Posted by : mulhaeri azzahra Rabu, 22 Juli 2015



Di Puncak Tertinggi Indonesia Raya
(Tulisan seorang guru untuk murid-muridnya di Kelas PAUD)

Waktu hujan, hingga kemudian kuputuskan untuk menuliskan ini. Coretan. Lebih tepatnya begitu. Dan barangkali setelahnya itu hanya menjadi selembar kertas usang yang tak satu pun meliriknya. Entahlah! Aku hanya mau menulisnya. Dan itu sudah jadi alasan kuat hingga kemudian aku melakukannya. Karena aku percaya dengan sebuah quotes yang mengatakan : Kenapa Soekarno menulis, karena beliau tak mau idenya hanya tersimpan di kepala, pun ketika diorasikan hanya terdengar oleh rakyat Indonesia, beliau menginginkan apa yang ada di kepalanya juga didengar di seluruh dunia, dan solusinya adalah dengan menulis. Semoga tak menjadi ujub buat diriku ketika aku pun melakukan hal sama. Wallahu A’lam!
Kali ini tentang Indonesia, Nak! Barangkali untuk melafalkan kata itu, lidahmu masih tak begitu lentur untuk melakukannya, karena kau masih kecil, pun gigimu yang belum tumbuh dengan sempurna. Tapi sama sekali kau tak usah terlalu serius untuk mendengarnya, pun membacanya. Silahkan mainkan sajalah apa-apa yang ada di depanmu. Ini hanya luapan hatiku. Dan itu asalnya dari kedalaman. Nurani.
Kau tahu Indonesia itu apa, Nak?
Itu nama bangsamu, negaramu. Yang kini kau injak tanahnya. Yang air kau minum berasal  dari mata airnya. Juga udara tropis yang masuk menyatu dengan paru-parumu. Besok atau lusa, saat kau sudah besar … angkat kaki lah dari rumahmu, jangan hanya di kamar terus, karena Indonesia itu begitu indahnya, Nak.
Sudah tak perlu diperdebatkan lagi, zaman kalian tumbuh besar nanti akan berbeda dengan zamanku, Nak! Barangkali nantinya, sudah tak ada lagi becak berkeliaran, pun suara gemericik air hujan yang langsung menyentuh permukaan wajah barangkali akan jarang kau jumpai, karena langitmu tak lagi biru. Atau mungkin matahari tak bisa lagi kau bedakan warnanya karena bangunan pencakar langit yang menjulang tinggi. Tapi yakinlah, Nak … selama itu masih di Indonesia … maka berbahagialah! Karena banyak orang kita di luar sana yang begitu merindukan negeri ini, karena sesuatu hal, untuk pulang pun mereka tak bisa.
Tapi kalian masih begitu kecil untuk bisa membayangkan semua ini … tenggang waktu untuk sampai pada usia dewasa pun masih begitu jauh untuk kugambarkan. Maka bermainlah, Nak! Sesukamu! Karena akan ada masa dimana kau ingin bermain boneka lagi, bermain tanah lagi, kau sudah tak bisa melakukannya. Karena kau sudah besar, dan permainanmu sudah beda.
Baiklah Nak, ini Indonesia di masaku. Dan pemerintah yang sedang khilaf. Karena manusia tak ada yang luput dari kekhilafan, dan aku memutuskan untuk memakluminya. Barangkali terdengar bijak di telinga kecilmu itu, Nak! Seperti ibu bapakmu, pun diriku juga, sering melakukan kekhilafan seperti ini. Dan bisa jadi ketika aku yang berada di posisi mereka, justru aku tak jauh bedanya atau mungkin lebih parah dari kekhilafan yang dilakukannya. Entahlah, Nak. Manusia pada umumnya memang lebih banyak teori, sampai-sampai filosofi kenapa kita diberi satu mulut, sedangkan tangan dan kaki masing-masing dua belum juga terlalu menyentuh kedalaman hati, nurani.
Makanya tangan Indonesia Raya kedepannya kupercayakan kepadamu, Nak! Kenapa begitu jauh? Kenapa bukan kakak-kakakmu? Jawaban yang susah untuk kupaparkan, karena kakak-kakakmu juga punya masanya nanti. Ah, bukan! Karena hubungan emosional kita lebih dekat sekarang ini. Kau yang setiap hari kutemui, kau yang setiap waktu bergelayut manja di lenganku. Menatap lurus bola mataku. Memperdengarkan tangismu. Dan setiap aduan yang keluar dari mulut mungil kalian. Dan memudahkanku untuk mengeluarkan harapan-harapan itu, kepadamu.
Aku teringat dengan sebuah pernyataan temanku, seorang guru juga, yang ditanya oleh siswanya kelas 3 SMA, yang terkenal bandel di seantero sekolah : “Kenapa ibu galau?”, dan apa jawab temanku itu, Nak : “Saya galau tidak memikirkan kalian, saya galau memikirkan anak saya … apa jadinya anak-anakku nanti kalau gurunya seperti kalian.” Dan sang siswa tertegun. Barangkali sama tertegunnya dengan diriku pas dia mengeluarkan curhatan itu, padaku. Sangat mengena! Di sini. Nurani. Bahwa kalian, Nak! Adalah guru-guru yang pun kelak akan berinteraksi dengan anak-anak yang kulahirkan nantinya. Dan benar, apa jadinya anakku kalau diajar oleh guru yang tak lagi berprikemanusiaan. Guru yang melakukan tindakan asusila kepada siswanya. Guru yang lebih sering melalaikan kewajibannya. Guru yang hanya sekedar menggugurkan kewajibannya. Dan mereka semua itu adalah guru yang khilaf, Nak! Pun sama halnya dengan diriku, yang bisa jadi suatu saat nanti juga lebih sadis dari itu, ketika aku khilaf. Dan naudzu billah, semoga itu tak benar-benar tejadi, Nak!
Di hari esok itu, Nak ….
Ketika kalian menjadi guru, tirulah sang guru teladan umat manusia di dunia ini! Muhammad Saw., pun akan sangat tidak mungkin kalian sama persis dengan sosoknya. Setidaknya ketika kau punya keinginan untuk melenceng, bukalah kembali buku sirahnya. Bahwa mengajar itu adalah dengan cinta. Mengajar itu adalah dengan hikmah. Dan mengajar itu adalah dengan contoh. Semua buku yang mengupas tentang beliau mengajarkan betapa contoh adalah pembelajaran paling ampuh yang bisa mengubah hati sekeras batu menjadi lunak, bahkan sejernih air. Sungguh, tak ada kisah yang mampu melebihi kehebatan beliau dalam hal ini, Nak! Tak akan ada. Itulah, kenapa kau harus membaca kisahnya dulu sebelum kau membaca kisah-kisah yang lain. Rasa penyayang yang dimilikinya telah mampu meluluhkan hati musuh-musuhnya. Dan beliau bukan pendendam, sama sekali tidak. Hingga musuh-musuh itu berubah cinta kepadanya. Aku terkadang membayangkan seperti ini, Nak … bagaimana tentramnya jika hidup di zaman Rasulullah, dimana aku bisa bertemu langsung dengannya, bercengkrama di setiap majelis ilmunya. Tapi tidak, sesungguhnya Allah telah memberikan waktu terbaik untuk kita semua, pun dengan dirimu, Nak.
Pun nantinya ketika satu diantara kalian menjadi pemimpin Negara, Nak! Maka tirulah cara Abu Bakar As Shiddiq waktu diangkat menjadi khalifah. Apa yang beliau sampaikan kepada umat Islam waktu itu : “Ketika aku berada di jalan yang lurus, maka ikutilah aku, namun jika kalian melihatku tersesat, maka tegurlah aku.” Luar bisa, bukan, Nak?! Mungkin masih ada pemimpin-pemimpin yang seperti itu hari ini di Negara kita, dan esoknya nanti, semoga salah satunya adalah dirimu, Nak![1]
Pun nantinya jika kau menjadi seorang pemberi keputusan, maka contohlah kisah ukhuwah pada zaman Umar bin Khattab, Nak! Sebuah kisah yang membuatku tertunduk lama merenungi hikmahnya. Ketika seorang pemuda yang diseret karena telah membunuh ayah dari seorang penduduk. Semua orang pun sepakat untuk menerapkan hukum qishas kepada pemuda tersebut, dan sang pemuda pun ridho dengan itu. Dengan mengajukan suatu syarat bahwa dia akan kembali dulu ke rumahnya di seberang sana selama tiga hari untuk menyelesaikan urusan-urusannya. Dan tersebutlah Salman Al Faris sebagai jaminannya, apabila sang pemuda tersebut tak juga kembali untuk memenuhi hukum qishas nya itu. Hingga sampailah pada hari yang ditentukan, dan semua penduduk sudah berkumpul untuk menyaksikan hukum qishas itu, dan sang pemuda yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Sampai matahari sudah kemerahan di langit barat sana, dan sang pemuda itu tak kunjung datang juga. Maka Salman Al Faris yang menjadi jaminannya pun sudah siap untuk di qishas. Semua penduduk terisak, tak rela sahabat sebaik Salman harus meninggalkan mereka secepat itu. Hingga kemudian ujung pedang hampir sampai menebas kepalanya, dan terlihatlah dari kejauhan pemuda yang dinanti-nanti berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka dan mengatakan : “Saya terlambat, karena unta yang saya naiki kelelahan di jalanan, saya pun meninggalkannya begitu saja dan berlari ke sini.” Sang amirul mukminin tertegun, dan bertanya kepada pemuda tersebut : “Wahai pemuda, kenapa engkau tak melarikan diri, bukankah kepergianmu memberi celah yang begitu luas untukmu agar kabur dari hukum qishas ini?” Sang pemuda membalas dengan jawaban yang membuat semua orang terkejut : “Karena saya tak mau ada lagi orang yang mengatakan, bahwa umat Islam tak ada yang bisa menepati janji.” Dan Umar beralih bertanya kepada Salman Al Faris : “Wahai Salman, kenapa kamu mau sebagai jaminan, padahal kamu belum tahu siapa orang yang kau beri jaminan ini ?”, dan Salman menjawab : “Karena saya tak mau ada lagi orang yang mengatakan, bahwa umat Islam tak ada lagi yang saling percaya terhadap saudaranya.” Umar pun tertegun, hingga akhirnya pemuda yang dibunuh bapaknya angkat bicara : “Wahai amirul mukminin, hukum qishas ini saya batalkan, dan pemuda tersebut bebas dari kesalahannya.” Kontan Umar bin Khattab terkejut, dan bertanya : “Kenapa?” Dan dijawab oleh pemuda itu : “Karena saya tak mau ada lagi orang yang mengatakan, bahwa umat Islam tak ada lagi rasa saling memaafkan.” Nak, tidakkah kau tertegun?! Merinding?! Ah, karena kau masih kecil, jelas kau belum paham dengan hal sebijak ini. kelak nantinya, buka ulanglah kembali kisah ini.[2]
 Pun nantinya ketika kau ada yang menjadi tenaga medis, kau pantasnya meniru Rufaidah binti Sa’ad, seorang perempuan solehah yang dengan sukarela menjadi perawat tanpa membedakan status sosial. Dengan sepenuh hati dan kasih sayang Rufaidah binti Sa’ad mengobati para pahlawan yang terluka, bukan cuma para pahlawan tapi para musuh pun diobatinya dengan sepenuh kasih. Andai semua perawat dan dokter-dokter di luar sana pernah membaca kisah Rufaidah, percayalah, Nak … barangkali tak lagi kau temukan seorang perempuan tua dengan cucu yang sakit parah digendongannya yang harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan perawatan. [3]
Ketika kau nantinya menjadi orang kaya, Nak, maka contohlah sosok Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang kaya raya di masa Rasulullah yang sangat rendah hati. Pedagang yang jujur, bahkan ia sendiri bukanlah orang yang loba untuk mengumpulkan harta atas dorongan menjadi orang kaya. Dan hartanya pun dihibahkan keseluruhan untuk perjuangan umat Islam. Kerendahan hati yang dimilikinya, ketika dia duduk bersama pelayannya, maka kau tak bisa membedakan mana Abdurrahman.[4]
Ketika nantinya kau memilih untuk menjadi panglima jenderal maka contohlah Khalid bin Walid. Ketika beliau masuk Islam, Rasulullah sangat bahagia karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat membela panji-panji Islam. Strategi Khalid dalam perang Yarmuk ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah.. Kegigihan Khalid dalam memimpin pasukannya membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu. Diantara peperangan, terselip kisah  menarik dari Khalid bin Walid.  Meski dikenal sebagai ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya, Khalid bukan orang sombong. Dia pun berlapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas. Hal ini ditunjukkannya saat Khalifah Umar bin Khathab mencopot sementara waktu kepemimpinan Khalid bin Walid tanpa ada kesalahan apa pun. Menariknya, ia menuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan kepada penggantinya, Abu Ubaidah bin Jarrah. Khalid tidak mempunyai obsesi dengan ketokohannya. Dia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai sebuah perjuangan dan semata-mata mengharapkan ridha Sang Maha Pencipta. Itulah yang ia katakan menanggapi pergantiannya, "Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!" [5]
Karena aku punya mimpi seperti ini, Nak : Aku sedang berjalan ke sebuah rumah sakit, dan kudapati semua perawatnya melayani dengan ramah, yang bahkan satpamnya tak kalah memasang senyum tulus terhadap setiap pasien dan keluarganya yang berdatangan. Dan ketika aku keluar, kudengar adzan dzuhur berkumandang dan di dekatnya berdiri sebuah rumah peribadatan lain, yang hidup dengan tenggang rasa. Pun aku melihat seorang pemimpin negeri yang tiduran seusai sholat dzuhur di Mesjid tak beralaskan apapun, melepas penat sejenak, dan hanya memakai tangannya sebagai pengganti bantal. Setelahnya itu, di tempat lain para pengusaha-pengusaha berbondong-bondong menyumbangkan hartanya kepada orang yang membutuhkan. Dan begitu aku menyalakan TV yang tayang adalah para koruptor yang mengakui kesalahannya, bahwa pernah menyelundupkan uang sepersekian. Dan ikhlas menerima hukuman sebagai ganjaran atas apa yang telah dilakukannya. Karena begitu mahalnya kini melihat orang-orang yang mengakui kesalahannya. Pun masih di Indonesia, pejabat-pejabat tinggi di negeri ini bekerja bukan untuk mencari popularitas, melainkan semata-mata untuk kepentingan rakyat dan Ridho Yang Maha Kuasa. Kapan itu akan terjadi, Nak?! Bisa jadi sudah terjadi sekarang dan itu tanpa sepengetahuanku, atau nantinya itu terjadi di masa kalian dimana kelak kalian sudah tumbuh besar sesuai dengan harapan kami.
