Posted by : mulhaeri azzahra Sabtu, 26 April 2014


Mengunci Matahari
Oleh: Mulhaeri ‘AlBanna’


Kenapa harus ada siang? Kenapa bulan tidak meminta pada Tuhan agar waktunya diperpanjang melebihi waktu matahari? Aku tidak butuh siang. Tidak suka. Malam, itu sudah cukup bagiku. Tuhan, kalau bulan malu meminta padamu, aku yang mewakilinya, aku mohon biarkan dalam hidupku hanya ada malam sampai Engkau memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup sangkakalanya.
“Tenri, bangun!”
Suara itu lagi. Tanda pagi. Aku pura-pura tidak mendengar, kutarik selimutku sampai tidak ada satu pun seinci tubuhku yang terlihat. Karena aku sudah hafal betul, setelah suara itu, akan ada suara tirai yang dibuka. Ah, matahari pasti langsung menyinariku.
Sreeekkk! Benar dugaanku.
“Tenri!”
Suara itu histeris menyebut namaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang masih sempat terekam di telingaku suara gaduh abah dan kak Baba di sekitarku. Aku tidak peduli. Kupejamkan mataku rapat-rapat, aku mau semua berlalu dengan cepat hari itu, dan ketika kuterbangun ada bulan yang tersenyum kepadaku. Benar saja, aku betul-betul terlelap sampai-sampai suara itu tidak meninggalkan jejak di batas memoriku.
“Tenri, kamu belum bangun?”
Sepertinya bukan suara yang setiap hari aku dengar. Jelas bukan suara ummi. Yang ini lebih bersahabat. Pelan-pelan aku menurunkan selimut yang entah berapa jam lamanya membungkus tubuhku. Mataku belum cukup stabil untuk mengenali sosok perempuan yang kini berdiri tepat di dekatku. Tapi aku tidak mungkin lupa, dia Batari, kenalan baruku di sebuah rumah sakit dua hari yang lalu. Apa yang dia lakukan di rumahku?
“Kamu?” Aku seakan tidak percaya. Dia tersenyum memamerkan deretan gigi rapinya,
“Iya Tenri, aku.” Dia menarikku untuk bangkit, ah, hal yang paling malas aku lakukan. Tapi, aku tidak tahu kenapa kali ini aku menurut. Tirai jendelaku terbuka lebar, sudah malam ternyata. Lama juga aku tidur, gemingku. Batari menuntunku berdiri di depan jendela, menghadap ke langit. Bintang merajai malam. Ada senyum kecil mengembang dibibirku. Salah satunya alasan kenapa aku menyukai malam, karena aku suka bintang. Kadang aku menunggu malam hanya untuk menyaksikan bintang, terlebih saat ada bintang jatuh, ya, aku tidak percaya tentang mitos doa dikabulkan tatkala ada bintang jatuh, tapi pada bintang jatuh, aku selalu berharap ada sosok pangeran yang ikut turun menghampiriku dan mengajakku menjadi permaisurinya. Ya, mana yang lebih bodoh, aku atau penganut mitos bintang jatuh itu?!
Pandanganku beralih pada hamparan laut yang masih tertangkap oleh batas penglihatanku, pantai Losari. Beralih lagi ke gedung pencakar langit yang seperti raja di tengah ribuan hamba sahayanya, Phinisi, ikon salah satu universitas negeri yang ada di Makassar. Semua terlihat cantik.
“Tenri, doamu dikabulkan.” Batari merangkul pundakku. Kulirik wajah manisnya, aku tidak mengerti.
“Kamu lihat sendiri … “ Dia mengajakku kembali untuk merenungi malam. “Di luar sana telah malam.”
Aku masih berkutat dalam ketidakmengertianku. Seakan Batari mengerti apa yang kupikirkan, dia meraih jam duduk yang bertengger tepat di sebelahku. Tanpa kuduga, dia langsung mendekatkan arah jarum jam tepat di wajahku.
“Pukul empat.” Refleks frase itu keluar dari mulutku. Segera kukibaskan jam itu, kali ini aku fokus melihat objek manusia yang masih ramai beraktivitas di luar sana yang tadinya luput untuk kuperhatikan. Bukan hal umum pukul empat subuh seperti ini seramai pukul empat sore. Di bulan ramadhan pun tidak juga seperti ini.
“Memang bukan pukul empat subuh, sekarang pukul empat sore, Tenri.” Lagi-lagi Batari menebak jalan pikiranku.
“Jadi …”
“Kamu telah berhasil mengunci matahari.”
Aku terperangah. Kutatap wajah Batari dalam-dalam. Aku bergegas ke laci meja. Kuaduk-aduk isinya, tanganku gemetar memegang kunci berbentuk bulan sabit itu. Kunci pemberian Batari. Belum berhenti sampai di situ, aku segera berlari ke luar rumah. Aku ingin betul-betul memastikan. Benar saja, semuanya masih ramai. Orang-orang masih berkerumun di pasar dekat rumah. Pak Harjo, tetangga rumahku yang sepertinya baru pulang dari kantor. Maudy, anak kost sebelah yang mungkin dari kuliah. Tanpa kusadari, telah terbentuk lengkungan bulan sabit di bibirku. Aku bahagia. Malam, ah, akan kuhabiskan hariku hanya untuk melihat bintang.
“Tenri …”
Aku menoleh, Batari telah berdiri di belakangku. Senyumnya mengembang. Dia memperlihatkan padaku kunci yang persis sama dengan pemberiannya padaku. Aku juga mengangkatnya, mendekatkannya, terbentuklah bundaran dengan lubang di tengahnya. Lubang itu seperti matahari yang diapit oleh dua bulan sabit. Ya, matahari telah terkunci. Tawaku pecah. Batari pun ikut tertawa bersamaku.
***
Batari muncul di kamarku. Wajahnya tertekuk masam, seperti ada sesuatu yang terjadi.
“Ada apa?” tanyaku.
“Sepertinya kita tidak boleh egois.”
“Memang ada apa?”
“Karena matahari tidak pernah muncul selama sebulan ini, tanaman jadinya tidak tumbuh.” Sorotan matanya tajam ke arahku. “Bone, Sengkang, Sinjai kelaparan”
Aku terperangah. Akhir-akhir ini, aku sempat mendengar ummi mengeluhkan stok makanan yang dijual di pasar berkurang. Tidak kusangka, akan sejauh ini dampaknya.
“Tanaman membutuhkan matahari, mereka butuh energi untuk makan.”
“Lalu?”
“Kita tidak boleh egois.” Batari kembali mengulang kalimat itu. “Kita harus menghentikan semua ini, kita harus membuka kunci matahari.”
“Tidak.” Kutatap tajam mata Batari.
“Jangan biarkan sampai ada korban, Tenri!”
“Aku tidak peduli.”
“Jangan egois.” Batari berlari menuju ke laci mejaku. Dengan sigap aku mencegatnya. Dia meronta dalam terkamanku, aku tidak boleh menyerah.
“Jangan paksa aku untuk melakukannya.”
“Ini untuk menyelamatkan orang, Tenri.”
Hatiku tertohok. Tanpa kusadari ada butiran bening yang mengalir dipipiku.
“Kalau aku melakukannya, aku bisa membunuh kak Baba.”
Batari terhenyak. Kurasakan sendiri bagaimana tatapannya penuh tanya kepadaku.
“Kak Baba mengidap penyakit XP.”
“XP?”
“Penyakit langka, matahari dapat membunuh sel-sel di dalam tubuhnya.
Batari terduduk lemas. Aku pun juga ikut. Sepertinya kami begitu kelelahan.
“Itulah alasan utamanya, kenapa aku tidak suka matahari, aku sayang kak Baba, dia kakak semata wayangku, kalau dia meninggal aku juga bisa saja meninggal, aku tidak mau kehilangan dirinya.”
Hening menyelimuti kami. Diluar dugaanku, Batari secepat kilat berlari membuka laci mejaku. Tanpa hitungan detik, dia mendekatkan kunciku pada kuncinya hingga membentuk lubang di tengah. Cerah seketika. Raja siang itu menampakkan dirinya. Belum sempat aku berkomentar, Batari telah mebuang jauh-jauh kunci itu lewat jendela kamarku. Dia langsung meninggalkanku. Aku hanya mampu terhenyak, semua begitu cepat. Kini, tinggal air mataku yang masih meninggalkan jejak.
***
Aku kembali seperti kebiasaan awalku. Membungkus diri dengan selimut. Sejak insiden itu, Batari juga tidak pernah muncul lagi di rumahku. Mungkin dia marah, entahlah. Lebih tepatnya, aku yang marah pada dirinya.
Kini keadaan menjadi terbalik. Malam tidak pernah lagi hadir dalam hari-hariku, yang ada hanya siang. Malam seperti hilang tertelan oleh matahari. Aku semakin uring-uringan dibuatnya. Pasti ada yang salah dengan cara Batari saat membuka kunci matahari itu.
Matahari itu justru membuat tanaman semakin meranggas. Para penjual di samping rumah mulai pada mengeluh dengan stok jualannya yang telah habis. Ummi juga mulai sibuk berkeliling mencari beras yang masih ada terjual. Porsi makan yang awalnya tiga kali sehari, kini dikurangi menjadi dua kali sehari, bahkan pernah sekali sehari.
Tapi itu bukan urusanku. Kak Baba, satu-satunya yang kupikirkan saat ini. Aku harus lebih intensif menjaganya. Dia tidak boleh terkena sinar matahari. Dia tidak boleh meninggal. Aku pun memutuskan untuk sekamar dengannya.
***
Mataku masih terasa berat untuk terbuka. Cahaya lampu kamar terlalu menusuk pupil mataku sehingga jadinya seperti ini. Tapi aku harus bangun. Aku masih terhuyung saat kutarik tirai kamar itu. Bulan telah bertengger di luar sana.
