- Back to Home »
- ^^Dia yang Selalu Menarik Jilbabku^^
Posted by : mulhaeri azzahra
Jumat, 19 Desember 2014
Dia yang Selalu
Menarik Jilbabku
(Cinta Pertama
yang Sederhana Kumiliki)
Oleh
: Chaery Ma
Dia
suka menarik jilbabku, membuatnya menjadi segitiga tak beraturan. Terkadang sengaja
menariknya dengan kencang sampai kepalaku terasa mau ikutan copot juga
dibuatnya. Tak pernah benar-benar lepas hingga membuat rambutku terlihat,
karena aku tahu dia sepenuhnya menyadari kalau aku sangat tidak menyukai jika
sudah sampai seperti itu kejadiaannya. Dan ternyata, kejahilannya tak berhenti
sampai pada jilbab saja. Yang lain pun menjadi sasaran tak
berprikemanusiaannya. Mulai dari sebelah sepatuku yang disembunyikan, buku
catatanku yang sengaja ditukar dengan yang lain, dan malah tubuh cekingku
pernah hampir terjerembab gara-gara jebakan batman sepatunya yang menghadang
langkahku. Dan entah sejak kapan itu, aku akhirnya pasang bendera perang tanda
tak menerima setiap penindasan yang dilakukannya kepadaku. Karena perlakuannya
sudah bukan berbentuk kejahilan semata, melainkan telah melanggar hak asasi
manusia aku dalam hal kebebasan untuk hidup damai tanpa ada ancaman dari pihak
luar, apalagi hal ini telah menjadi tontonan gratis teman-teman sekelas kami.
Kami? Ya, itulah malangnya … karena kita mempunyai kelas yang sama. Setiap
waktu, setiap keadaan, aku harus pasang alat pengaman untuk bersiap siaga akan
adanya serangan yang bisa jadi akan datang tiba-tiba.
Tapi
aku yakin, dia tak sepenuhnya jahat padaku. Terkadang ada saat tertentu yang
membuat sosoknya menjelma seperti arjuna. Meminjamkan pulpennya jika aku lupa
bawa. Membagikan makanan yang dibelinya di kantin yang aku sendiri jarang
membelinya. Atau malah kadang membelaku jika ada teman lain yang ikutan jahil
padaku. Aku seperti permainan buatnya, bukan? Boneka bernyawa yang bisa
diperlakukan apa saja dan … begitu saja.
Dan
baiklah … boneka bernyawa itu adalah aku, Mudzakkirah Miladaeni (bukan nama
sebenarnya). Dan dia yang mengaku tuan
boneka itu, Fadhil Rasyidi (Bukan nama sebenarnya). Tak seperti teman-teman
perempuanku yang lain, untuk urusan fashion,
bahasa gaul, genk-genk sekolah
(kecuali dalam hal pelajaran) kuakui memang kalah telak. Dan yang mengenalku
sebagai sosok Mila di tahun 2005, pasti lekat dengan sosok gadis kecil ceking,
cara berjalan yang bungkuk karena beratnya bawaan dalam tasnya. Dan untungnya
tidak ada kacamata tebal atau behel yang bisa jadi akan menjadi pelengkap
ciri-ciri gadis cupu yang melekat
pada diriku. Sepertinya, hal ini yang menarik Fadhil untuk menjadikanku sebagai
objek bulan-bulanannya selama SMA dulu.
Perlakuan
Fadhil jelas membuatku sangat membencinya. Apalagi teman-teman seisi kelas juga
kerap mengejek kami berdua sebagai dua sejoli tikus dan kucing yang mencari
cinta. Hoek!! Dan kalau memang begitu kejadiannya,
berarti endingnya sudah ketebak kami akan menjadi sepasang kekasih yang
ternyata saling mencintai, persis di sinetron Kawin Gantung (yang diperankan
Didi Ryadi dan Sarah Natalia) waktu itu, atau benar-benar seperti di FTV Tikus
dan Kucing Mencari Cinta (yang diperankan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina), juga
serial drama Korea Full House dan Sassy Girl. Hoek! Hoek! Hoek! Mimpi apa aku
semalaman.
Ya.
Aku serius membencinya. Bukan sekedar benci-benci suka. Sangat memalukan jika
hal itu sampai terjadi. Tapi benar-benar benci. Masa bodoh jika ada kalimat
klasik yang mengatakan bahwa benci dan cinta itu beda tipis. Katanya, ketika
kamu membenci seseorang, di waktu yang bersamaan tanpa kamu menyadarinya
sebenarnya kamu sedang berusaha untuk mencintai kekurangan yang membuatmu
membencinya. Hoek! Hoek! Hoek! Sepertinya teori itu belum berlaku bagiku selama
setahun pertama perang kami. Belum? Ya, karena ternyata setahun kemudian teori
itu baru berlaku untukku. Hanya untukku.
Boneka
bernyawa itu akhirnya jatuh cinta pada tuannya. Hal yang membuatku malu untuk
mengakuinya pada diriku sendiri. Mana mungkin hanya libur dua minggu kenaikan
kelas membuatku begitu merindukan semua kejahilannya padaku. Kenapa aku
tiba-tiba rindu dia menarik jilbabku yang
kalau ditariknya sampai membuat kepalaku terasa mau ikutan copot
dibuatnya. Aku menertawai diriku sendiri. Menertawai khayalanku sebelumnya
untuk jatuh cinta pada sosok laki-laki yang membawakan payung untukku saat aku
tengah kehujanan di sebuah tempat paling romantis di dunia pada suatu hari
nanti. Lantas kenapa pada dia? sosok yang suka menarik jilbabku. Ya, karena
mungkin selama ini aku benar-benar tidak sepenuhnya membencinya. Sebenarnya
jika aku melihatnya dari sisi yang berbeda, dia orangnya sangat baik. Jiwa
sosialnya sangat tinggi, yang terlihat dari kepeduliannya jika ada di antara
kami yang mengalami musibah. Juga begitu penyayang dengan keluarganya, terlihat
dari matanya yang berkaca-kaca setiap kali dia menyinggung tentang ibunya. Ah,
dia memang baik. Sangat baik. Jadi, jangan kalian menyayangkan jika pada
akhirnya kemudian aku hanya bisa berpura-pura marah jika dia kembali jahil
padaku, dan membalasnya dengan sekedarnya yang pasti sudah tidak sesadis dulu
lagi. Kali ini aku memang sudah pasrah dengan sikapnya padaku. Aku menyerah.
Dan bahkan aku mulai berkesimpulan, jika kejahilannya padaku semata-mata karena
dia pun sebenarnya sedang menarik perhatianku. Ya, barangkali memang dia punya
perasaan yang lebih padaku. Perasaan cinta yang tak bisa diungkapkannya lewat
tingkah manis lalu kemudian melampiaskannya dengan kejahilan-kejahilan seperti
di sinetron-sinetron yang pernah kutonton. Dan aku tetap kekeuh dengan
kesimpulanku, buktinya hanya aku yang selalu dijahilinya selama ini. Hanya aku.
Sendiri. Maka kubiarkan perasaan itu tumbuh mengalir apa adanya di hatiku. Menyimpannya
sendiri. Setiap hari. Setiap waktu. Hingga musim berganti. Sampai kemudian tiba
saatnya kami harus berpisah setelah melewati gema ujian nasional yang telah
banyak menguras pikiranku.
Siang
itu, beberapa hari menjelang acara penamatan di Sekolah. Kami, kelas XII IPA 3
berkumpul di dalam kelas, sesuai dengan kelompok kita masing-masing, meskipun
itu berarti kami juga kerap menimpali obrolan di kelompok lain. Semua perasaan
seperti bercampur menjadi satu. Sedih karena kami sebentar lagi akan berpisah.
Bahagia karena setelah ini kami akan merasakan bagaimana menariknya menjadi
seorang mahasiswa. Aku dan sahabatku, Tatiana (bukan nama sebenarnya) masih di
tempat duduk kami selama ini, bercerita banyak hal tentang impian-impian kami
di masa yang akan datang. Sesekali diselingi derai tawa, namun terkadang ada
gerimis yang juga turut ikut campur dalam percakapan kami. Dia, Fadhil Rasyidi
terkadang mengusik kami dengan tingkahnya yang masih jahil kepadaku yang
mengundang ejekan teman-teman sekelas hingga tiba-tiba mengubah suasana kelas
yang tadinya begitu melankolis menjadi hiruk-pikuk. Dan aku … tentu kutata
perasaanku sebaik mungkin agar tidak terlihat salah tingkah dengan ejekan itu yang
sumpah sudah membuat semua persendian tulangku berdebar dari tadi.
“Cieee
… Fadhil dan Mila sepertinya sudah jadian.” Seorang teman perempuanku
menyelutuk keras. Tentu saja aku geram dibuatnya. Tuhan, jangan biarkan wajahku
merah padam karena malu. Tapi dia … hanya tersenyum-senyum saja menimpali itu.
Tuhan, kuatkan mentalku jika kemudian dia tiba-tiba saja katakan cinta padaku.
Sungguh aku benar-benar belum siap untuk itu.
“Kalian
semua terlalu berlebihan, aku dan Mila tidak ada apa-apanya selama ini.” Dia tiba-tiba
saja membuat hening keadaan dengan suaranya yang lantang. Deg! Jantungku
berpacu lebih kuat lagi.
“Aku
hanya suka membuatnya marah, membuatnya cemberut, kalau sudah seperti itu dia
persis anak kecil.”
Hiks.
Kutahan sekuat mungkin agar raut wajahku tetap senormal tadi, walaupun
kenyataannya aku sudah mau berteriak kencang. Sudah. Aku tidak mau lagi
mendengar kalimat selanjutnya. Sampai di sini saja itu sudah membuatku sakit.
Apa? Hanya suka membuatku marah? Membuatku cemberut? Anak kecil? Ha, aku
terlalu terbawa perasaan selama ini. Kutarik nafasku dalam-dalam. Berusaha
untuk menetralisir kembali perasaanku. Kalau bisa kembali pada perasaan semula
sebelum aku mulai jatuh cinta padanya. Dia mendekat ke arahku. Memasang wajah
paling manisnya selama ini, dengan lesung pipinya yang sudah terlihat.
“Maaf
ya, Mil … kalau selama ini aku suka membuatmu marah, aku tidak bermaksud
apa-apa kok, kamu hanya terlihat lebih pendiam dari yang lain, dengan membuatmu
marah-marah berarti aku sudah berhasil membuatmu sama dengan yang lain, ah …
bercanda kok, maaf ya, Mil.”
Dia
menjulurkan tangannya tepat di hadapanku. Air mataku seperti sudah mau jatuh.
Tapi tentu saja tidak akan. Entah pakai kekuatan apa hingga aku berhasil
membendung keluarnya. Kusambut tangannya dengan hangat, tak lupa kupasang
senyum terbaik yang kumiliki.
“Sebenarnya
aku tidak mau memaafkanmu setelah selama ini kamu menjadikanku sebagai
bulan-bulananmu … tapi sayangnya aku bukan pendendam, dan atas nama kemanusiaan
… aku memaafkanmu.”
Tegas
aku mengucapkan kalimat itu. Membentengi tembok perasaanku selama ini.
“Semoga
kamu sukses ya, Mil … “ Paparnya lagi. Aku mengangguk mantap.
“Kamu
juga, Fadhil.”
Dan
berakhirlah cinta pertama yang sederhana kumiliki. Berakhir dengan sederhana.
Karena setelah penamatan itu, kami sudah tak pernah bertemu lagi. Beberapa
bulan kemudian, aku mendengar dia sekeluarga pindah ke Maluku. Kuakui, sampai
tahun ke lima kami terentang jarak yang begitu jauh, aku masih saja menyimpan
rasa itu untuknya. Bukan memeliharanya, karena itu berarti aku mengharapkan
suatu hari nanti dia benar-benar mencintaiku dan datang melamarku. Tapi sekali
lagi, semua kubiarkan mengalir begitu saja, dan ketika rasa itu masih ada itu
berarti dia mengalir dengan sendirinya, tanpa kupaksa, atau adanya paksaan. Aku
tidak pernah berharap semua sesuai dengan yang kubayangkan. Bahkan kelak di
suatu hari nanti jika kita bertemu, aku ingin dia sudah memiliki keluarga
sendiri, dan aku dengan keluargaku sendiri. Aku sekedar mencintainya, bukan
bermaksud untuk memilikinya. Itu pun suatu hari nanti jika aku ditakdirkan
berjodoh dengannya maka Allah memang telah meridhoi itu, namun jika tidak maka
cintaku yang sesungguhnya adalah lelaki lain yang telah halal bagiku dan akan
kusempurnakan cintaku untuknya. Dan kini aku memahami kenapa Allah menghadirkan
rasa itu padaku dan dia tidak memiliki rasa yang sebaliknya, karena Allah
sedang mengajariku bagaimana menghadapi rasa sakit itu. Andaikan dia pun
memiliki rasa yang sama, bisa jadi kami akan menjalin sebuah hubungan yang mungkin
hingga hari ini aku sudah menyesal seumur hidupku karena telah menjerumuskan
diriku pada hubungan yang bisa jadi akan menghambat masa depanku, melambungkan
angan-anganku atau bahkan melemahkan semua idealismeku. Karena kini aku
menyadari, sebaik-baik hubungan antar lawan jenis adalah terbingkai dalam
mahligai rumah tangga. Terima kasih Allah, karena kau telah menjagaku hingga
saat ini, bahkan lebih dari selamanya.*
It's Okay ... berakhir di blog pun tak mengapa ^_^
Happy Reading:)
Sekedar konfirmasi, ini bukan kisah nyata pribadiku, sekadar curhatan teman yang kemudian menginspirasiku untuk menulisnya ... Teng Teooonggg ... ^_^