- Back to Home »
- Definisi Kesepian
Posted by : mulhaeri azzahra
Selasa, 17 Januari 2017
Definisi Kesepian
oleh : Rani Ar Rayyan*
Ada banyak nama
Iwan yang pernah kukenal sebelumnya, namun Iwan kali ini agak berbeda,
unik—aneh. Pun pertemuan pertama kami tak pernah benar-benar disebut pertemuan,
hanya pada suatu Selasa di sebuah surau tua yang menyisakan bedug reyot yang
sekali dua kali masih sering kutabuh. Sehabis Ashar waktu itu dan dia yang
masih bergeming di teras surau entah menekuri tulisan sandal jepitnya—Jangan
diambil, sudah 3x beli—atau memang sengaja menikmati angin sore yang pada bulan
Juni ini lebih sering meloloskan rintik hujan turun membersamai.
“Coba saja aku
bisa menjalani ramadan di sini.” Kalimat yang entah dikeluarkan untuk siapa,
tapi aku memilih duduk, bersisian dengannya. Ramadan yang tinggal sepekan lagi
dan hawa-hawa yang mulai terasa. Paling tidak surau ini telah berganti warna
dua hari sebelumnya, dan rerumputan yang menjulang di pekarangan sudah terbabat
habis. Tinggal kusen jendela yang barangkali akan dipernis ulang, tergantung
kas kotak amal yang entah masih mencukupi atau tidak.
“Ingin sekali
ramadan kali ini kulewati di sini.” Katanya, lagi. Dan mata kami—tanpa
sengaja—bertemu. Ada pecahan kaca di sana. Menyiratkan kerinduan. Dan berhasil
sudah, cerita-cerita selanjutnya keluar dengan sempurna. Iwan, yang seketika
itu aku merasa mulai dekat dengannya.
“Dulu ...”
Pandangannya mulai menerawang. “Aku yang menjadi pemimpin anak-anak sini untuk
menjadi tim bangun masak setiap pukul dua, menarik drum bekas sepanjang jalan
sambil menabuh kaleng apa saja yang bisa menimbulkan suara, kadang ada ibu-ibu
yang keluar rumah dan memarahi kami yang katanya terlalu ribut atau terlalu
pagi membangunkan ... tapi besoknya kami tetap melakukan itu, untuk apa? Karena
kami bahagia, itu saja.”
“Paling rajin
ke surau ini untuk tarwih hanya untuk cekikikan pada saat orang-orang sementara
sholat dengan menertawakan banyak hal, jelas kami dimarahi setelahnya, lebih
sering disuruh keluar ... tapi besoknya kami melakukannya lagi, untuk apa?
Karena kami bahagia, itu saja.”
“Juga paling
sering mencuri uang kotak amal dengan diam-diam, dan habis buka menyerbu warung
untuk membeli kuaci dan mie instan yang dimakan mentah, begitu kepergok jelas
kami dihukum habis-habisan ... tapi besoknya kami melakukan lagi, untuk apa?
Karena kami bahagia, itu saja.”
Takzim kudengar
setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, membiarkan semuanya mengalir begitu
saja sambil membawa ingatanku pada kenangan yang sama pada puluhan tahun yang
telah lewat. Iwan yang terlihat kekar di usianya yang barangkali belum memasuki
kepala empat, sesekali menyisakan senyum getir pada setiap akhir kalimatnya.
“Terkadang
kenakalan-kenakalan yang pernah terjadi di masa lalu adalah kenangan memalukan
yang membuat bahagia untuk dikenang.” Helaan nafasnya terdengar begitu berat.
Pun aku tak benar-benar tahu apa definisi bahagia seperti yang dikeluarkannya
barusan selain tak kutemukan raut bahagia di sana melainkan bibirnya yang mulai
bergetar.
“Ramadan nanti
ini ... si bungsu sudah genap berusia lima tahun, banyak waktu yang terlewatkan
begitu saja dengannya, dan pada saat itu aku merasa menjadi ayah yang begitu
menyedihkan ketika dia mulai bertanya banyak hal dan aku tak bisa menjawabnya.”
Dia seakan bercerita pada dirinya sendiri.
“Tadi pagi dia
menanyakan seragam sekolah apa yang akan dipakainya hari ini ... dan aku yang
tak mampu menjawabnya sama sekali, juga tentang warna kesukaannya yang aku tak
mengetahuinya ... dan kamu tahu, ramadan nanti ini telah kupersiapkan jawaban
andaikan dia kembali bertanya : katanya makan sahur, mana sahurnya, ayah? Untuk
membalas kelalaianku dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sepelenya pagi tadi.”
Lama aku
tertegun. Mencerna semua yang masuk di telinga. Ingin kusampaikan banyak hal,
padanya. Tapi dia sudah berdiri, menjauh dan hilang sama sekali dari pandangan.
Pun aku tak akan pernah benar-benar berhasil untuk menjelaskan. Semuanya.
Definisi kesepian itu. Karena kutahu, Iwan adalah spesies manusia kesepian
kesekian puluh juta yang mendiami alam raya ini. Kesepian yang selalu
menyisakan rindu. Juga kesepian yang bisa membunuh sekali waktu.
Ramadan yang
tinggal menghitung hari adalah kesepian yang telah merobek separuh jiwanya.
Karena itu berarti dia tak menjalani lagi ramadan yang kesekian kalinya dengan
keluarga. Tiga hari yang akan datang, katanya tadi, dia akan kembali berlayar
di hamparan samudera menjalankan tugasnya sebagai awak kapal di sebuah kapal
minyak. Berbulan-bulan tak melihat daratan. Dan katanya lagi, berbulan-bulan
tak pernah mendengar suara adzan. Dan ketika kali ini dia begitu rindu, itu sudah
wajar.
Sayangnya, Iwan
tak memberi kesempatan untuk mengeluarkan apa yang terpendam di hatiku. Padahal
ingin sekali bercerita banyak tentang masa dulu. Tentangku. Tentang ramadan belasan
tahun yang telah lewat : diam-diam membatalkan puasa hanya karena kebelet haus
yang seakan mau mematikan, melangkahi lembar alquran biar cepat khatam dan
mencapai target, ikut di mobil takbiran sampai-sampai dicari orang rumah,
sholat tarwih tanpa wudhu karena sudah kebelet pipis dan imam surau yang sistem
kebut sepuluh menit. Membiarkan semua itu hadir diingatan saat ini bisa saja
akan membuncahkan kerinduan yang mendalam. Tapi kerinduan untuk bersuara
barangkali masih lebih penting ingin kumiliki saat ini. Suara. Yang dua tahun
lalu pita suaraku rusak karena kecelakaan. Padahal anak semata wayangku yang
juga baru masuk usia lima tahun bulan depan sedang kritisnya menanyakan banyak
hal, dan aku akan menjadi ayah yang paling bodoh di dunia jika sama sekali tak
bisa mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan itu. Juga, aku adalah ayah
yang paling tersiksa di dunia ketika tak mampu lagi membacakan dongeng
menjelang tidur, mengajarkannya mengaji, terlebih meng-imami-nya sholat
berjamaah. Tapi masih pada pegangan yang mulai kupegang akhir-akhir ini, bahwa
hidup sebenarnya hanya terletak pada persoalan siapa yang sabar dan paling
sabar. Setidaknya, ketika kelak anakku bertanya juga pada akhirnya : katanya
makan sahur, mana sahurnya, ayah? Akan kudampingi dengan cara terbaik untuk
membuatnya mengerti dengan jawabanku.
Dan lagi tentang Iwan ... dia pria kesepian
yang menghidupkan sebuah keluarga hanya dalam kepalanya. Karena tiga tahun yang
lalu, anak dan istrinya tewas dimangsa api pada sebuah kebakaran yang paling
besar pernah terjadi di daerah ini. Dia sendiri baru mendapat berita duka itu
sebulan kemudian pada sebuah persinggahan setelah berlayar di berbagai dunia.
Begitu orang-orang mulai berbincang tentangnya. Namun di luar dari itu, ada hal
lain yang jauh lebih remuk. Kesepian. Dan hidup yang harus tetap berlanjut
setelah itu.
*Penikmat becak dan teh hangat, dan mulai serius menekuni dunia
literasi
Dimuat di Kolom Budaya Fajar, Edisi 26 Juni 2016
Dimuat di Kolom Budaya Fajar, Edisi 26 Juni 2016