“Tenri, kamu baik-baik saja?”
Aku menoleh, Dokter Arika telah berdiri di daun pintu kamar. Tangannya terlipat di dada. Sejak kapan dia berdiri di sana.
“Halo Tenri, kamu belum menjawab pertanyaanku.”
“I … iya.”
Dia berjalan ke arahku. Namun sebelumnya dia singgah pada meja dekat ranjang tempatku berbaring tadi. Dia lalu menyodorkan beberapa butir kapsul kepadaku.
“Kamu belum minum obat.”
Dengan patuh, aku mengambil kapsul itu dan menelannya bersamaan dengan air mineral.
“Nah, begitu dong, kalau begini caranya kamu bisa kuliah lagi.”
Dia menepuk bahuku. Sudah tiga hari ini, psikiater itu yang menanganiku. Dibandingkan dengan psikiater-psikiater yang sebelumnya menghadapiku, hanya dokter Arika yang mengenakan jilbab. Mungkin karena itu sehingga aku merasa nyaman kepadanya. Jilbab? Ah, tahu apa aku tentang yang satu itu?
Aku tersenyum diperlakukan seperti anak kecil oleh dokter cantik itu.
“Kamu mau kuliah lagi, kan?”
Aku mengangguk. Ada harapan sebesar gunung untuk dapat mengenyam bangku kuliah lagi. Aku rindu dengan teman-temanku. Rindu yang sudah sulit untuk kugambarkan. Kapan semua ini akan berakhir? Kenapa harus diriku yang mengalaminya? Aku ingin hidup normal seperti yang lainnya.
Aku divonis terlalu banyak berilusi, penyakit mental itu yang sudah satu tahun belakangan ini menimpa diriku. Sungguh, ilusi itu datang seketika tanpa mengenal waktu dan tempat. Di luar kendaliku. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Pun di dalam keluargaku tidak punya riwayat pernah mengalami hal yang serupa denganku.
Hal ini yang membuat abah dan ummi lebih mengungkungku di dalam rumah. Mereka khawatir, aku akan berbuat di luar dari yang diinginkannya.
Batari, Matahari, Bulan, hanya bagian dari ilusiku. Mereka tidak nyata. Mereka sama sekali tidak ada. Dan kak Baba, tidak pernah ada sejarah kalau aku mempunyai kakak. Lagi-lagi, sosok kak Baba adalah bagian dari ilusiku.
“Mulai saat ini, lupakan semua itu.” Dokter Arika merangkulku dengan hangat. ”Saatnya kamu berpikir lebih jernih, saatnya kamu melawan ilusi-ilusi itu.”
“Bagaimana agar aku bisa melakukannya?”
Dokter Arika melepaskan rangkulannya. Dia keluar kamar sebentar dan kembali lagi dengan membawa sesuatu.
“Ini untukmu …”
Dia menyodorkan sebuah Alquran dan mukena berwarna putih kepadaku. Hatiku tertohok. Dokter Arika seperti menamparku dengan halus. Kuakui, selama ini agamaku hanya sebagai pelengkap kartu identitas belaka.
“Ambillah.”
Gemetar tanganku meraihnya. Aku sudah lupa, kapan terakhir aku memegang benda ini.
“Inilah caranya, Tenri.” Dokter Arika tersenyum dengan penuh bijaksana. “Perbanyaklah sholat dan membaca Alquran, karena sebaik-baik obat itu yakni sholat dan mengaji.”
Mulutku tergugu. Mataku sudah berkunang-kunang.
“Selama ini, kamu tidak punya pegangan, kamu begitu labil, kamu butuh sandaran, tidak ada sandaran yang paling baik selain sandaran-Nya.”
Butiran asing itu telah menganak sungai dipipiku. Kudekap erat mukena dan Alquran itu.
“Tenri …”
Ummi menghampiriku. Sejak kapan ummi berada di dekatku. Dia mengangkat wajahku dan menghapus jejak-jejak air mata yang masih tertinggal.
“Kamu bicara sama siapa, Nak?”
Refleks aku sadar. Dokter Arika telah hilang dari hadapanku.
“Ummi, dokter Arika … “
“Siapa dokter Arika itu?”
Aku menatap ummi dengan penuh keheranan.
“Dia psikiater yang menanganiku, Ummi.” Aku meyakinkan ummi.
“Ternyata kamu belum sembuh, Nak.” Ummi memelukku erat.“ Dokter Andini yang menanganimu, bukan dokter Arika, tidak ada yang bernama dokter Arika.”
Aku menjerit. Ya, aku belum sembuh. Ilusiku masih jalan. Ya Allah, kapan engkau menghentikannya? Tapi akhirnya aku tersadar, dokter Arika bukan ilusiku, dia memang ada. Dia nyata. Mukena dan Alquran itu masih tergenggam erat ditanganku.
***

Ditulis di Makassar, 12 April 2013
Pukul 21:11

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -