- Back to Home »
- ^^Karena Kita Punya Mimpi yang Sama^^
Posted by : mulhaeri azzahra
Jumat, 19 Desember 2014
Karena Kita Punya Mimpi yang Sama
Oleh : Chaery Ma
Nama
lengkapnya Arlia Amru. Nama panggilan sebenarnya Arlia. Kadang dipanggil
“Amour”. Bahkan saudara-saudaranya memanggilnya ‘Ulli’. Ponakannya justru tidak
memanggilnya dengan sebutan ‘tante’ sebagaimana panggilan ponakan-ponakan lain
pada umumnya, tapi dipanggil ‘Lillia’. Karena kekagumannya pada sosok Muthi’ah,
wanita pertama yang masuk syurga, maka dia pun mempunyai nama panggilan lain
yakni Muthi’ah. Lucunya nama ini lebih tenar dibandingkan nama aslinya sendiri.
Ya, dia punya begitu banyak nama. Tapi apapun itu, aku tetap punya panggilan
khusus kepadanya. Panggilan yang mungkin terdengar umum didengar, tapi tak ada
yang lebih hebat dari panggilan itu. ‘Ukhtifillah’
(Saudara perempuanku karena Allah), panggilan yang juga selalu dia perdengarkan
untuk memanggilku … ^_^
Entah
sejak kapan kami mengikrarkan diri untuk menjadi sahabat. Semua berjalan begitu
saja. Mungkin karena kita mempunyai banyak kesamaan sehingga menempel seperti
magnet. Sama-sama suka membaca, sama-sama suka begadang, sama-sama suka makan,
ya … sama-sama panjang kaki alias
diajak jalan (meskipun bercanda) pun pasti ditanggapi serius. Pertemuan kami
dimulai di perpustakaan kampus beberapa waktu yang lalu? Lantas inikah
pertemuan pertama kami? Ternyata tidak, kawan. Ada banyak pertemuan sebelumnya
yang kita belum sadari bahwa kita akan ‘terikat’ layaknya seorang teman pada
suatu hari, di waktu yang akan datang. Aih, skenario Tuhan benar-benar tidak
ketebak.
Ada banyak jalan yang telah kami lewati
bersama. Lebih sering hanya berdua. Bagiku, bukan tentang perjalanan apa yang
kulewati, melainkan dengan siapa aku melewati perjalanan itu. Bertahun-tahun
lamanya kita merancang impian tentang tempat-tempat yang akan kita kunjungi.
Tak sedikit yang terkabulkan. Bahkan momen naik pesawat dan kapal laut pertama
kalinya pun kita lewati bersama. Dia paling tahu posisi favoritku kalau di
mobil. Duduk bersila.Dan yang paling kuingat tentangnya kalau kita sedang
bepergian untuk jarak yang jauh, anti mab
yang tidak pernah absen di sakunya.
Namun
tak bisa kupungkiri, ada jarak yang tiba-tiba merenggangkan persahabatan kami.
Dia pergi meninggalkanku. Sebenarnya lebih tepatnya dia pergi mengejar mimpinya
yang sayangnya aku tidak diizinkan oleh keluargaku untuk mengikuti langkahnya.
Hampir setahun kita tak melewati jalan yang sama lagi. Dia dengan jalannya. Dan
aku dengan jalanku sendiri. Hingga aku tersadar bahwa jarak diantara kami
sungguh telah begitu jauh. Saat dia kembali pulang pun, terasa ada sesuatu yang
beda diantara kami. Tak seperti dulu lagi. Aku kehilangan sosoknya yang dulu.
Atau mungkin aku yang sudah berubah.
Bukan
tentang perjalanan apa yang kulewati, melainkan dengan siapa aku melewati
perjalanan itu. Dan melewati jalan panjang dengannya adalah sebuah kesyukuran untukku.
Aku yang cenderung tenang dan santai, dan dia yang sangat teliti dalam segala
hal sepertinya sangat bermanfaat jika kita sedang bersama. Misalnya saja, dia
harus lengkap semuanya mulai handuk, perlengkapan mandi, cemilan di dalam
tasnya dan akan khawatir jika ternyata salah satunya ada yang ketinggalan. Dan
aku akan menjadi orang yang serba pinjam jika kenyataannya aku tidak
mempersiapkan hal itu. Tapi siapa bilang ketenanganku tidak membawa pengaruh
apa-apa baginya. Justru saat kami ketinggalan mobil,atau ada apa-apa di kalan
misalnya, dia yang sudah kalang-kabut
harus ditenangkan olehku dengan jurus pamungkasku “Tenang ukhtifillah … semua akan baik-baik saja, percayalah.” Ya … dia
pasti akan tenang beberapa saat kemudian walaupun sempat berceloteh panjang : “Kamu’E
… bissanya tenang begini. Sungguh, aku merindukan semua itu. Aksi backpacker kami yang konyol dan nekat. Hingga
akhirnya kami kembali melewati perjalanan berdua. Tepatnya pada tanggal 10-11
September 2014 beberapa waktu lalu. Perjalanan menuju kota Bantaeng, daerah
kabupaten yang jaraknya 123 Km dari kota Makassar. Kami menempuhnya dari kota
Bone, tempat asal kami, melewati kota Sinjai, Bulukumba dan kemudian sampai di
Bantaeng. Kepergian kami ke sana bukan karena kebetulan. Hanya saja mungkin ini
cara Tuhan untuk kembali mendekatkan kami berdua, seperti dulu lagi, saat
mimpi-mimpi kami masih terangkai sama.
“Ukhtifillah … sudah nonton film Thailand Dear
Galileo?” Dia membuyarkan lamunanku. Saat itu aku sedang asyik menikmati
pemandangan kota Sinjai dari kaca jendela mobil yang kami tumpangi. Sejenak aku
melihat penumpang lain di sekelilingku. Mereka sudah terlelap. Hanya kami
bertiga yang masih terjaga. Aku, Ukhtifillah, dan sopir tentu saja.
“Dear
Galileo? Belum pernah … bagus ya?” Komentarku.
“Bagus
sekali ukhtifillah … pasti kamu suka, tentang persahabatan … dua orang yang
keliling dunia hasil dari sakit hati dengan lingkungan sekitarnya.” Seperti
biasa, dia bersemangat menceritakan sesuatu yang disukainya.
“Iya?
Kapan bisa aku ambil filenya? Lantas kenapa judulnya Galileo? Karena mereka
membuktikan teori Galileo bahwa bumi itu bulat?” Aku kembali mengomentari
dengan rasa penasaranku yang tinggi.
“Bukan
sih … itu hanya permainannya di film itu … pokoknya nonton saja deh, nanti
kubawakan filmnya.”
Dan
kami sebenarnya masih seperti dulu. Paling suka segala hal yang bercerita
tentang berkeliling dunia. Impian dan semangat. Terlebih saat fenomenalnya film
Laskar Pelangi, 5 Cm, Negeri Lima Menara, dan banyak lagi. Ya … sebenarnya tak
ada yang berubah diantara kami.
Pukul
10 pagi itu kami sampai di kota Bulukumba. Kami harus ambil mobil lagi yang
akan membawa kami ke Bantaeng karena tidak ada mobil penumpang yang langsung
dari Bone ke Sinjai. Tak perlu menunggu lama, karena mobil yang kami tunggu pun
cepat datang. Sungguh, perjalanan ke Bantaeng untuk pertama kalinya ini adalah
momen yang mungkin akan mengakrabkan kami seperti dulu. Suasana alam. Laut dan
gunung di sisi kiri kanan jalan adalah suguhan yang membuat kami kagum
berkali-kali.
“Ukhtifillah
… kayak Bali.” Pekikku takjub melihat pesisir pantai di pinggiran jalanan
besar.
“Iya
… gunung di sebelah kanan pun kayak dekat sekali.” Timpalnya.
“Apa
mungkin itu gunung Bawakaraeng?” Tanyaku.
“Barangkali
… Subhanallah … “ Dia tak henti-hentinya menjempretkan kamera ponselnya.
Hanya
butuh waktu satu jam kami akhirnya sampai di Bantaeng. Kami langsung
membereskan urusan kami berkunjung ke tempat itu. Setelah selesai, kami pun
beristirahat di rumah teman kami, Masyitah Utrujjah Dwi. Ternyata ukhuwah tak
sekedar kata. Di Bantaeng, kami menemukan sosok perwujudan ukhuwah itu.
Masyitah Utrujjah Dwi. Yang hanya satu kali aku pernah melihatnya langsung dan
bahkan dia sama sekali tidak mengingat kalau kita pernah bertemu sebelumnya.
^_^ … Entah harus bagaimana lagi aku menggambarkan kebaikan keluarganya. Pak
Natsir (bapaknya Syitah) yang sangat kebapakan dan kocak ^_^, ibu yang
bijaksana, Kak Dhan, Demma, Deppa, dan Bimo … terasa seperti keluarga sendiri.
Hanya Tuhan yang mampu membalasnya ^_^
Paginya,
sebelum kembali ke kota Bone. Kami menyempatkan diri untuk jalan-jalan di pantai
Seruni. Pantai yang terletak di pusat kota Bantaeng. Waktu itu bersamaan Pekan
Olahraga Daerah (PORDA) dimana Bantaeng menjadi tuan rumahnya, jadinya kota itu
sangat ramai waktu itu. Pantai Seruni bahkan dipenuhi bendera para peserta
PORDA, jadinya seperti di luar negeri, di New York, di depan markas gedung PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dipenuhi bendera para anggota PBB. Kami pun
berpose banyak di tempat itu.
Eh, tahu-tahunya Ukhtifillah juga minta dijepret di sini ...
“Ukhtifillah
… ambil gaya … “ Dia meneriakiku, dan seperti sudah sadar kamera, aku sudah
mengambil posisi siap jepret. Tuhan ... panasnya minta ampun!! Jepreeeettt ....
Jepreeeetttt ....
Jepret lagi .... ya, dia paling tahu posisi andalanku kalo lagi berpose ^_^
Ujung-ujungnya dia menyerahkan ponselnya padaku : "Ukhtifillah ... saya lagi." Nah, dia pun mengambil posisi andalannya ...
Lagi-lagi tas butut itu ...
Dia kembali mengarahkan gaya untukku. "Ukhtifillah ... pegang jilbab, ndak sadar kamera keci'na." Oke... oke ... kalo itu membuatmu bahagia, dicoba ya ...
Tak ketinggalan ambil momen di atas batu ... jepret lagi ....
Dan Laskar Pelangi pun beraksi ...
Loh ... minta difotoin lagi ...
***
Entah
kenapa, momen seperti dulu terulang kembali. Dan berulang kali aku katakan
kalau sebenarnya kami masih seperti dulu. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar
pergi menjauh diantara kita, hanya saja terkadang kita memang harus berpisah
untuk jangka waktu sampai kapan biar hati ini sadar bahwa kita saling
merindukan. Dia sahabatku. Sahabat yang pernah bermain hujan bersamaku. Sahabat
yang mengajakku kerja part time
bersama di toko sepatu, sahabat yang pernah berani memboncengku dengan
kecepatan seratus. Sahabat yang dimanapun dan kapan pun akan selalu memanggilku
dengan ‘ukhtifillah’ bahkan sampai kami nenek-nenek kelak.
“Yuk
kita ke Thailand … “ Dia kembali membuyarkan lamunanku yang saat itu kami
sedang di perjalanan menuju pulang ke kota Bone.
“Bertemu
dengan pemeran film Dear Galileo?” Balasku.
“Salah
satunya itu … selainnya … melanjutkan mimpi-mimpi kita untuk keliling dunia … “
Ucapnya bersemangat.
“Dimulai
dari Thailand?”
“Tidak
juga … karena barangkali kita harus ke Malaysia dulu.”
“Trus?”
“Padang
ke Malaysia cuma Sembilan puluh ribu.”
“Rupiah?”
“Iyya
… naik pesawat, ada.”
“Makassar
ke Padang?” Aku semakin tertarik.
“Hahaha
… dua juta … “ Aku menimpuknya menggunakan boneka bantal. Sama saja.
Hari
itu aku bersyukur, Tuhan … perjalanan ini telah mengembalikan kami seperti
kemarin. Saat mimpi-mimpi kita masih sama seperti kemarin, bahkan untuk jangka
waktu lama ke depan. Karena ternyata aku tak perlu khawatir dengan persahabatan
kami, selama kami masih memiliki impian yang sama maka yakinlah jarak itu akan
melipat dengan sendirinya, sejauh apapun dia terentang. Dan bagaimana kalau
kelak kita sudah tak memiliki impian yang sama lagi? Ah, Tuhan lebih tahu
tentang ini.