Posted by : mulhaeri azzahra Rabu, 13 Mei 2015


Dear Galileo : Karena Kita Punya Mimpi yang Sama
Chaery Ma

Seperti bumi yang ditakdirkan untuk merendah. Tak mengenal apapun yang memijaknya, dia tetap selalu di bawah. Bahkan dengan melangitnya nominal uang untuk membeli per meternya, masih dengan kerendahannya, dan itu kita pijak, setiap waktu, hingga tak mengenal kata ‘sudah’. Seperti kita, Muthiah … bersama mengeja jejak langkah kaki pada bumi yang telah sama-sama kita pijak. Tak banyak. Tapi itu cukup, untuk merasakan naik pesawat dan kapal laut kali pertama, bersama, pada satu masa yang bernama ‘hijrah’. Tapi bukan itu kali ini. Ada cerita lain … tentang mimpi kita. Dan perjalanan yang mempertemukan, setelah rentang jarak setahun kita tak lagi memulai langkah baru. Karena kau pergi, mengejar mimpi lainmu, walaupun pada akhirnya kau pulang, kembali, dihadapanku, mengajak untuk melangkah bersama lagi.
Kini kau dan aku berdiri bersama, di perjalanan kali ini, menatap hamparan air yang berkali-kali menghantam bebatuan di pinggirannya. Pun kau mengutukinya “angin nakal”, karena jelas ini ulah angin yang masih belum puas ternyata sebelum menerbangkan ujung jilbab kita hingga berkali-kali kau dan aku memegang kuat biar anginnya tak turut menerbangkan tubuh ringkih kita sekalian. Pun bendera-bendera yang menjulang tinggi pas di depan papan “Pantai Seruni” saling beradu tentang siapa yang kibarannya paling kencang, entah siapa yang menang, apapun hasilnya berterima kasihlah pada bumi tempat tiangnya dipancang kokoh.
Impian sederhana, pendaftaran CPNS kemarin yang hasil akhirnya hanya mampu membuat kita tersenyum pahit melihat passing grade yang tertera di layarnya. Bersama menghibur diri pada satu nasehat yang tak lagi mempan pada perasaan. Hingga akhirnya melampiaskan kekecewaan itu di sini, masih di lokasi pendaftaran yang sama, agak ke ujung sedikit, pada sebuah pantai di Sulawesi Selatan yang bernama “Seruni”.
 “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” Suaraku terpaksa berteriak. Menerjang suara ombak yang sepertinya hanya mau menang sendiri.
“Barangkali kita harus ke Thailand.” Jawaban yang tak kalah kuatnya. Pun sudah kuduga, kali ini sekalian pelampiasan atas kegagalan kami. Berteriak dengan cara berbicara. Bukan hanya sekedar “Aaaaa … “ atau “Oiii … “ seperti drama-drama yang selalu menayangkan tokoh utamanya yang depresi, dan berteriak di pantai. Tapi jelas aku tak kalah terkejutnya. Jawaban yang tak sempat kuprediksi tapi memang masuk dalam perencanaan. Karena Thailand adalah nominasi negara yang akan kita kunjungi kelak, gara-gara film Dear Galileo (kisah tentang dua sahabat yang melakukan backpacker nekat ke Eropa), tapi tunggu … sampai kita punya lembaran duit yang cukup untuk ke sana.
“Secepat ini? Mau bertemu pemeran Dear Galileo? Noon? Cherry?” Jawabku enteng tak berdosa. Karena aku tak percaya dengan jawabannya. Pun dia tak sepenuhnya meyakini apa yang keluar dari mulutnya.
“Salah satunya mungkin itu … tapi yang lebih penting adalah melanjutkan mimpi-mimpi kita untuk menginjakkan kaki di seluruh belahan dunia.”
Glek. Glek. Kaki. Belahan dunia. Tuhan … pada masa apa semua itu akan Kau kabulkan?! Apapun itu, aku selalu yakin bahwa akan tiba waktu yang tepat hingga mimpi kami Kau wujudkan satu per satu. Tapi kali ini, barangkali aku belum siap, utang-utangku masih harus kulunasi, dan janji-janji pengabdian yang harus kutunaikan.
“Kita memulai keliling dunia dari Thailand?” Dan aku masih semangat untuk merespon, biar sekalin menyuburkan kembali mimpi-mimpi itu. Biar malaikat kembali mendengar.
“Tidak … barangkali kita harus transit di Malaysia dulu, menjelajah di sana dulu.”
“Terus?”
“Padang ke Malaysia cuma sembilan puluh ribu waktu terakhir aku cek tiket murah.”
“Rupiah????” Mataku barangkali mau melompat dari tempatnya.
“Iya … rupiah.”
“Lalu dari Makassar ke Padang?” Aku semakin tertarik. Wah, bisa dicoba ini.
“Hahaha … dua juta rupiah.” Aku meninjunya dengan gemas. Pun ingin kutimpuk pakai pasir sekalian. Tapi tak jadi. Tawanya, barangkali adalah tawa pertama sejak keluarnya pengumuman itu, pun dengan diriku. Bersama, masih di tempat yang sama, memandang deburan ombak yang tak juga mereda. Membiarkan mimpi-mimpi kita kembali mengeja cerita dalam masing-masing kepala.
Bukan pada perjalanan apa yang kutempuh, tapi dengan siapa aku melewati perjalanan itu. Posisi duduk bersila pada setiap tempat duduk yang kutemui, dan dia, anti mab yang tak pernah absen di kantongannya adalah jejak sepenggal kisah perjalanan yang masih selalu menagih untuk dilakoni.
Kita kembali bersama. Di sini. Karena jarak setahun yang pernah terentang jauh tak pernah berhasil menghilangkan semuanya. Tentang kita. Pun aku selalu meyakini, selama kita masih punya mimpi yang sama, maka tak ada yang benar-benar pergi, karena mimpi itu akan mempertemukan tuannya kembali. Pun tentang mimpi apa yang pertama di wujudkan, kita tak pernah tahu itu. Dan semoga dimulai dari sini ...

Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
   

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -