- Back to Home »
- Panggilan Pulang !
Posted by : mulhaeri azzahra
Senin, 27 April 2015
Panggilan
Pulang
Oleh
: Chaery Ma
Dulu sekali. Mungkin sembilan tahun
yang lalu, atau barangkali telah masuk sepuluh. Pada setiap turun hujan,
seperti saat ini. Kalian yang mengenalku sebagai sosok Rillian akan sangat
susah untuk menemukanku meringkuk di dalam kamar, atau mendapati diriku berdiam
di balik kaca menyaksikan titik-titik hujan yang terpantul. Ya, karena sosok
Rillian yang kalian kenal tidak akan segan-segan melepas alas kaki dan merelakan
kaki indahnya yang kata orang putih bersih bermain di bawah hujan, merentangkan
tangan dengan kepala yang menantang langit. Dan membiarkan rambut panjangnya
basah pada akhirnya. Tidak hanya di rumah, di Sekolah atau di tempat manapun,
dan mungkin hampir setiap keadaan setiap turun hujan , aku, panggil saja
Rillian, akan berlagak layaknya seorang putri hujan, dan selalu mengaku bahwa
hujan memang diturunkan hanya untukku.
Tapi kini, mungkin telah berbeda. Bukan.
Bukan sama sekali karena hari ini aku sudah tak menyukai hujan lagi. Malah
kalian yang mengenalku sebagai sosok Rillian akan tambah geleng-geleng kepala
jika mendapati kamarku yang telah didesain dengan latar hujan, dan foto profil
di sosial media yang semuanya bernuansa hujan. Ya, karena aku masih segila dulu
terhadap hujan. Tapi kini mungkin dengan cara yang berbeda. Entah, apakah kata
‘mungkin’ masih pantas lagi disematkan untuk mengemukakan cara berbeda ini. Tapi bukankah setiap bertambahnya usia berarti setiap
itu pula ada perbedaan yang terjadi dalam hidup ini. Aish, barangkali aku yang
terlalu berlebihan dengan menamainya ‘perbedaan’. Ada istilah lain mungkin yang
ingin kalian tawarkan? (Raise your hands)
Ha,
Rillian … kamu benar-benar sudah dewasa sekarang. Aku tersenyum dalam hati,
berbunga-bunga, dan tetap atas kesadaranku aku mengeluarkan tanganku di jendela
bus yang akan membawaku pulang ke rumah. Kuperhatikan tanganku yang dengan
tabahnya hujan menyentuh permukaannya.
Hffff … masih seperti hujan saat aku berangkat dulu. Sembilan tahun yang
lalu, atau barangkali telah masuk sepuluh. Hujan di sini memang berbeda dari
hujan yang di Negara orang selalu mereka sebut indah dan damai. Toh, hujan di
sini juga tak kalah indah dan damai. Karena
mungkin aku dilahirkan di sini hingga aku mempunyai alasan demikian. Entahlah …
“Rilliiiaaaannnn … “ suara renyah adik
perempuanku yang menyambutku di depan rumah seakan menyadarkanku kalau aku
memang telah pulang sekarang. Dia langsung menghamburku. Dan aku baru
memperhatikan kalau dia lebih tinggi dariku sekarang begitu dia melepas
pelukannya.
“Ini kamu, Tar, minum obat apa loh,
tinggi kayak tiang listrik begini.” Cecarku, dan dia masih menghimpit tanganku
sambil masuk rumah. “Foto-foto kamu tuh berjejalan di internet, menurutku cuma
nambah sepuluh centi gitu, tau-taunya … berapa sih?”
Belum sempat Lintar mengomentari
jawabanku, wajah ayu itu muncul dengan kursi rodanya. Tas digenggamanku
langsung jatuh begitu saja. Kuhambur tubuh pemilik wajah ayu itu. Dan kali ini
kujawab dalam hati atas setiap lontaran pertanyaan teman-temanku tentang
alasanku untuk memilih pulang ketimbang berkarir di luar negeri yang sangat
menjanjikan. Ya … pemilik wajah ayu itu yang menjadi alasanku.
“Bagaimana kabar mami sekarang?” Wajah
ayu itu menatapku penuh arti. Serangan stroke yang menyerangnya sebulan yang
lalu yang membuat setengah tubuhnya lumpuh total. Bahkan berbicara pun sudah
tak bisa lagi. Sejak papi meninggal lima belas tahun yang lalu, mami dan Lintar
bagiku adalah nomor satu. Mungkin ada benarnya pepatah hujan emas di negeri
orang, hujan peluru di negeri sendiri, tapi lebih enak di negeri sendiri. Dan
seperti itu pilihanku saat ini.
“Lian … loh tuh gak ada syukurnya ya …
dapet kesempatan untuk jadi manager di perusahaan traveling, kok dibuang gitu
aja, kayak buang sampah di tempat sampah … “
Lintar masih mengekoriku bahkan ketika
aku masuk kamar. Kenangan dulu seakan diperbaharui kembali. Kamarku yang masih
berdesain hujan, dan jauh hari sudah ku request
pada Lintar untuk ditambah dekorasi lain, ternyata dia bisa diandalkan juga.
