- Back to Home »
- Buku Ini Tidak Dijual : Kisah tentang Buku dalam Buku
Posted by : mulhaeri azzahra
Kamis, 24 Desember 2015
Buku Ini Tidak Dijual : Kisah
tentang Buku dalam Buku
Chaery Ma
Judul
Buku : Buku Ini Tidak Dijual
Penulis
: Henny Alifah
ISBN
: 978-602-1614-48-8
Penerbit
: Indiva Media Kreasi
Tebal
: 192 halaman
Ukuran : 20 cm
Cetakan
: 1, Maret 2015
Harga
: Rp 46.000
Jika ingin menghancurkan sebuah
bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan
musnah, demikian quotes Milan Kundera,
novelis Republik Ceko yang sepertinya menggambarkan secara keseluruhan isi dari
buku ini yang meskipun dikemas dengan ide cerita yang begitu sederhana. Membaca
buku berarti membaca dunia, membaca kehidupan. Mohammad Hatta, proklamator RI dan
juga telah membuahkan sejumlah tulisan, salah satunya “Sikap Pemimpin” (10
Desember 1933) pernah mengatakan : Aku rela di penjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas. Itulah mengapa buku menjadi dunia tersendiri bagi
masing-masing penikmatnya. Dan hal ini yang sepertinya akan disampaikan oleh
Henny Alifah dalam bukunya “Buku Ini Tidak Dijual.” Sebuah buku yang bercerita
tentang buku. Buku dalam buku.
Dilihat dari judulnya saja sudah
membangkitkan rasa penasaran untuk mengetahui isi cerita di dalamnya. Sebuah kisah unik di tengah suguhan kisah
romantika, hiruk pikuk dunia perpolitikan, dan menjamurnya tips-tips untuk
meraih impian. Buku ini tampil lain mewarnai kesustraan Indonesia, mengangkat
cerita ringan tapi sarat pembelajaran, tentang seorang lelaki yang begitu
mencintai buku-bukunya. Awalnya, saya tidak bisa membayangkan bagaimana
buku-buku sejak zaman sekolah masih disimpannya hingga kini, sampai pada usia
yang sudah tidak lagi muda. Namun pertanyaan saya terjawab sendiri di awal-awal
cerita, Meskipun cuma buku SD-SMP, tetap saja itu buku. Ada ilmu di sana (hal.
10). Dan diperkuat lagi pada bagian cerita lainnya, Bagaimanapun, buku itu adalah benda yang kudapatkan dari bangku seolah,
bukan sekadar beli di pasar. Secara fisik, buku-buku itu membutikan bahwa aku
pernah sekolah. Kelak, kalau anakku bertanya tentang bagaimana petir dan kilat
tercipta, aku dapat membolak-balik kembali buku-buku SD-ku! (hal. 22) Akan tetapi, apa jadinya jika buku yang telah
susah payah dikumpulkan pada akhirnya dijual oleh seseorang. Inilah yang melatarbelakangi
munculnya konflik pada cerita ini, dimana buku Pandi, lelaki pecinta buku itu,
dijual oleh ayahnya sendiri tanpa sepengetahuannya. Pandi tak mampu menutupi
raut kekecewaannya begitu mengetahui
kejadian tersebut. Ibaratnya, sekeping hatinya pun telah dibawa pergi. Dia
begitu menyayangkan buku-buku itu lepas begitu saja dari dirinya. Dan hal ini
yang menggerakkan hati Gading, anak Pandi, untuk menemukan kembali buku-buku
ayahnya yang sudah terlanjur diboyong orang. Bersama Kingkin, sepupunya, Gading
memulai petualangnya. Mulai dari mencari informasi rumah pengumpul barang bekas
yang telah mengangkut buku-buku ayahnya, menelusuri sekolah yang terlanjur
sudah membeli buku-buku itu dari penjual barang bekas, dan menghadapi sekawanan
perampok yang ingin menyita buku-buku yang telah berhasil dikumpulkannya. Dan
disini, Henny Alifah telah berhasil menciptakan keseruan-keseruan kisah yang
dihadirkan pada buku ini.
Cerita yang mengalir, penggambaran latar
pelosok Jawa Timur dan dialek yang apik, dan keterkejutan yang dihadirkan pada
bagian endingnya yakni buku-buku tersebut bukan sekedar buku melainkan menyimpan
kenangan berupa foto tentang keluarga pada setiap halaman terakhirnya, menjadi kelebihan
tersendiri yang dirasakan pembaca. Juga, penggunaan waktu dalam ceritanya yang
hanya menggunakan rentang satu waktu membuat saya berkesimpulan kalau cerita ini
barangkali berawal dari cerita pendek yang dinovelkan. Namun Henny cukup cerdik
untuk mengembangkannya menjadi sebuah cerita panjang dengan konflik-konflik tak
terduga. Hanya saja, banyaknya nama-nama tokoh pendukung yang turut mewarnai
cerita di dalamnya mengharuskan saya harus kembali ke halaman tertentu untuk
menarik benang merah tentang siapa lagi dan punya hubungan apa lagi tokoh baru
yang dimunculkan dengan tokoh utama. Pun pada beberapa bagian saya menemukan
beberapa scene yang sebenarnya
terlalu bertele-tele, yakni pada saat Gading dan Kingkin membeli es dan
memungut asam (hal. 50-54), juga pada saat Kingkin dan Desi mengunjungi balai
kecamatan untuk membeli aksesoris (hal. 137-142), terbaca jelas sekali bahwa
Henny dengan terpaksa berusaha untuk mengulur-ulur waktu menyelesaikan ceritanya.
Tidak terlepas dari prestasi
dinobatkannya buku ini sebagai Pemenang I Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva
2014, yang juga senada dengan endorsement Afifah Afra yang tertera pada
sampul buku tersebut bahwa ide novel ini
sangat unik, lain dari pada yang lain, pilihan katanya juga efektif dan segar.
Buku ini pun banyak mengajarkan pesan moral kepada kita untuk menjaga dengan
sebaik mungkin harta berharga yang dimiliki, termasuk salah satunya adalah
buku. Dan percayalah, dari saya, buku ini adalah suguhan renyah yang bisa
menemani pembaca minum teh hangat saat senja.
***
Resensator :
Chaery
Ma adalah nama pena dari Mulhaeri Mustafah. Punya hobi mengoleksi buku yang
sampai hari ini banyak yang belum tuntas dibacanya. Mulai berkecimpung pada
dunia broadcasting, dan selalu meyakini
bahwa jalan ini yang akan membuatnya menjadi penulis yang bisa diakui ^_^