Karena Indonesia harus kita cintai sepenuh hati ini, Nak! Betapa pahlawan-pahlawan kita dulunya yang harus membayar mahal demi arti sebuah kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara yang memperjuangkan pendidikan hingga hari ini kita bisa mengecap betapa penting arti sekolah.  HOS Cokroaminoto dan Ahmad Dahlan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Jenderal Sudirman yang ditengah sakitnya pun masih setia membela Indonesia. Soekarno yang orasinya membakar semangat para rakyat Indonesia. Fatmawati yang dengan sabarnya menjahit bendera kebangsaan kita : Merah Putih. Dan tak kalah para pejuang-pejuang 45 yang darah dan denyut nadinya sudah menyatu dengan elemen kemerdekaan waktu itu. Ya, Indonesia kita, tempat lahir beta … dan garuda yang membumbung tinggi membelah angkasa raya, semua menjadi saksi betapa berdirinya suatu Negara memerlukan pengorbanan yang tak lagi setengah-setengah. Dan kau lihat sekelilingmu, Nak! Atau barangkali kau menyaksikan di siaran TV yang ditonton oleh orang tuamu, pun kau sering bertanya, kepadaku … tentang yang kau saksikan pagi tadi  : “Ibu guru, ada yang bertengkar di jalanan waktu saya ke Sekolah.” Dan mulutku terkunci, harus menjawab apa yang bisa diterima oleh logika anak-anakmu. Maka jawabku barangkali tak patut dicontoh oleh guru-guru lain : “Kau takut melihatnya, Nak?!” Jawabnya : (Mengangguk), dan aku melanjutkan : Maka teruslah belajar, karena itulah yang akan membedakan antara orang terpelajar dan bukan.” Dan aku tahu, akan ada pertanyaan selanjutnya yang kembali keluar dari mulut mungilmu itu, dan itu membuatku untuk harus belajar sebanyak-banyaknya untuk pintar menjawab pertanyaanmu yang mulai kritis itu. Asal kamu tahu, Nak! Indonesia tak sekedar dari pertengkaran yang kau lihat pagi tadi. Sepertinya lebih dari itu. Dan itu nyata. Kembali aku mengutip kata proklamator Indonesia : “Sesungguhnya perjuanganku lebih mudah, karena hanya melawan penjajah, perjuanganmu yang lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kau tahu itu artinya apa, Nak?! Ibarat dirimu yang kau lawan sendiri, dan itu sulit. Tapi percayalah, selama kita masih punya nurani … kesulitan apapun akan terkalahkan. Karena kebaikan itu tak akan pernah hanyut dibawa zaman. Bisa saja, di zamannya tertutupi, tapi percayalah, zaman jua pun yang akan kembali menguak kebenaran-kebenaran itu. Lagi-lagi, kusampaikan, Nak … bahwa bangsa kita sedang khilaf hari ini. Akan ada kekhilafan-kekhilafan selanjutnya, yang entah apa … dan aku masih meyakini akan ada orang juga yang memperingatkan kekhilafan itu.
Esok, ketika kaki kalian sudah kukuh untuk berlari. Dan berotot. Pun dengan saya yang masih kuat untuk berjalan. Mari kita mendaki gunung tertinggi Indonesia, gunung Jaya Wijaya. Mengibarkan bendera di puncak tertingginya dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dengan begitu, kita akan lebih mencintai Indonesia, Nak! Seperti film yang pernah kutonton. Sepertinya nasionalisme tak harus ditunjukkan dengan cara seperti ini. Atau barangkali kau punya ide lain nantinya … aku akan menunggu. Karena selama kita ada Indonesia, aku ingin kita bahagia! Dan selalunya akan mengatakan : Aku bangga menjadi orang Indonesia!
Hiduplah … Indonesia Raya

Sumber :
[1] http://www.albayyinat.net/khulafa1.html
[2] Salim A. Fillah. Menyimak Kicau Merajut Makna.2012
[3]http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/15/lzfj31-mujahidah-rufaidah-binti-saad-perawat-islam-pertama-1
[4] http://www.portalinvestasi.com/pengusaha-teladan-abdurrahman-bin-auf/
[5]http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/sirah-sahabat/13/07/11/mpqsvx-khalid-bin-walid-panglima-yang-sempurna


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -