- Back to Home »
- ^^ Cinta yang Kunikahi Dua Kali ^^
Posted by : mulhaeri azzahra
Senin, 27 April 2015
Cinta yang Kunikahi Dua Kali
Oleh : Chaery Ma
Sampai hari ini, aku mencintaimu dengan
cara sederhana yang kumiliki. Sederhana. Seperti yang kupunya. Seperti yang
pernah kuikrarkan padamu. Bahwa kejadian apapun yang terjadi, esok atau lusa, janji itu adalah menghadapinya. Bersamamu.
Hanya sesederhana itu. Sejak setahun yang lalu, saat ijab qabul itu keluar dari
mulutku. Dan menerima takdir untuk memilikimu. Perempuan yang dulunya sekali
pun tak pernah masuk dalam anganku. Ya, karena kau terlalu tinggi untuk kumiliki.
Hanya itu. Alasan seremeh itu. Dan berhasil membuatku mengucapkan talak satu.
Beberapa waktu lalu. Kau kira itu mudah
buatku? Jelas tidak. Seperti gunung Uhud yang harus kuemban sedemikian
beratnya. Pun dengan anak semata wayang kita yang belum cukup tiga bulan. Kau
kira aku bisa bertahan untuk tak melihatnya dalam sehari? Paling tidak air
mataku harus kusembunyikan dulu hanya untuk terlihat bahwa aku baik-baik saja.
Di sini. Sendiri.
Keluar
dari rumah yang pernah terangkai mimpi indah di sana, kau kira aku akan secepat
itu melupakannya? Setiap hari, tentu di luar kesadaranmu, aku selalu datang.
Melihat rumah kita. Dari jauh. Yang selalunya terkunci rapat. Tak ada
kehidupan. Berharap kau duduk di terasnya, bermain dengan anak kita. Dan seperti
hari-hari yang telah lewat, kau tak ada di sana.
“Dia sepertinya sudah tidak menginap di
rumah kalian lagi, beberapa hari yang lalu … sebuah mobil datang menjemput
mereka.” Tetangga kita mengatakan hal itu padaku.
“Membawa anakku juga?”
“Sepertinya begitu … “ Dia menatapku.
Hatiku gerimis. Kemana lagi pergimu selain
ke tempat itu. Aku sudah menduga, kelak pada akhirnya kau pun akan segera
keluar juga dari rumah kita. Dan kembali. Ke istana putih itu. Ke kehidupanmu
yang sebenarnya. Saat dulu. Ketika menjadi puteri mahkota seorang pejabat
tinggi di negeri ini. Gerimis itu sepertinya tak lama lagi akan berwujud hujan.
Ah, Sejak kapan aku secengeng ini. Pun pada hari yang telah lewat, bukankah aku
telah menunjukkan kelelakianku pada semua orang termasuk pada sang Jenderal itu,
bapakmu. Menikahi anaknya, sang puteri mahkota. Yang saat itu semua orang pun
tahu, bahwa aku … hanyalah si pembawa tas dalam keluargamu.
***
Lelaki berwibawa itu keluar dari sedan
hijaunya. Tak ada suara. Seperti hari-hari yang telah lewat. Pun menyerahkan
tas jinjing hitam itu kepadaku, bahasa isyarat sepertinya sudah mewakili. Pelan
aku ikut di belakangnya. Memperhatikan punggungnya yang masih tegap di usianya
yang jelas sudah tak mudah lagi. Memasuki ruang kerjanya. Dan menghempaskan
begitu saja tubuhnya di kursi malas yang sudah membersamainya sekian puluh
tahun lamanya. Nafasnya memburu. Dan aku tahu dia sedang ada masalah. Sejak
puluhan tahun, saat aku masih remaja awal, dan bekerja dengannya, hal itu jelas
sudah kuhafal di luar kepalaku.
“Kau harus mencarikanku laki-laki yang siap
menikah … sekarang, siapapun itu.”
Aku tercenung. Dia tak menatapku. Tapi
jelas perintah itu ditujukan padaku.
“Laki-laki yang siap menikahi perempuan …
hamil.”
Dan kali ini aku tercenung. Kali ini agak
lama. Masih di sini. Di tempatku berdiri. Dan tas jinjing yang belum sempat
kuletakkan.
“Anak kurang ajar … jauh-jauh aku
menyekolahkannya ke luar negeri, dan membalasku dengan seperti itu, malu … aku
malu … “ Dia menceracau. Masih dengan caranya yang dulu. Berwibawa. Sekali pun
itu pahit buatnya. Dan sebuah kesimpulan yang kutahu titik masalahnya.
Rayana, dan itu kau. Puteri mahkota
keluarga ini. Hamil. Dan laki-laki yang
telah merusak kehidupanmu lari entah kemana. Bapakmu tentu punya kuasa untuk
mencari dengan mudah siapa yang melakukan ini padamu. Tapi aku pun tak tahu
kenapa dia hanya mampu seperti ini. Malu, barangkali itu alasan nomor satunya.
“B-b-bagaima-na … k-k-kalau aku, Pak.”
Jantungku seakan berhenti berdetak saat kuucapkan kalimat itu. Barangkali
terdengar lancang. Sungguh. Tapi aku tak bermaksud demikian. Ini hanya sebagai
balasan atas utang budiku kepadanya selama ini. Telah menyekolahkanku.
Mengambilku. Toh … hanya untuk menikahimu bukan?! Tak perlu ada cinta. Mengakui
anak di rahimmu pun, barangkali termasuk bodoh untuk lelaki sepertiku. Tapi apa
bandingnya dengan apa yang telah keluarga ini berikan untukku.
Tak ada suara. Dan aku merasa sudah lenyap sekarang.
Setelah ini barangkali aku akan diusir jauh-jauh karena telah berani mengatakan
hal demikian.
“Aku
akan menikahkan kalian sekarang juga.”
Aku terkesiap. Wajahku pucat, tentunya.
Sesingkat itu. Dan kemudian mendapati dirimu menjadi istriku. Serta perut
buncitmu yang sekarang ini harus kuakui sebagai anakku. Tinggal serumah. Di
rumah kita. Tak ada perkenalan panjang. Karena aku mengenalmu. Pun dirimu
mengenalku. Sebaya. Di rumah yang sama. Di tempat yang berbeda. Saat dulu, menjagamu
setiap pulang dari sekolah. Dan membawakan tasmu. Banyak hari yang tanpa kita
sadari, telah melewatinya bersama. Saat remaja dulu, sering kali melihatmu
bolos dan mengancamku untuk tak memberitahukan pada bapakmu, lebih sering untuk
pergi kencan dengan gebetan barumu, dan menyuruhku untuk memata-matai pacarmu yang
lain agar kau tak tertangkap basah.
***
“Kudengar … Sari sudah pulang sekarang.”
Ketikanku terhenti. Mataku menoleh.
Mencarimu. Dan kau sibuk dengan anak kita, menyuapinya.
“Aku bertemu tadi pagi dengannya, dan dia
semakin cantik … “, kembali aku fokus pada ketikanku. Mengerjakan tesisku yang
sudah diambang deadline. Impian menjadi magister yang diwujudkan lewat tangan
keluargamu. Menyekolahkanku sampai sejauh ini.
“Bukankah kamu mencintainya sejak dulu?”
Dadaku bergemuruh. Hebat. Tak seharusnya
dia mengatakan hal itu. Mengulang kembali kenangan itu. Tentang Sari. Cinta
pertama yang sederhana kumiliki. Bersamanya. Dulu. Sambil menanti kepulanganmu
di sebuah toko buku di kota ini. sering kali dia ikut mengganti posisiku,
membawakan tasmu setiap kita jalan bertiga. Bertiga? Lebih tepatnya berempat.
Yang satunya lagi sosok yang silih
berganti dalam hidupmu.
“Kau tak merindukannya? Paling tidak
menemuinya? Tenang saja … aku tak mengatakan kalau sekarang kita sudah menikah.”
Kau masih berceloteh. Mengenyahkan hatiku.
Sari. Kepergiannya adalah luka. Saat dia harus ikut dengan keluarganya yang
pindah kerja di Makassar. Tak sempat mengejarnya di bandara, karena kau kembali
memaksaku, mengawasi pacar-pacarmu yang lain. Sepertinya kau mulai menyadari
kesalahanmu.
“Kali ini aku sadar bahwa keegoisanku
membutakan segalanya … menerimamu begitu saja hanya biar anakku punya ayah
dalam kehidupannya adalah hal terkejam yang telah kulakukan kepadamu … padahal
aku tahu kau punya cinta yang lain … ”
“Pergilah … temui dia … kalian punya hak
untuk bersatu, merasakan pernikahan yang sesungguhnya.” Dan kau mengucapkan
kalimat itu tanpa beban. Lepas. Tak berperasaan. Atau barangkali kau bermaksud
menjaga perasaanku.
Dan semua tulang-belulangku seperti lolos satu
persatu. Entah aku masih bisa berdiri atau tidak … tapi pengucapanku
selanjutnya membuat semuanya menjadi hening. Bahkan kau pun kulihat terhenyak
lebih lama. Tak ada suara.
“Baiklah … aku talak kamu.”
Sesingkat itu. Dan aku pergi. Keluar.
Dimana langkah akan membawaku. Barangkali itu yang kau harapkan. Sama seperti dulu … kau terlalu tinggi untuk
kumiliki. Menyisakan luka? Entah harusnya pada siapa luka itu harus mampir.
Setahun yang lalu. Sejak aku mulai
mencintaimu. Dalam diam. Di hatiku. Tak pernah ada nafkah batin, karena kita
sepakat untuk tak melakukan itu. Seatap. Dalam kamar yang berbeda. Dan kau yang
suka memasakkan untukku, dan mencuci bajuku. Rumah tangga yang hanya seperti
itu. Dan aku terlalu lancang membiarkan rasa itu ada, mencintaimu apa adanya.
***
Dan aku memberanikan diri masuk di rumah
kita. Memanfaatkan kunci cadangan yang kupunya. Sepi. Membuatku berimajinasi
liar. Suara anak kita dan kau yang ribut di dapur menyiapkan masakan untukku.
Mungkin itu alasannya kenapa kau menolak tawaran bapakmu untuk memberimu
pelayan seperti anak pejabat pada umumnya, kali ini. karena hanya dengan jalan
ini kau bisa menjalankan peranan istri buatku. Seperti dulu. Dengan cara sesederhana
ini.
Aku menalakmu. Karena aku pun tak ingin
egois. Memaksamu menerimaku menjadi suamimu seutuhnya, adalah hal terkejam juga
yang seorang lelaki lakukan untuk perempuan yang dicintainya. Aku tahu,
kepulanganmu kembali, ke istana dimana kau berasal, adalah jalan terbaik untuk
merasakan kembali cinta orang tuamu yang dulunya pernah kau khianati.
“Dimas … “
Jantungku seperti terhenti. Kutolehkan
pandanganku. Dan kau berdiri di sana. Entah bagaimana larutnya aku dalam
bayangmu sampai suara mobil pun tak sedikit tertangkap.
“Kau kemana saja?” Kau pelan mengucapkan
kalimat itu.
Mulutku kelu.
“Kenapa kau kembali?” Hanya itu yang bisa
keluar. Sekarang.
“Karena masih ada yang tersisa di sini …
dan aku harus kembali, membuatnya memilih, ikut denganku atau tetap di sini …”
“Bagaimana kalau dia tidak mau ikut
denganmu dan tidak juga memilih untuk tetap di sini.”
Hening. Kembali. Dadaku bergemuruh hebat.
“Bahkan saat dia tak mau ikut denganku dan
tak juga memilih untuk tetap di sini … aku yang akan mengikutinya kemana pun
dia pergi.”
Hening. Kembali dan … kembali.
“Karena membiarkanmu bersama perempuan lain
… selain diriku, ternyata baru aku tahu kalau rasanya sesakit ini … “ Kau
akhirnya terbata mengeluarkan kalimat itu. Tanpa kau jelaskan lagi, semua sudah
kau akui. Untuk mencintaiku. Bersiap menerimaku.
“Karena masa iddah talak satuku telah
lewat, setelahnya kemudian, aku ingin menikah lagi … pernikahan kedua kalinya … dan itu hanya
denganmu … “
Air mataku luruh. Janjiku. Menghadapinya
bersama denganmu kini sudah menagih. Jalannya adalah menghadapinya. Takdir kita.
Dan masa depan itu. kuhambur tubuhmu. Pelukan kali pertama selama ini. Dan
seperti hari-hari yang akan datang. Bersama. setiap saat. Memelukmu adalah
jalan untuk memperbaiki kesalahan kita yang telah lewat.
TAMAT