Posted by : mulhaeri azzahra Rabu, 16 April 2014


Episode Losari
Oleh : Mulhaeri ‘AlBanna’


Pemandangan yang sebenarnya begitu indah.Tapi tidak bagi diriku!
Mata teduh itu menerawang jauh. Menatap lepas hamparan pantai yang tak bertepi. Ada beberapa titik cahaya yang seperti berjalan ditengah lautan sana, seolah-olah memanggil untuk dihampiri. Tapi tatkala dihampiri, dia akan lenyap dengan sendirinya. Fatamorgana.Ya, mungkin seperti itu wujud fatamorgana yang sebenarnya.
Disebelah sana, gerumuh keramaian yang berasal dari pengunjung lokal dan sebagian turis mancanegara seperti memecah malam di pesisir pantai saat itu. Ada konser musik ternyata. Belum lagi penjual pisang epek yang suaranya timbul tenggelam menjajakan jualannya. Sekali lagi, pemandangan malam yang sebenarnya begitu indah. Tapi tidak untuk diriku!!!
Kami memilih tempat yang jauh dari kerumunan pengunjung, dan menghindari sorotan lampu-lampu jalan yang hampir memenuhi bibir pantai. Di ujung sekali. Sebenarnya aku dari tadi melawan ketakutanku, dengan mempermainkan sebatang rokok ditanganku. Entah ini rokok yang keberapanya sejak maghrib tadi menemani malamku. Laki-laki disebelahku tak juga bereaksi, hanya helaan nafasnya yang sesekali terdengar menandakan dia masih ada disana. Aku mati kutu dibuatnya. Tak tahu harus berbuat apa. Perkiraanku, perjuanganku akan final malam ini. Tapi entahlah, ada skenario apa lagi. Sudah hampir dua jam kami berada disini. Dan belum ada satu pun kata yang terucap. Entah siapa yang harus memulai. Aku benar-benar tegang. Tapi aku harus bertahan. Hampir satu tahun aku memperjuangkan saat ini. Bertemu dengan lak-laki itu. Jangan menyerah. Semangat, Aryo!!! Pekikku dalam hati.
Sejak Rahmat Hidayat alias Abdullah Azzam alias Ahmad Hanafi alias, ah ... entahlah, menjadi tersangka otak dari peristiwa pemboman hotel J.W. Marriot beberapa tahun yang lalu, para awak media termasuk diriku berlomba mencari tahu siapa sosok itu sebenarnya. Kasus teroris ini sempat mengendap lama, sejak tertangkapnya Amrozi, semua kasus teroris di Indonesia hilang dengan sendirinya.
Kesuksesan kami sebagai wartawan, ketika mampu menyajikan berita fenomenal kepada khalayak, yang tidak semua wartawan mampu melakukannya. Memang bukan hal yang mudah. Seperti diriku saat ini. Entah ini sebuah kesuksesan atau apa ... namun yang pasti, aku telah bertemu dengannya. Harus ada informasi yang bisa aku kupas pada momen ini. Tak akan kusia-siakan. Jauh-jauh aku datang dari Jakarta ke Makassar hanya untuk menemuinya. Entah kenapa Makassar menjadi tempat pilihannya. Pantai Losari menjadi tempat pertemuan kami, itu pun atas dasar permintaannya. Sekali lagi, tak mudah untuk bertemu dengannya. Aku sendiri pertama kalinya dicap komplotan Densus 88 yang sedang memata-matainya. Tapi entah kenapa, laki-laki itu pun pada akhirnya bersedia ditemui olehku. Masa’ hanya harus berakhir dalam keterdiaman seperti ini!
“Kamu ingin informasi apa dari saya?”
Akhirnya mulut itu bicara juga. Aku yang tiba-tiba diserang pertanyaan seperti itu, kagok juga. Kurasakan keringat dingin yang mengalir dipelipisku, padahal udara malam begitu dinginnya. Ya. Siapa yang tidak tegang berhadapan dengan sosok manusia yang dicap teroris dan jadi buronan kepolisian itu. Sejenak aku menata hatiku.
“Hmm ... tentang alasan anda melakukan tindakan kriminal seperti ...”
“ Menurutmu?” Aku terdiam. Kata-kataku dipotongnya.
“Tentu ada alasan anda melakukan ini semua ... membunuh ribuan nyawa yang tak berdosa”.Entah dapat kekuatan darimana, akhirnya aku bisa bicara selancar itu.
“Membunuh?!” Terdengar tawa aneh keluar dari mulutnya. Sejenak aku menoleh menatapnya. Dengan bantuan cahaya bulan, itu pun secara samar-samar, aku bisa melihat ada janggut tebal didagunya. Kepalanya ditutupi dengan kain sorban. Tidak seperti yang selalu ditampilkan media di televisi. Tentu saja. Menjadi buronan, paling tidak harus memiliki koleksi topeng wajah agar sulit untuk dikenali. Entah, tampilannya malam ini adalah wajah aslinya atau topeng wajahnya yang lain.
“Kami tidak membunuh manusianya ...” katanya. Yang kami bunuh adalah misi-misi terselubung yang bersemayam dijiwanya”, lanjutnya.
“Maksud anda?” kali ini aku dibuatnya bingung. ”Sejauh mana anda tahu misi yang bersemayam didalam hati mereka?”, lanjutku.
Tawa anehnya kembali terdengar. Sekejap. Kembali tak ada suara. Hanya semilir angin yang sesekali mengusik suasana. Pertanyaanku digantungnya .Nafasku tertahan. Lagi-lagi aku dibuat mati kutu.
“Minum,” disodorkannya kepadaku sebotol minuman yang dikeluarkan dari jubah hitam yang dipakainya. Takut membuatnya tersinggung, akhirnya kuterima juga. Walaupun hatiku diliputi perasaan was-was terhadap minuman ini. Tak bermerk. Sekilas, kulihat dia menenggak minumannya sendiri dengan begitu nikmat. Sedangkan aku masih tetap membiarkannya dalam genggamanku.
“Sudah menikah?”
Pertanyaan yang tidak kusangka akan keluar dari bibirnya. Tentu ditujukan padaku.
“Belum ...” jawabku singkat.
Kenapa?” Aku kembali meliriknya. Hatiku geli. Kenapa justru aku yang diwawancarainya.
“Belum mapan,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan rona maluku. Entah dia melihatnya atau tidak.
“Anda sendiri?” Kali ini aku balik bertanya.
“Sudah punya sebelas anak, menyusul dua belas,” tawanya kembali terdengar, membuatku ikutan untuk tertawa.”Yang sulung sudah sebesar dirimu.”
“Keluarga anda tinggal dimana?” Alur pertanyaanku sudah menemukan titik temu. Tinggal bagaimana caraku nanti untuk memutar-mutarnya.
“Menyebar di seantero dunia,” paparnya. Aku menangkap semburat kerinduan dari nada suaranya.
“Kenapa anda tidak tinggal berkumpul bersama keluarga, bukankah itu lebih baik?” pertanyaanku semakin tajam saja.
“Kumpul bersama?” Dia menarik nafas panjang. “Raga kami saja yang terpisah tapi hati kami tak pernah terpisah.” Aku tiba-tiba terdiam refleks. Aku kagok dengan jawaban berfilosofi seperti ini.
“Menikahlah ...” kembali dilontarkannya kata itu.
“Aku belum merasa mapan,” dan kembali jawaban itu yang aku lontarkan.
“Pekerjaanmu ini tidak begitu menjanjikan?”
“Tergantung,” ungkapku. “Bagi yang serius menjalani tentu mendapatkan honor yang serius juga,” lanjutku. ”Tapi aku tidak pernah peduli dengan soal honor, bisa mendapatkan berita yang faktual, berhasil menaklukkan pekerjaan yang menantang, itu sudah kepuasan batin yang tak dapat dibeli oleh uang.”
“Ya ... kamu sudah menjawab sendiri kenapa aku juga melakukan semua ini. ”Hatiku tertohok. Tak kusangka, dia akan melantang jawabanku seperti ini. Aku kehabisan kata-kata. Speechless. Ya. Terlalu banyak alasan yang tidak masuk akal kenapa kita melakukan sesuatu, dan terlalu banyak alasan yang tidak masuk akal juga yang membuat kita sulit untuk mempercayai sesuatu. Seperti saat ini.
Aku membiarkan angin malam mempermainkan rambut gondrongku. Dingin mencekam, tapi tidak mampu menetralisir ruang hatiku yang sedang sesak. Gemuruh suara dari pengunjung di arena konser musik yang lumayan jauh dari tempat kami semakin menjadi-jadi. Puluhan petasan dan kembang api diluncurkan keatas. Semarak malam yang juga tidak bisa menentramkan hatiku. Perjuanganku selama hampir setahun, hanya akan berakhir seperti ini. Bayanganku tentang esok harinya, beritaku menempati rating tertingi berhasil mewawancarai secara eksklusif buronan yang dicap teroris kelas kakap, buyar seketika. Ya. Tapi paling tidak aku telah berhasil menemuinya.
Pukul 22.00. Aku akhirnya pamit pulang. Pesawat yang akan aku tumpangi ke Jakarta akan berangkat dua jam lagi. Paling tidak satu jam sebelumnya sudah harus tiba di bandara. Dia tersenyum, saat tangannya menggenggam tanganku. Sepertinya dia tahu perasaanku.
“Maaf telah mengganggu waktu anda”, kataku berusaha kuat.
“Langsung ke bandara?”
Aku mengangguk pelan.
”Aku salut dengan kerja kerasmu, memang tak selamanya sesuai dengan apa yang kita harapkan ... lain kali aku akan mencarimu.”
Lama aku menatap laki-laki yang mungkin seumuran dengan ayahku. Lain kali aku akan mencarimu. Kata-katanya terngiang jelas ditelingaku. Untuk apa mencariku lagi??? Pertanyaanku itu kubiarkan saja menjadi teka-teki dihatiku hingga akhirnya aku terlelap dalam perjalanan pulang.
***
Jakarta
09:15
Kubiarkan diriku tetap meringkuk diatas ranjang. Pikiranku masih diliputi dengan peristiwa tadi malam. Seperti mimpi. Tapi itu bukan mimpi. Botol minuman tak bermerk itu yang jadi buktinya, yang kubiarkan tergeletak begitu saja pada meja samping ranjangku.
Deringan Hp membuatku bangkit seketika. Aku berharap ada info berita hangat yang bisa aku liput hari ini untuk membalas ketidakpuasanku tadi malam. Nama pemimpin redaksiku tertera dilayar Hp.
“Halo ...”
Hp terjatuh dari genggamanku. Aku mencoba menata hatiku yang sudah tak karuan. Dengan sisa kekuatan, kucari remote TV dan menekan tombol ON. Pemandangan yang sulit kupercaya kini tampil di layar kaca. KONSER MUSIK DI LOSARI MENJADI SASARAN PEMBOMAN, TEPAT PUKUL 23.00 WITA. 120 PENGUNJUNG DINYATAKAN TEWAS. 70 DIANTARANYA TURIS MANCANEGARA.
***

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -