selanjutnya tak lagi penting.
“Kamu juga harus berjuang keras untuk mewujudkan impianmu, karena
tak ada kenyataan yang menggembirakan jika asalnya bukan dari apa yang kita
impikan.”
Sepeninggal kak Arham, segera aku berlari ke kamar. Membentangkan
peta yang dulunya pernah dia berikan. Tujuanku cuma satu. Mencari Bordeaux. Apakah
bersebelahan dengan Indonesia? Atau letaknya di Malaysia?! Tak kutemukan.
Selain menabahkan hati kalau kak Arham ke luar negeri. Sungguh! Telah begitu
jauh rentang jarak kini. Entah kapan bertemu lagi? Masihkah dia akan
mengingatku? Dan seperti buku yang pernah kubaca : Untuk jatuh cinta pun aku
harus tahu diri.
Sekuat tenaga kutahan
air mata yang sudah mau jebol. Bisa tambah parah masalahnya. Tak hanya sangkut
paut dengan kak Arham melainkan dengan saudaraku yang lain. Lebih-lebih dengan
orang tuaku. Bisa jawab apa jika kenyataannya mataku ditemukan bengkak
gara-gara menangis. Alasan sakit kepala sepertinya bukan lagi jawaban yang
mendukung secara ayah tiriku adalah ahli herbal yang diperhitungkan di daerah
ini.
***
Tahun 2015
Musim hujan dan
kesetiaanku menatap turunnya dari balik kaca jendela ruang kerja. Berapa kali
pun turunnya, setiap itu juga perhatianku teralihkan dari tumpukan proposal
yang berdesakan di atas meja. Biasanya hanya beberapa menit. Namun tak jarang
juga kecolongan hingga hujannya mereda. Seperti tulisan yang pernah kubaca,
hujan adalah jembatan yang akan membuatmu terhubung pada ingatan.
Sesekali aku menyesap cappuccino yang masih berembun hangat.
Sebelah tubuhku bertumpu pada dinding kaca—yang keseluruhan dindingnya memang
dari kaca. Menara Phinisi yang merupakan ikon salah satu universitas di
Makassar berdiri gagah di sana. Gagah terlihat, tapi tahukah kalian, dia
kesepian. Sendiri berdiri paling tinggi di sana, tidakkah menjadi hal yang
membosankan?! Seperti diriku kini. Sepi dan sendiri. Pandanganku beralih pada pete-pete yang terlihat menyemut dari
tempatku berdiri. Musim hujan dan pete-pete adalah takdir yang saling
mendukung. Sebagian orang memilih menganggurkan kendaraan pribadinya jika musim
hujan tiba dan lebih memilih naik pete-pete.
Alasannya? Tentu banyak alasan yang lebih subjektif. Salah satunya malas
mencuci kendaraan setelah menginjak jalanan becek. Entahlah. Sejak kapan aku peduli.
Pun naik pete-pete sudah hitungan tahun tak lagi kunaiki. Sudah tidak
pernah. Dan entah kapan lagi.
“Rin …” Suara itu
lembut. Selembut wajah pemiliknya. Berjalan anggun dia mendekatiku. Perubaha jam tak pernah
sekali pun mempengaruhi raut wajahnya. Tetap selalu sama. Pun
jilbab yang membalut kepalanya tak pernah terlihat kusut. Dia turut mengikuti
gerikku. Menyandarkan sebelah tubuhnya pada dinding kaca.
“Kita begitu berbeda
dalam semua, kecuali dalam hujan.” Aku memodifikasi puisi Gie di film Gie dengan
mengubah kata ‘cinta’ pada kalimat aslinya menjadi ‘hujan’. Senyumnya
mengembang, memperlihatkan deretan giginya yang manis dengan ginsul.
“Juga novel dan drama
Korea … “ Tambahnya, mengedipkan sebelah matanya untuk memastikan betapa kami
berdua memiliki persamaan yang lebih dari satu, ternyata.
“Cappucino … juga.” Pecahlah tawa kami. Entah lebih tepatnya
menertawakan apa. Barangkali tentang kegilaan. Dan … kesepian. Seperti inilah,
hujan turun akan mendekatkan jiwa-jiwa yang sepi.
Baiklah, namanya
Aisyah. A-i-s-y-a-h. Kak Ais, lebih sering kusapa begitu. Sebenarnya hampir
seumuran, meskipun kak Ais lebih tua lima bulan dariku. Pernah kusapa dengan
panggilan ‘Ais’ saja. Tapi dia menegurku habis-habisan—tak benar-benar menegur—alasannya,
karena dia lebih duluan diterima bekerja di tempat ini. Mungkin terdengar
senioritas, tapi sayang sekali … kak Ais begitu baik sama siapa pun, sampai
tukang sapu kantor sekali pun. Pernah saya berpikiran, kok ada orang yang
ditengah deadline tugas yang menumpuk
saling kejar-mengejar masih saja menyempatkan diri menyapa salah satu tukang
sapu lengkap dengan namanya, yang aku sendiri pun tak pernah benar-benar akan
serius untuk mengetahui nama-nama dari mereka.
“Suamimu sudah pulang?”
Suaranya lirih. Mungkin bermaksud menjaga perasaanku. Tapi apapun itu,
semua—hampir semua—peliknya hidupku tertumpahkan padanya. Juga tentang Arham,
suamiku yang semakin menjaga jarak kini.
“Biarlah dia pergi
menjauh, mungkin begini lebih baik menurutnya.”
“Tapi tidak menurutmu.”
Nafasku terdengar
berat. Tak akan kubiarkan air mata menang lagi kali ini, setiap perbincangan
tentangnya. Tak akan. Meskipun selalu gagal berulang kali.
“Sudahlah kak Ais … aku
tak mau mengungkitnya lagi sekarang, biarkan saja waktu mengembalikan atau pergi
sama sekali dia dari hidupku.”
“Aku tahu, dan meskipun
kata pergi bukan pilihan yang kita inginkan.” Dia menekan ‘pergi’ seakan
menggambarkan rasanya juga. Rasa yang berbeda, tentu dengan masalah yang
berbeda. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Terlalu
cepat. Sangat cepat diusia pernikahannya yang baru seumur jagung dengan janin
yang masih dalam kandungan waktu itu. Kepedihan seperti apa rasanya yang
dialami kak Ais. Tentu begitu perih, ditambah cabikan yang menyisakan luka
menganga. Lahirnya buah cinta mereka beberapa bulan kemudian menambah pedih
menurutnya. Seorang anak yang lahir tanpa mengenal siapa bapaknya adalah
pertanyaan yang selalu menimbulkan luka untuk menjawabnya jika anak itu besar
kelak.
Hujan sudah reda di
luar sana. Dan jarum jam yang menunjukkan waktu pulang. Proposal yang belum
tersentuh masih kubiarkan berdiam di posisinya. Segera aku beranjak pergi
bersamaan kak Ais dengan perasaan masing-masing.
***
Sudah malam kedua dia
tak pulang ke rumah. Kekesalannya mungkin bercampur menjadi satu. Tak pernah
sebelumnya dia melakukan itu—meninggalkanku dalam kesendirian—kecuali ada
urusan dinas, itu pun dengan telpon yang tak pernah absen. Dan sekarang ini
semua berbeda rasanya.
Vonis dokter tentang
rahimku yang tak bisa hamil tentu menjadi pukulan paling besar dalam rumah
tangga kami. Dia mungkin bisa pura-pura tegar, tapi aku tidak. Telah berkelindan
sejuta bahkan semilyar pikiran di kepalaku. Kesedihan apa yang bisa menandingi
sepasang suami istri yang tak akan menggendong bayi mereka selama hidupnya.
“Aku punya sesuatu
untukmu.” kataku tempo hari. Segera kutinggalkan tontonan drama Korea pelepas
penat begitu melihatnya masuk kamar. Ada sesuatu yang harus kuperlihatkan,
telah kupertimbangkan dengan sebaik mungkin, tentu saja.
“Apaan ini … “ Suaranya
mulai tak terdengar enak begitu beberapa lembar foto kuperlihatan padanya.
“Pilihlah … barangkali
ada yang bisa membuatmu tertarik dan … memberi keturunan untukmu.” Dan aku
berusaha sewajar mungkin. Padahal detak di dadaku tak akan mampu terkontrol
andaikan dia benar-benar menjatuhkan pilihannya pada salah satu dari mereka.
Tapi sayangnya, tingkahnya kemudian justru lebih membuatku sakit. Dia
menghempaskan apa yang ada di tangannya. Tak hanya itu, benda-benda di
sekelilingnya juga turut menjadi sasaran kemarahannya. Mungkinkah aku telah
berbuat yang tak sepantasnya?! Tak pernah sekali pun dia kulihat semarah ini.
Setelahnya itu dia keluar, meninggalkanku, dan tak pernah pulang lagi.
Pernikahan yang
memasuki usia setahun. Masih terlalu muda. Dan orang tua kami yang tanpa henti memberi
sokongan moral dan materil bahwa apapun yang terjadi ketika telah menyangkut
urusan anak sama halnya menyangkut urusan Tuhan. Dan tak ada yang tahu seperti
apa takdir Tuhan selanjutnya. Semoga saja keimananku masih bisa diandalkan
sampai tahap itu. Hanya saja aku terlalu labil sekarang, barangkali.
Namanya Arham.
A-r-h-a-m. Arham yang berbeda. Arham yang penikmat kopi, penyuka segala hal
tentang pepohonan, pecinta alam. Dan aku mulai tertarik saat dia menjadi ketua
tim ekspedisi Bawakaraeng sewaktu kuliah dulu, entahlah … atau barangkali
karena dia juga mempunyai nama ARHAM. Dan keberuntungan apa lagi yang tidak
kusyukuri begitu ibu mengabulkan impianku untuk lanjut kuliah di kota Makassar.
Keajaiban yang melebihi ajaibnya kedatangan kak Arham di pagi itu di rumahku.
Tak sekedar itu, beasiswa pun mulai bergelontoran karena keterlibatanku dalam
berorganisasi serta nilaiku yang di atas rata-rata. Ibu tentu tak punya alasan
untuk menghentikan langkah anak perempuannya yang sedang kehausan itu. Pun
tentang kak Arham, lamat-lamat mulai bias diingatan, tapi di hati jelas tak
akan bergeser. Masih diposisinya.
Kak Arham, dan apa
kabarnya? Sejak kepergiannya ke Bordeaux—yang belakangan baru kutahu kalau negara
itu merupakan salah satu negara di Eropa, dekat Perancis—tak ada lagi interaksi
apapun terlebih dia sudah tak pernah lagi pulang. Kemana lagi kakinya
melangkah? Sedang apa? Mungkin sudah menikah? Jawaban yang tak pernah
kudapatkan. Hanya peta dunia, dan kesabarannya menempel di setiap kamar yang
kutempati menjadi tanda bahwa dia tetap pelopor Rini yang ada sekarang.
Kembali tentang Arham,
suamiku. Dan sebab-musabab kenapa pada akhirnya kami disatukan pada takdir
pernikahan. Juga, lelaki pendiam yang lebih banyak kerjanya dibandingkan
mengoar teori-teori Karl Max, Maslow, Che Guavara yang menjadi andalan mahasiswa di masaku. Kami bertemu
pada kegiatan kampus, hanya itu. Selebihnya jangan harap, karena dia akan
bermarkas di hutan belantara, sedangkan aku di media kampus—berkecimpung dengan
majalah kampus. Pertemuan pertama kami, saat aku harus mewawancarainya karena
dia berhasil menemukan inovasi teknologi hutan. Masih dengan peluh dan keringat
sebesar butiran jagung di dahi aku menghampirinya.
“Bagaimana kesan anda
saat berhasil menemukan inovasi teknologi hutan?” Dan kuketawai kekonyolanku.
Pertanyaan yang paling dasar sekali dalam pelatihan dasar jurnalistik.
“Biasa saja.” Jawaban
yang jelas tak kuharapkan akan sesingkat itu.
“Maaf, apa makanan
kesukaan anda?” Tio, partner kerjaku entah dalam keadaan sadar atau tidak
menepok kepalaku begitu dia tak melihat ke arah kami.
“Rin … aku tak pernah
melihatmu bodoh, dan hari ini aku menyadari kau yang paling bodoh.” Tio masih
sempat membisiki kalimat itu. Segera kutepis dan mensejajari langkah target
kami.
“Maaf, anda belum
menjawab pertanyaan saya … apa makanan favorit anda?” Dia berhenti. Tanpa
melihatku.
“Makanan favorit tak
ada hubungannya dengan keberhasilan ini, tapi kalau anda mau tahu sekali … aku
suka kopi.”
Aku tertegun. Sejak
kapan kopi menjadi menu makanan favorit.
“Baiklah … saya akan
menunggu anda di warung kopi depan kampus sore nanti, pukul empat, saya akan
menunggu anda … sampai anda datang.”
Dia menatapku sekilas.
Dan berlalu, tanpa kalimat lagi. Tio menepuk pundakku.
“Ralat, kamu memang
cerdas, Rin … “ Kumonyongkan bibirku sebagai tanda tidak terima atas
perlakuannya tadi padaku.
“Ketika engkau ingin
membuat feature tentang seseorang,
traktir dia dengan makanan kesukaannya.” Pu aku tak tahu, sejak kapa ada teori
seperti itu.
Dan menurutmu dia
datang? Dia tidak datang. Dan tak pernah datang. Tak kutemukan dia lagi
berbulan lamanya. Hingga kemudian kami kembali bersama di tim ekspedisi gunung
Bawakaraeng. Dimana aku menjadi peserta dan dia yang menjadi tim leader. Berlanjut pada komunitas sebagai
follow up atas kegiatan itu. dan
diam-diam aku mulai mengagumi sosok dinginnya. Apakah masih disebut keajaiban
jika sehari setelah wisuda dia datang di rumahmu dan melamar? Sangat ajaib.
Karena sekali pun tak pernah ada perbincangan perasaan di antara kami berdua.
Hingga takdir itu seperti teka-teki yang hanya bisa ditebak.
Suara kodok mengalihkan
semua pikiranku kembali ke waktu hari ini. suara-suara yang menjadi teman jika
musim hujan turun. Jam di ponsel sudah menunjukkan angka yang kelewat larut
malam. Entah sudah berapa jam aku tetap bergeming di posisiku. Dan kini tak berniat
beranjak. Lampu pun masih terang-benderang, sempurna membuat pandanganku
mengitari pigura foto pernikahan kami yang tertempel banyak di dinding. Senyumku
mengembang saat berhenti pada foto keluarga besar kami. Tampak ibu dengan wajah
belepotan bedak—karena tak terbiasa menggunakannya—sedang tertawa lebar, juga
ada bapak dengan setelan jas terbaiknya yang kuhadiahkan pada beasiswa
pertamaku. Belum lagi saudara-saudara tiriku yang sudah melebihi saudara
sendiri berpose dengan gayanya masing-masing. Hingga kemudian tertuju pada
wajahnya, yang sedang tersenyum manis. Seketika itu juga air mataku kembali
terurai. Deras. Sesenggukan. Sungguh aku rindu. Sangat rindu.
***
Keputusan untuk pulang
karena begitu rindu. Terakhir kepulanganku pada idul fitri lima bulan kemarin. Dan
itu seperti sudah sangat lama, seakan hitungan tahun. Sejak diterima menjadi
PNS di instansi pemerintahan terlebih setelah menikah, intensitas kepulanganku
sudah tak sesering sebelumnya. Waktu kuliah dulu mungkin masih bisa kuakali
dengan keabsenan sehari dua hari, dan terpuaskan saat liburan semester. Tapi
kini, tentu telah lain jalan ceritanya.
Sawah di belakang rumah
masih sama hijaunya dengan dulu-dulu. Juga pohon mangga depan rumah yang tak
sedikit pun bergeser pada posisinya. Hanya rantingnya yang harus rela
terpangkas begitu dahannya sudah menyentuh atap rumah, begitu cerita bapak.
Perbedaan itu, karena rumah kini hanya ada ibu dan bapak. Saudara-saudaraku
telah punya hidupnya masing-masing. Ibu dan bapak yang menikmati kesendirian di
usia senjanya. Tentu bukan hal yang biasa, jika bukan hati tabah yang
menjalaninya. Ibu pernah bilang begini: anakmu di waktu mereka kecil tapi bukan
anakmu di waktu mereka sudah besar. Kini mulai kusadari betul betapa hidup pada
kehidupan hanya berpaku pada dua pilihan : meninggalkan dan ditinggalkan.
Sungguh kasihan ibu bapak. Tapi seperti itulah jalannya. Beberapa kali kuajak
mereka tinggal serumah saja denganku. Dan tawaran seperti ini juga seringkali
dilontarkan saudaraku yang lain. Jawabnya pun barangkali akan kau ulang di
beberapa tahun yang mendatang ketika mengalami hal yang serupa : di sini lebih baik.
Pun kepulanganku bukan
sesuatu yang terlepas begitu saja dari perbincangannya. Apalagi tanpa Arham.
Jelas teka-tekinya menjadi pertanyaan besar. Ada sesuatu yang terjadi pada
anaknya. Tapi ibu bapak tak pernah ikut campur pun pada urusan dulu-dulu
tentang rumah tangga anaknya selain kami harus menjalaninya dengan bijak. Hidup
di pedesaan selalu mengajarkan tentang kedamaian, dan dari rahim itulah kenapa
para orang tua yang hidup di sini begitu menolak mentah-mentah perceraian,
sepelik apapun masalahnya. Dan kepulanganku bukan tanpa tujuan, aku rindu. Itu
saja.
Maka disinilah aku
kini, pada pagi-pagi buta di bawah pohon mangga depan rumah. Menyemai semua
kenangan yang telah lewat. Merasakan aliran kedamaiannya. Tentang perasaan.
Tentang cinta. Juga rindu. Terlebih saat tubuhku berada di ruangan Reebook, dengan wujud peyot serta suara mesinnya yang fals dengan klakson bersuara ‘joli’—demikian
bangsa kami menjulukinya—yang begitu khas.
“Rin … kapan datang?”
Rice yang masih setia di belakang stir. Entah sudah berapa usianya kini. Rambut
ala Dora-nya sudah terpangkas botak menyisakan kepala plontos berbentuk bola
baseball.
“Kemarin, apa kabarmu?”
Tawanya lepas.
“Begitulah … anak sudah
tiga, bini hamil lagi, bapaknya masih awet muda, bukan?”
Pun tak mampu kutahan
tawaku. Untung saja penumpangnya hanya dua orang, tiga orang dengan diriku.
Yang duanya adalah anak SMA yang mungkin saja bernasib sama denganku, dulu.
Tentang puang aji—semoga masih ada
yang mengingat—dia meninggal beberapa tahun yang lalu karena diabetes, begitu
ibu sempat bercerita yang atas ihwal apa saling terkait dengan puang aji, teman senasib sepenanggungan
di kala itu. Pandanganku beralih ke pojok. Pada tempat favoritnya. Sejenak
kulafadzkan al fatihah, sungguh kenangan adalah teman yang tak mungkin
teringkari.
“Serasa baru kemarin …
ternyata sudah tujuh tahun berlalu.” Rice mengembalikan kesadaranku.
“Kamu mengingatnya?”
Selidikku.
“Tentu, tak ada yang
mampu melupakan kesetiaan selama tiga tahun sosok Rini dan pagi-pagi
buta di pete-pete ini.”
Tawaku kembali pecah.
Sejak kapan Rice belajar sastra?! Dan pertanyaan ini tentu tak kusampaikan.
Hanya membiarkan tawaku, juga tawanya bersatu menjadi iringan musik pagi.
“Jika pete-pete ini
butuh brand, boleh kok fotoku
dipajang di bagian depannya.”
“Mungkin saja, kalau pete-pete ini sudah berwujud Lambhorgini.”
“Hahaha … kalau sudah
berwujud seperti itu, mohon maaf saja … aku membatalkan perjanjian.”
“Loh, kenapa?”
“Hingga hari ini,
mungkin sampai besok … Reebok masih
tak ada duanya.”
Hening merajai.
“Kenapa tape-nya tidak diputar?”
“Rusak, bu … kamu kira
dengan rentang tujuh tahun pete-pete ini akan baik-baik saja?
Syukur-syukur kalau kamu tidak ikut mendorong nantinya.”
“Memang sering begitu?”
“Berdoalah …”
Dua anak SMA di depanku
dengan pemikiran yang larut terdiam dalam keterdiaman. Entah. Atau barangkali
ikut menikmati perbincangan antara aku dan Rice.
“Dia ini langganan
setiaku.” Begitu Rice pada akhirnya memperkenalkan aku pada mereka.
“Apa impianmu, dek?”
Wajah itu bersemu
merah. Dulu pun, ketika ditanya demikian wajahku akan mengalami hal yang
serupa.
“Keliling dunia …”
Mulutku terkunci.
Beberapa detik.
“Kelak ketika kuliah
nanti, menurutku jurusan sejarah adalah salah satu pilihan yang bijak, kau akan
keluar melakukan riset, menemukan fosil-fosil di belahan dunia yang sedikit pun
tak pernah kau bayangkan.”
Dan kalimat itu. Utuh
masih tersimpan pada ingatan. Kini sempurna sudah, kenangan demi kenangan yang
seperti kepingan puzzle menyatu seperti roll film. Arham. A-r-h-a-m. Dia yang
sebenarnya masih tak bergeser di hati.
“Rin … kalian memang
tidak pacaran?”
“Pacaran sama siapa?”
“Arham …”
DEG. Dan Rice yang
menambah kenangan masa lalu.
“Tidak pernah.” Cepat
kusampaikan hal itu. Barangkali, tak akan pernah.
“Bulan kemarin Arham
menaiki Reebok, pertama kali sejak kepergiannya ke luar negeri.”
Dadaku sudah bergemuruh
hebat. Ingin kutuai sejuta pertanyaan. Tapi tenggorokan sudah menahannya
terlebih dahulu.
“Dia juga bercerita
banyak, Rin … tentang luar negeri, wuih ... sepertinya seru merantau ke sana.”
Bagaimana kabarnya?
Sudahkah dia menikah? Dimana dia sekarang? Dan lagi, semuanya tertahan.
Pertanyaan itu.
“Dan dia juga
menanyakan kabarmu.”
***
Wajah itu muncul pada
akhirnya. Dengan raut kusut, dan bulu-bulu kasar yang tak terawat memenuhi
sekitaran mulutnya. Hanya kusapa sekilas, dan kemudian meninggalkannya sendiri,
di ruang tamu. Sekalian sebagai pembelajaran kenapa dia meninggalkanku selama ini.
Satu pekan. Mungkin dia akan menyusulku masuk ke kamar? Tapi lagi, sampai malam
pun dia masih tak bergeser di posisinya. Ibu bapak pun entah kemana. Atau
mereka sengaja mengungsi untuk membiarkan kami menyelesaikannya berdua.
Sungguh, tak ada saksi jika ada insiden pertumpahan darah di sini. Dan itu
pemikiran yang benar-benar kusesali kemudian.
“Rini … aku lapar.”
Tawaku tetahan begitu dia
berdiri—awalnya kukira dia akan memelukku saking rindunya. Sambil berusaha menutupi
ekspresi wajah, segera kusiapkan makan malam untuknya. Jelas saja dia akan
kelaparan, secara sejak tengah hari dia datang dan tak setetes air pun masuk di
tenggorokannya. Entahlah. Kecuali dia mengakalinya dengan membeli sesuatu di
warung sebelah begitu keluar sholat di mesjid tadinya.
Tak ada suara. Pun
kunyahannya sama sekali terdengar. Sampai selesai. Dan aku yang diam-diam
menemani dari jauh. Punggung yang tetap saja sama. Pun segera aku mengubah
posisi begitu dia kembali lagi ke tempatnya.
“Persiapkan barangmu,
besok kita pulang.”
“Tapi masalah kita
belum selesai.”
Hening. Lagi.
“Apanya lagi? Kamu kira
aku akan dengan mudah mengabulkan permintaan konyolmu itu?” Pelan dia
mengucapkan kalimat itu, dan getaran yang jelas terdengar dari
sana. ”Kamu terlalu banyak
menonton drama Korea, Rini … juga masalah kita sebenarnya apa? Vonis
dokter? Kenapa semudah itu kamu mempercayainya … bahkan nabi Ibrahim saja di
usia senjanya baru bisa mendapatkan keturunan.”
Suaranya berubah parau. Entah bagaimana wujud perasaan yang
bercokol di sana.
“Dan kamu kira
masalahnya hanya itu? Setelah kenyang lantas kemudian menganggap semuanya
seremeh itu? Juga menuduhku korban drama Korea!” Kenapa seakan emosiku tersulut seperti
ini.
“Rini … tidak seperti
itu.”
“Bukan. Bukan itu. Tapi
kamu? Kenapa kamu meninggalkanku selama ini?”
Pecah, sudah. Dan dia yang menghambur ke arahku. Kami berpelukan, erat. Bertangisan bersama. Hal itu sering kami
lakukan. Entah sebab-musabab apa. Selalu saja ada hal yang membuat kita menangis
bersama.
“Dan jawabannya semoga
menjadi keputusan akhir … jangan pernah mengulangi itu lagi kepadaku.” Ucapnya lirih, tepat di telingaku.
Selesai. Sudah. Dan
besok paginya kami akan kembali pulang. Juga, wejangan ibu bapak yang pada
akhirnya tersampaikan.
Dan tak ada
keterkejutan melebihi keterkejutan lainnya, selain melihat dia, dia … melintas
di depan rumahku esoknya. Kuikuti pandangan kemana tubuhnya berjalan, hingga dia tak
lagi terlihat. Ada getir melanda, sungguh! Pun wajahnya yang telah banyak
berubah.
“Siapa?” Arham
menghampiriku.
“Arham.” Seketika dia
berpikir berat.
“Yang memberikanmu peta
dunia?”
Hanya anggukan sebagai
jawaban. Dia memegang tanganku. Erat. Segera kubalas tatapannya. Mencari posisi
diriku di sana, pada bola matanya. Lihatlah, aku di sana. Kupeluk suamiku kemudian.
Melarungkan rasa. Cinta pertama tak akan pernah hilang
seberapa pun kau berusaha untuk melupakannya. Dia selalu terngiang, meskipun
sosok cinta sejati itu telah hadir di depanmu. Tapi hidup memang terkadang serumit
itu, bukan?! Memutarbalikkan perasaan dengan seenak jidat. Sudahlah! Ini hanya perasaanku
saja. Tentang cinta bertepuk sebelah tangan, dan perasaan yang tak pernah
terungkap. Begini lebih baik. Dan biarkan waktu mengaburkan jejak itu. Hanya
saja, jika ada waktu aku ingin mengatakan sesuatu padanya. Pada Arham. Arham
yang bukan suamiku. Tentang sarannya dulu agar aku memilih jurusan Sejarah, dan
alasan-alasan lainnya yang bisa mewujudkan mimpiku. Dan kenyataannya aku tak
mengikuti semua itu. Karena seperti jawaban yang akan kusampaikan : Mungkin
akan lain jalan ceritanya kalau dulu hal itu kulakukan, dan kehidupan yang
kutempuh saat ini, itulah pilihan yang terbaik.
***
Jakarta 2016
“Sir,
aku tertarik dengan sosok perempuan lugu yang barusan kamu ceritakan.” Seorang
remaja berperawakan tinggi menghampiriku.
“Oh ya …?!” Aku masih asyik menandatangani
tumpukan buku yang beberapa hari ini akan segera launching. Beberapa saat
tadi, aku baru saja mengisi pelatihan menulis di toko
buku merangkap tempat nongkrong komunitas pecinta literasi di sini, di tempatku
kini meregangkan kembali otot-otot jari.
“Dia pacarmu, Sir?” Remaja yang terlalu lancang. Kualihkan
perhatianku sejenak dengan melirik wajahnya yang lumayan cantik dengan pipi
merah yang merona.
“No
… “ Kujawab dengan senyum.
“Tapi dia nyata, bukan?” Dia masih mengejarku dengan pertanyaan seperti itu. Apakah dia
cemburu? Tuhan, sudah berapa banyak makhluk seperti ini Kau kirimkan
kepadaku.
“Menurutmu?”
“Sir
… “ Dia meninggalkanku dengan gemas. Kualihkan pikiranku, hingga kemudian
tertuju pada sebuah inisial di lembar yang kutandatangani. Untuk R : Ketika merindukanmu, apakah itu cinta? Karena sungguh hatiku kini begitu rindu,
tentangnya ... di bawah pohon mangga dan pete-pete di pagi buta. END
*Penikmat teh hangat,
buku, hujan, becak dan ... anak-anak
Catatan :
pete-pete : angkot