“Thanks
ya … cantik banget!” Pertanyaan Lintar benar-benar terlupa.
“Itu Italia, Lian … Italia … Mammamia Lezatooo … banyak banget orang
antri buat dapet kesempatan kayak lo … bla, bla, bla.“ Dan Lintar masih
berkutat dengan argumennya.
“Oke … sudah?” Kupotong ucapan Lian
yang kayak dikejar kereta api itu. “Baiklah pemirsa sekian dulu headline news hari ini.”
“ Liaaannnn … “ Lintar melemparku
dengan bantal. Ini jelas bukan sebuah prolog untuk memulai adegan action, ya,
belum … kami baru bertemu setelah sekian lama terentang jarak yang cukup jauh.
Tentu dia sudah paham kenapa aku memilih langkah senekat ini. Jauh hari pun aku
sudah membeberkan alasanku. Aku pun
paham apa yang ada dipikirannya saat ini. Namun ketika kukeluarkan jurus air
mata berlianku dan kujawab dengan nada sendu :
“Kepulanganku untuk mami dan kamu, Tar.
Sudah cukup Sembilan atau mungkin sudah masuk sepuluh kita berpisah. Selebihnya
kita akan hidup bersama kayak dulu lagi, kamu tahu, mending berkarir di
Indonesia, bangun negeri kita gak apa-apa dimulai dari hal kecil, bantu
orang-orang yang membutuhkan, itu sudah lebih dari cukup, Tar.”
Dan kalau sudah seperti itu dialognya,
tebak sendiri episode selanjutnya akan seperti apa. Lintar akan memelukku erat
dan berkata :
“Coba aku berada di posisimu saat ini,
Lian, mungkin saja aku tidak memilih jalan yang sama, tapi aku salut, niatmu
tulus, Lian … aku bangga punya kakak kayak kamu, Lian.”
***
Hujan yang kesekian kalinya. Kali ini
agak deras. Namun aku tetap memutuskan untuk menyusuri jalan tanpa ada sesuatu
yang kupegang untuk berteduh, paling tidak mengamankan rambutku, atau kepalaku
terutama, biar tidak sakit sesudah ini. Ha, sejak kapan aku punya riwayat
penyakit sakit kepala karena main hujan.
Kembali aku melewati jalanan ini. Entah
ada berapa hari dulu aku melewati jalan ini. Dulu sekali. Sembilan tahun yang
lalu, atau barangkali telah masuk sepuluh. Saat aku masih mengenakan seragam
putih abu-abu. Aku harus melewati jalanan ini untuk mencapai sekolah. Tidak ada
jalan lain selain jalan ini. Dan becak setia yang menjadi langgananku selama
tiga tahun. Pak Tin, sang empu becak. Dia, alasan keduaku yang membuatku
kembali setelah mami dan Lintar.
Aku rindu pak Tin dan becaknya. Yang saat
sekolah dulu jarang absen mengantar jemputku, dan bahkan setia menemani jika
ada pelajaran tambahan atau sekedar kegiatan eskul di Sekolah. Setiap waktu
saat turun hujan seperti sekarang ini, pak Tin seperti sudah tahu kebiasaanku
sengaja membuka penutup becaknya biar aku bisa kebasahan, dan aku bisa bermain
dengan rintiknya.
Pernah sekali waktu kami diskusi hangat
membicarakan pemilihan bupati yang sedang hangat di tempatku waktu itu.
“Yang menang pasangan kosong dua, bukan
pak? Ada kecurangan, bapak tahu tidak?” Masih di dalam becak dengan posisi
dudukku sengaja mengahadap belakang biar pak Tin bisa kulihat dengan ekspresi wajahnya.
“Wah … mana tahu bapak soal itu, mbak.
Dikasih tahu juga palingan bapak gak nyambung, mau kosong satu, kosong dua,
yang penting bisa mensejahterahkan warganya, ya itu aja.”
“Loh … sesederhana itu harapan, bapak?
Bukankah kita harus tahu betul profil calon pemimpin kita, paling tidak latar
belakang kehidupannya sebagai cerminan seperti apa dia memimpin kelak.”
“Boro-boro mbak … makan apa nanti
malam, anak-anak besok bayar sekolah pake apa sudah buat kepala pening kalo
memikirnya.”
“Bapak memangnya punya impian apa sih?”
“Wah … gak muluk-muluk mbak, orang
kayak bapak ini bisa menyekolahkan anak-anak bapak sampai selesai itu sudah
jadi harapan yang besar bagi bapak.”
Dan setiap pagi, malah sering sangat pagi
sekali, Pak Tin dan becaknya sudah mangkal di depan rumah menungguiku yang
terkadang baru bangun, dan membuatku pontang-panting mandi, sarapan yang kadang
di becak. Dia selalu bercerita banyak kepadaku. Tentang anak-anaknya yang
setiap hari selalu meminta diajak ikut mengantarku. Tentang masa kecilnya yang
sudah menarik becak. Dan aku yang suka bercerita banyak tentang impianku.
“Pak Tin … saya dapat beasiswa lanjut
kuliah di luar negeri. ”
“Wah hebat mbak … di Mekkah?” pak Tin
pernah cerita kalo luar negeri sepengetahuannya itu hanyalah di Mekkah.
“Bukan pak Tin … di Italia.”
“Wah … dimana itu mbak? Jauh ya? Mbak
Rillian hebat, mau ke luar negeri … akan kehilangan langganan saya nantinya,
lama mbak di sana? Jangan lama-lama mbak, nanti kalau mbak sudah sukses, ya
pulang … bangun kampung halaman, tidak kayak orang-orang lain yang lebih
memilih di negerinya orang, kalo mbak pulang nanti ingat-ingat anak bapak,
paling tidak kasih pekerjaan biar kelak tidak jadi tukang becak kayak
bapaknya.” Aku terharu. Impian yang begitu sederhana. Sesederhana orangnya.
Atau mungkin memang rata-rata orang seperti pak Tin hanya punya impian
sesederhana itu. Tapi dikemudian hari ternyata aku paham bahwa adakalanya kita
harus mempunyai impian yang sesederhana itu. Bukan. Bukan sama sekali untuk
mengkerdilkan semangat. Melainkan sebuah kata hati yang selalu kuyakini bahwa
itu adalah bisikan malaikat. Seperti pak Tin, impianku pun kusederhanakan kali ini.
Dulu sekali … sebelum menjejalkan kaki di luar negeri dan bahkan telah banyak
negeri yang kusambangi, aku sering berpikir untuk membuat proyek ini, membangun
itu, seakan-akan dunia ada digenggamanku, tapi sesungguhnya bukan itu yang
kubutuhkan. Aku butuh kehidupan yang tenang, dekat dengan keluargaku, setiap
waktu bisa melihat senyumnya, atau paling tidak ketika aku membuka mata, ada
mereka di sekelilingku.
Pak Tin yang kumimpikan beberapa waktu
lalu dan sempat berturut-turut membuatku memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Seperti yang kukatakan tadi, apapun citra Indonesia di mata Internasional atau
bahakn dalam mataku sendiri, bagiku Indonesia tetap kebanggaanku, dan aku
terpanggil untuk memperbaiki apa yang bisa kuperbaiku. Tapi sayangnya pada hari
keberangkatanku aku tidak sempat berpamitan padanya. Malah setelah itu dari
penuturan Lintar, pak Tin sempat beberapa kali singgah, tapi setelah itu sudah
tidak pernah lagi. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Sudah besarkah
aanak-anaknya?
Kakiku masih betah menyusuri jalan. Di
bawah rintik hujan yang turunnya sudah tak sederas tadi. Aku berharap bertemu
pak Tin, entah sampai kapan aku akan bertahan untuk berjalan. Banyak hal yang
ingin kukatakan, aku akan menyampaikan kalau aku pulang dengan niat membangun daerah
kita, dan aku sudah punya proyek untuk membangun perusahaan IT di sekitar sini.
Seperti impian sederhananya dulu, kalau aku sukses, anak-anaknya bisa
kupekerjakan di tempatku nanti. Kali ini mungkin itu akan membuatnya tersenyum.
“Cak … Becak …” Pandanganku langsung
menoleh. Seorang laki-laki muda menawarkan becaknya padaku. Tapi bukan dengan
maksud untuk menaiki becaknya hingga aku menghampirinya.
“Adek kenal Pak Tin?”
“Pak Tin itu bapak saya mbak.” Hatiku
trenyuh seketika. Kembali terngiang ucapan pak Tin, jangan sampai anak-anak saya jadi tukang becak juga kayak bapaknya.
“Pak Tin dimana sekarang?”
“Bapak meninggal dua hari yang lalu
karena malaria, dan aku harus menarik becak karena masih ada adik-adikku yang
harus makan di rumah.”
Jantungku seakan berhenti. Air mataku
tak dapat kutahan. Kususuri jalanan dengan langkah goyah. Tanpa sadar aku telah
meninggalkan anak pak Tin begitu saja. Seharusnya aku pulang sebulan yang lalu
atau paling tidak seminggu yang lalu. Pak Tin …
“Mbak Rilliaaaaannnn …” Seorang bapak
dengan becaknya berhenti tepat di sampingku. Awalnya aku mengira kalau ini
hanya halusinasiku saja. Tapi dia tersenyum bahagia di dekatku. Dia pak Tin.
Langganan becakku.
“Loh … bukannya kata anak bapak kalau
pak Tin sudah meninggal?”
Jelas kulihat ada kekagetan di
wajahnya.
“Ya Alloh mbak Rillian … yang mbak
temui mungkin anaknya Pak Kartin, ya nama panggilannya juga Pak Tin sama kayak
nama bapak, dia memang sudah meninggal baru-baru ini, dan pak Tin yang mbak
kenal Alhamdulillah sehat wal’afiat.“
Bone, 18 Oktober 2014