Posted by : mulhaeri azzahra Jumat, 12 September 2014



Mewarisi Semangat Demonstrasi Mahasiswa 1966 dan 1998
Oleh: Mulhaeri ‘AlBanna’



Mereka berkumpul di depan gedung birokrasi kampus. Ada puluhan orang, sebagian memakai penutup muka, sebagiannya lagi malah tidak terlihat wajahnya sama sekali. Masing-masing memegang selebaran yang terbuat dari kertas buram bertuliskan tinta spidol yang tidak jelas hurufnya. Salah seorang dari mereka, seorang laki-laki bertubuh kerempeng berkulit legam menempati posisi terdepan sambil tidak ada hentinya bersorak, setiap kali laki-laki itu berteriak untuk meminta dukungan dari orang-orang yang  berada di belakangnya, seketika  itu disambut antusias oleh mereka. Tidak peduli terik matahari yang sudah berada tepat di atas kepala. Mereka tetap bertahan diposisinya. Terkadang terdengar suara riuh yang disertai kegaduhan, terkadang pula mendadak hening. Hanya para kuli tinta yang tidak pernah memperlihatkan perubahan ekspresi wajahnya, mereka sibuk membidik objek yang menurutnya layak untuk dimuat dikoran harian besok paginya. Bisa ditebak, headline news yang akan tertulis “PULUHAN MAHASISWA SEMESTER 8 DI SEBUAH PERGURUAN TINGGI NEGERI DI BONE BERUNJUK RASA MENOLAK KENAIKAN UANG PPL”. Ya, itulah potret mahasiswa yang selalu abadi sepanjang sejarah kemahasiswaan di dunia ini, termasuk di Indonesia. Demonstrasi. Idealisme yang tidak pernah luntur, telah mengakar kuat. Bukan mahasiswa jika belum pernah merasakan turun aksi semacam itu, suatu paradigma lazim bagi sebagian mahasiswa, hanya untuk sebagian mahasiswa, buktinya sampai hari ini masih banyak dari mereka yang belum pernah melakukan hal semacam itu. Mahasiswa yang study oriented, julukan untuk mereka yang tidak pernah merasakan aksi demonstrasi. Sepanjang sejarah kemahasiswaan, hanya mereka yang bermental organisatoris yang mampu melakukan demonstrasi.
Demonstrasi merupakan suatu langkah pergerakan mahasiswa di negeri ini. Keeksisan seorang atau sekelompok mahasiswa dikancah kemasyarakatan di Indonesia terlihat dari demonstrasi yang mereka lakukan. Mahasiswa memang dekat dengan aksi yang satu ini. Suatu perwujudan nilai-nilai idealisme yang menurut sebagian dari mereka lebih terasa ke’aku’annya bahwa mereka adalah mahasiswa.
Tidak pelak lagi, demonstrasi telah menjadi peristiwa penting tentang runtuhnya kediktatoran bangsa ini dimana mahasiswa menjadi aktor utama dibalik panasnya situasi waktu itu. Tahun 1966, demonstrasi mahasiswa merajalela diseluruh penjuru tanah air yang mulai merasakan adanya kesenjangan dibalik pemerintahan Soekarno. Sebenarnya demonstrasi pada masa itu bukan untuk meruntuhkan rezim Soekarno, melainkan untuk membubarkan PKI(Partai Komunis Indonesia) yang telah meracuni falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Hal yang sama terjadi pada tahun 1998, mahasiswa kembali melakukan demo besar-besaran dengan menduduki gedung DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) untuk meruntuhkan rezim kediktatoran Soeharto. Demonstrasi ternyata membawa sejarah penting dalam perbaikan karakter bangsa ini. Namun disatu sisi, hal ini telah menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang yang pernah merasakan catatan kelam dari peristiwa ini. Demonstrasi membawa banyak korban jiwa. Tragedi Semanggi, suatu fakta yang telah membawa mahasiswa pada ujung tombak ketimpangan.
Berbicara tentang demonstrasi, tentu tidak pernah lepas dari sosok Soe Hok Gie mahasiswa Universitas Indonesia pada era 60-an. Gie, demikian dia akrab disapa, seorang mahasiswa idealis yang tulisan-tulisan kritisnya biasa dimuat di Kompas. Catatan Seorang Demonstran, yang berisi catatan harian Gie turut berpengaruh sampai sekarang—setidaknya di kalangan aktivis gerakan mahasiswa. “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Begitu salah satu kutipan dalam poster film berjudul Gie yang diperankan oleh Nicholas Saputra.
Kenapa Gie begitu berpengaruh? Dalam show Kick Andy memaparkan, bahwa perjuangan Gie bisa saja dikatakan sama dengan mahasiswa lainnya. Satu letak perbedaannya yang membuat Gie pada akhirnya lebih menonjol. Gie terlahir sebagai orang yang berketurunan tionghoa, dan adalah hal yang langka di Indonesia orang peranakan mempunyai jiwa nasionalisme seperti Gie. Jiwa nasionalisme Gie banyak mempengaruhi teman-teman seperjuangannya pada masa itu. Sosoknya yang keras kepala membuat banyak ormas (orgnisasi masyarakat) yang tidak sepaham dengannya mengucilkan Gie dari kehidupan bermasyarakat. Kematian Gie pun merupakan teka-teki yang belum pernah selesai hingga hari ini, media hanya memberitakan bahwa sang demonstran sejati ini meninggal saat pendakian bersama dengan teman-teman Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI (Universitas Indonesia). Meskipun sosoknya telah tiada, namun nama Gie masih melekat, setidaknya selalu disebut-sebut pada setiap gerakan kemahasiswaan sebagai orang yang berpengaruh.
Merefleksikan mahasiswa hari ini dengan mahasiswa era 1966 dan 1998, ada sekat panjang yang memisahkan walaupun ada benang merah yang mampu menghubungkannya. Sejak pasca Reformasi, tampaknya mahasiswa menjadi “kehilangan arah” hingga saat ini. Pada akhirnya, gerakan mahasiswa lebih berfokus pada isu-isu lokal kampus atau daerahnya. Suatu pemandangan langka lagi untuk melihat aksi massal mahasiswa yang serentak di penjuru tanah air. Terakhir, pada masa 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Ada tiga aspek yang telah meruntuhkan semangat kemahasiswaan bangsa ini. Kepercayaan diri, persatuan dan nasionalisme.
Mahasiswa hari ini krisis kepercayaan diri. Hidup di era 1966 dan 1998 tentunya mempunyai atmosfer yang berbeda dengan hidup di saat sekarang ini. Hal ini sangat mempengaruhi kondisi psikologis seorang mahasiswa untuk membuat demonstrasinya se’hidup’ pada masa itu. Hari ini yang terjadi, mahasiswa yang melakukan demo hanya menjadi bahan tontonan gratis. Orang yang didemo hanya ongkang-ongkang kaki. Mengapa? karena menurut mereka demonstrasi hanya sebuah sandiwara langit yang sudah datur sedemikian rupa bagaimana klimaksnya, tentu bagaimana pula endingnya.
Mahasiswa krisis persatuan. Perkotakan mahasiswa hari ini telah begitu jelas. Mengapa mahasiswa pada era 1966 dan 1998 menjadi catatan bersejarah dalam kemahasiswaan bangsa ini, karena terwujudnya persatuan dikalangan mahasiswa yang telah mengesampingkan kepentingan golongannya untuk membela Indonesia. Akan tetapi yang terlihat sekarang, kubu yang satu justru malah baku bersaingan dengan kubu yang lainnya. Mahasiswa terlalu fanatik dengan golongannya, sehingga melakukan demonstrasi pun mengusung golongan tertentu. Tidak ada lagi kesadaran jiwa untuk mengusung persatuan demi bangsa ini.  Masing-masing berusaha mencari simpatisan dari masyarakat dan pemerintah agar dicap bahwa organisasinya bermanfaat untuk orang banyak, namun yang terjadi hanyalah dendam berkepanjangan diantara pemuda bangsa ini, golongan yang telah diakui kecerdasannya, yakni mahasiswa.
Mahasiswa krisis nasionalisme. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan harga mati yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Munculnya berbagai gerakan mahasiswa sekarang ini merupakan pemandangan yang patut disyukuri bahwa setidaknya masih ada gerak yang dilakukan oleh mahasiswa. Akan tetapi munculnya gerakan yang bertolak belakang dengan nasionalisme merupakan bumerang tersendiri dalam memporak-porandakan bangsa ini. Sekali lagi, bahwa UUD 1945 dan Pancasila yang merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia yang tidak pernah bertentangan dengan Alquran dan hadis yang merupakan pedoman hidup umat muslim di dunia ini.  Mahasiswa mestinya menyadari hal itu.
Bone, yang sebagian besar pemudanya adalah mahasiswa tentunya mempunyai andil yang besar dalam memajukan daerahnya, khususnya Bone itu sendiri. Berbagai konflik yang telah ditorehkan oleh mahasiswa, mulai dari birokrasi daerah, birokrasi kampus sampai pada aparat keamanan. Demonstrasi merupakan langkah cepat yang juga turut dirasakan oleh mahasiswa Bone dalam mengangkat suatu peristiwa yang menurut mereka bertolak belakang dengan naluri kemanusiaan. Akan tetapi, ruh 1966 dan 1998 sepertinya tinggal in memoriam saja melihat aksi yang terjadi di lapangan hanyalah kebrutalan yang tidak jelas sebab-musababnya dan ending ceritanya. Sekali lagi, selalu terlihat jelas permainan cantik yang disinyalir hanyalah sebuah sandiwara yang harus dilakoni sesuai tuntutan skenario. Wallahu A’lam bissawab.
Demonstrasi yang dilakukan harus tetap mengusung nilai-nilai kepercayaan diri, persatuan dan nasionalisme. Kebrutalan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sekarang ini merupakan potret kelam yang mesti diperbaiki.
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Masih adakah mahasiswa yang berpendirian seperti itu?. Inilah potret mahasiswa Indonesia hari ini.







Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -