Posted by : mulhaeri azzahra Rabu, 25 Maret 2015


Apple, I’m in Love
Chaery Ma

 
Melihatmu. Di sini. Dari jarak yang sangat jauh. Itu sudah cukup. Tak pernah aku mengharapkan lebih. Seperti sejak awal, aku cukup tahu diri  yang lebih lama membersamaimu, barangkali, karena sudah usang, pun dengan bentuknya mengingatkanku punya om Tyo di rumah. Kau berjalan dengan langkah tergesamu, selalu seperti itu, dengan rambut keritingmu yang sepertinya kau nyaman membiarkannya terikat begitu saja. Dan hilang secepat kilat dari pandanganku. Entah berkutat dimana lagi dirimu. Perpustakaan, karena kau punya hobi membaca buku. Sekretariat BEM, karena kau punya jabatan di sana. Hanya dua tempat itu. selebihnya kau ada di kelas, bercengkrama dengan sahabat-sahabatmu yang lain. Ah, sepertinya aku tahu banyak tentang dirimu. Jelas tidak. Selebihnya aku menyerah angkat tangan. Tapi tunggu, ada satu yang terlupa … sepeda warna hijaumu yang selalu membersamaimu ke kampus setiap harinya. Jika ada waktu, aku ingin mengajakmu bersepeda, mengelilingi kota Makassar … berboncengan? Bisa jadi. Dan sempurnalah kita seperti pasangan pemeran di drama Korea  Love in Harvard. Hoeeekkk … mana ember, aku mau muntah!
Kau, pemilik nama pena ‘ER’ itu. Penulis rahasia yang tulisanmu sering dimuat di majalah kampus. Tak banyak yang tahu. Aku? Barangkali hanya sebuah kebetulan yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin redaksi, dan mau tidak mau tulisanmu harus lolos ditanganku dulu baru kemudian bisa diterbitkan. Dan seperti hari-hari yang telah lewat, aku mengenalmu lewat tulisanmu. Pedas. Kadang manis. Namun lebih sering kecut. Tapi aku hampir lupa, untung saja kita menyinggung soal ini. Tentang tulisanmu pekan lalu. Tak lagi soal ketidakpuasanmu tentang birokrasi kampus, atau kantin berjejalan yang merusak pemandangan, pun dengan pete-pete yang ugal-ugalan kejar setoran di depan sana. Ditulisanmu kali ini kau mengangkat cerita fiksi, kali pertama semenjak mengenalmu sebagai penulis,  … mungkin kau jenuh dengan kalimat-kalimat baku yang sehari-harinya harus kau serap di kepalamu, atau barangkali memang tak ada sesuatu. Tapi lengkaplah sudah, judulnya, pun dengan isinya, sudah membuatku tertarik, sejak dulu … tapi kali ini ada sesuatu, berbeda, pun dengan rasa ini. Memalukan. Apple, I’m In Love … Apel, aku jatuh cinta. Judul sarkartis itu. Yang kubaca entah kesekian berapa kalinya.
Kau bertanya tentang apel padaku. Dan jawabku masih sesederhana itu : Berwarna merah dengan sehelai daun yang menempel di tangkainya. Hanya seperti itu. Hasil didikan buku mata pelajaran waktu SD dulu. Lebih sering seperti itu, melihatnya, entah di sumber manapun yang pernah kubaca. Dan kau tertawa, lebih tepatnya mengakak. Masih seperti kemarin, aku mencintai caramu meremehkanku.”
Sepenggal tulisanmu yang ter-screen shoot. Tersenyum aku membacanya. Ingin aku terbang. Sekarang. Atau barangkali tunggu hitungan jam. Memberimu apel ini, yang ada digenggamanku kini. Kubeli dengan cara aneh di mini market kampus ini.Pagi tadi. Aneh? Karena aku jarang menginjakkan kaki di tempat seperti itu, kecuali jika keadaan yang memaksa, paling pentingnya jika odol atau sabun di kamar asrama benar-benar tak tersisa sedikit pun. Dan ini hanya untuk membeli apel? Memalukan sekali. Sebenarnya hanya untuk meyakinkanmu, bahwa apel tak hanya seperti yang kau gambarkan. Dan sepertinya aku masuk dalam lingkaran cerpenmu yang bisa jadi seratus persennya adalah khayalanmu semata. Tolol.
“Ini apel Fuji … warnanya kuning kemerah-merahan, tanpa tangkai, pun dengan sehelai daun yang menempel di tangkainya.”
Kubayangkan dirimu kini berdiri di hadapanku, dan memberimu buah ini. Dan aku menabok jidatku, berulang kali.  
***
Lelaki apel, demikian aku memberinya nama. Alasan sebenarnya karena dia begitu menyukai apel, dan aku ingin simbol apel itu jadi jalan untuk mengingatnya di kemudian hari. Bisa jadi suatu saat nanti, aku pun lupa, apa apel itu, dan bagaimana melafalkannya, tapi demi dirinya, aku akan mengingatnya, kalau toh pada akhirnya hanya ada satu yang tersisa, aku memilih untuk mengingat apel.”
Berlebihan. Terlalu sarkartis. Tulisan yang terlau dramatisir di sepanjang tulisan-tulisan lainnya yang termuat di koran kampus ini. Dan aku yang dengan lugunya masih setia untuk membacanya berulang kali, seperti saat ini.
Apple I’m In Love … beuh, apa bedanya dengan Eiffel, I’m In Love?”
Radit, teman seruanganku. Pembicaraan siang itu. Di kantin paling pojok kampus ini.  Ternyata diam-diam ikut mengamati isi koran di peganganku. Atau entahlah … barangkali hanya numpang menyundul, mengusik jiwa melankolisku. Lebih seringnya dia seperti itu.
“Jelas beda … apel ya apel, Eiffel ya Eiffel … “
“Tapi sama-sama membahas tentang jatuh cinta, bukan?”
“Pada orang yang berbeda, itu intinya.”
Tekanku. Mengalihkan pembicaraannya. Sekalian mengunci rapat mulutnya. Dan bersamaan dengan itu kau muncul. Di sini. Di tempat yang sama. Dengan gayamu. Rambut keriting yang terikat begitu saja.
“Hai, Tan … “ Sapamu. Seceria Ria Ricis, adik Oki Setiana Dewi yang gaya gokilnya ter-upload di instagram. Menyapaku seperti ini setiap waktu saat kau menemuiku bahkan sampai tak sengaja menemuiku adalah pembawa tidur yang selalu kubawa setiap malamnya. Memalukan. Dan bahkan saat tulisanmu yang kubabat habis, lengkap dengan caci maki ditambah perbaikannya yang harus kau ikuti, tetap saja gayamu kepadaku tak akan pernah berubah. Entah suatu saat nanti.
  “Hai … “Sapaku. Dingin. Dan itu sangat kontras. Membohongi perasaanku. Menyembunyikan koran yang tadinya ada di genggamanku. Entah kuselipkan di mana. Dan aku tak mau kau tahu soal ini.
“Oh ya … aku duluan, Tan … “ Kau bergegas pergi, membawa sebotol air mineral dan keripik pisang. Menjauh. Dan sepeda hijaumu, kenapa aku penasaran kau memarkirnya dimana?
 “Tan … “ Kau kembali. Tiba-tiba. Menyebut namaku. “Barangkali kau lihat ada sesuatu yang jatuh waktu aku berdiri di sini?”
“Apa?” Tanyaku singkat.
“Jam tanganku … “
Dan aku tersenyum. Tak dapat kutahan. Menunjuk benda hitam yang melingkar di lengannya. Lama dia menyadarinya, dan menepuk jidat pada akhirnya. Pergi tanpa sepatah kata, dan kutahu itu memalukan buatnya.
“Dia mengenalmu? Beuh … kau terkenal juga, ya?! Dia itu pengurus inti BEM yang satu-satunya cewek, bukan? Keren … ”
Aku tak menggubris kalimat Radit. Pun dengan yang akan keluar selanjutnya. Selalunya aku hanya berada di belakang layar. Berkutat dengan tulisan yang akan siap kubabat. Pun dengan perkenalanku denganmu, hanya satu atau mungkin cukup dua orang yang mengetahuinya.
***
“Dan akhirnya … aku menyerah. Tak ingin memaksamu. Pun mengingat apel yang kau suka. Karena melupakanmu bukan pilihanku, melainkan dipilihkan untukku, dan aku harus menerimanya. Tak banyak harapan yang akan kukatakan, hanya satu … esok atau lusa, saat melihatku tersesat di jalan, tunjukkan aku jalan menuju pulang. Ke rumahku.”
Ending cerita yang membuatku tersentak, dulu … saat kali pertama aku membacanya. Dan kini kembali kubaca, dan mengingatkanku kejadian siang itu, jam tangan … dan kau lupa tempatnya. Segera kucari tanda-tanda itu di internet. Sepertinya ada sesuatu. Mungkin hanya aku yang terlalu berlebihan. Di bawah bayang-bayang drama korea yang pernah menayangkan tema yang sama baru-baru ini, sepertinya. Tapi hati kecilku berkata lain, kau mempunyai masalah. Mulai dari cerpen fiksi pertamamu. Dan kalimatmu yang terkesan curhat daripada fiksi lain pada umumnya. Sudah kukatakan, aku mengenalmu. Lewat tulisanmu. Dan kau tak perlu tahu itu.
 “Kau memanggilku, Tan?“ Kau datang. Terlambat lima belas menit. Selalunya begitu. Mungkin kesibukanmu, atau kau memang sengaja membuatku menunggu. Dan yang terakhir itu jelas persepsiku semata. Memanggilmu? Kali ini aku sengaja melakukan itu.
“Tentang tulisanmu …  Apple, I’m In Love … “ Langsung. Tanpa embel-embel. Seperti itu aku di hadapanmu. “Kembali baca baik-baik … “
“Oh ya?! Ada yang harus diperbaiki?” kau menatapku. Dan segera kualihkan.
“Genre … dan jelas banyak pembaca koran ini yang sepertinya kecewa menunggu kritikan pedas dari penulis ER yang bulan ini seperti menyuguhkan yang lain … “
Dia tersenyum.
“Ingin belajar mencintai sastra … bukankah ada quotes yang mengatakan kalau kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai …” kau berteori di depanku. Dengan gaya klasikmu. Dan kusembunyikan senyumku. Tentu saja.
“Dan bulan selanjutnya kau harus kembali pada habitatmu … membaca tulisanmu kali ini seperti bukan dirimu, mencintai sastra tak harus kau paksa dirimu untuk bisa menulis sastra … bisa jadi suatu hari kau bisa, setelah beberapa puluh buku sastra yang kau khatamkan.” Kalimat yang terlalu panjang.
Dan dia tertegun.
“Mungkin bulan-bulan selanjutnya aku tak menulis lagi, Tan.”
Seperti halilintar. Mengoyak kupingku. Berlebihan. Artinya, kau tak akan lagi kutemui. Di sini … hanya pada jalan ini kita saling berbicara banyak, bukan?!
“Kenapa?” Berat aku mengucapkan kalimat itu. Terlalu cari tahu.
“Aku mau cuti … ada hal yang harus aku selesaikan, dan itu tak perlu kau ketahui, bukan?”
Kau masih sempatnya bercanda, dan hatiku yang jelas sudah tak karuan.
“Baiklah … “ Hanya itu yang kukatakan. Lalu kau kemudian pergi. Kembali tak lama kemudian.
“Aku lupa dimana meletakkan ponselku.” Mukamu menahan malu. “Apa aku meletakkannya di sini?”
Kuamati atas meja. Tak ada sesuatu yang tertinggal.
“Kau sudah memeriksa tasmu?”
“Apa aku membawa tas?”
Dan sempurna keningku berkerut. Tentu saja. Tasmu terselempang dengan sempurna di pundakmu. Entah kau sudah menyadari, mukamu kau tepuk berkali-kali.
“Oh ya … maaf, aku sudah ingat.”
Aku tertegun. Lama. Kau dan cutimu. Serta sifat lupamu akhir-akhir ini. Tidakkah kau paham kalau hatiku sudah kau buat porak-poranda seketika?! Menghantamnya. Dan itu memalukan, lagi, dan lagi. Buatku. Ingin kucegat langkahmu. Memelukmu. Kau pasti butuh itu. Tapi tidak! Keberanianku tak sampai di titik itu.
***
Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Berbulan-bulan lamanya. Kau tak lagi muncul. Pun di aktivitas yang lain. Berani aku melacakmu sejauh itu. Tak ada kabar, pun dari teman-temanmu yang lain. Dan semakin aku berusaha mencarimu, kau tahu? Hatiku semakin sakit. Dan kekhawatiranku seperti menemukan buktinya. Kau kemana?!
Tulisan terakhirmu. Dan sifat pelupamu yang tetiba saja muncul. Ingin kumenemukanmu. Tak mengapa kau melupakanku. Setidaknya aku bisa membantumu, menuntunmu di jalan pulang, ke rumahmu, jika kau tersesat.
“Sepertinya kau menyukainya.”
Akhirnya aku terbuka. Pada Radit. Hanya sama dia. Dan saat ini di dalam mobil, berdua, berharap menemukanmu. Dan pernyataan itu, yang baru saja keluar dari mulutnya seakan menohok jantungku. Barusan juga, kali ini aku tak mengelak.
“Ketika dia pergi, kau baru menyadari telah mencintainya?  Terlalu ke-Korea-an … “ Ucapnya sadis. Coba saja kali ini aku tidak berada di atas mobilnya, ingin kukeluarkan cacianku.
“STOP, Dit!!!” Pekikku. Dan Radit langsung merem. Mendadak. Tentu saja.
Segera aku keluar dari mobil. Berlari. Siluet itu tertangkap. Dan kali ini aku tak mau melepasnya. Kau. Ya. Itu kau. Di taman kota ini. Terduduk. Sendiri.
“Nacita … “ Pekikku dari jauh. Dan sakitnya, kau sama sekali tak meresponku. Mendapatkan buktinya, sepertinya aku harus siap. Apel di tanganku, yang selalu kupegang akhir-akhir ini, seperti tanda bahwa aku akan menemukanmu, segera.
“Nacita … “ akhirnya aku di dekatmu. Melihatku bingung. Air mataku tumpah. Tak peduli ini memalukan atau tidak.
“Ini apel … apel Fuji, kau ingat?” Ucapku terbata. Dan kau mengalihkan pandanganmu. Pada apel itu.
“Kau ingat tulisan terakhirmu … Apple, I’m in Love? Kau berkata dengan mengingat apel paling tidak kau akan berusaha mengingat seseorang, tak mengapa itu bukan aku, yang penting kau mengingatnya.”
Dan kau masih tak bersuara. Hanya angin yang menerbangkan rambut keritingmu yang kau ikat begitu saja.
“Aku … Aku Natan … yang suka mencaci tulisan-tulisanmu, yang suka …. suka memperhatikanmu diam-diam selama ini, namun barangkali kau tak menyadarinya.” Akhirnya lepas kuucapkan kalimat itu.
“Dan mungkin bukan aku yang kau maksud, dalam tulisanmu … sosok yang akan menuntunmu, tapi apapun itu, bersama sosok yang kau nanti itu, aku akan membantunya, menuntunmu menemukan jalan pulang … ke rumahmu.”
“Apa aku Alzheimer?” Pelan kau mengucapkan kalimat itu. Dan tubuhku lepas. Memelukmu. Erat.
“Tapi kau akan baik-baik saja … tak peduli dengan dunia kedokteran yang katanya penyakit ini tak ada obatnya, ini hanya persoalan waktu saja, dan kelak akan ada obatnya … kau akan sembuh, dan mengingat kembali, semuanya, tak peduli kalau pun kau harus melupakan sesuatu dan itu adalah aku.”


“Kau kenapa? Aku tahu kau Natan … dan aku Nacita … “
Tersentak. Aku dan kebingunganku sendiri.
“Aku baik-baik saja, tidak Alzheimer sama sekali, dan kau mendapatkan info itu dari mana?”
Tuhan, apakah aku yang terlalu sarkartis selama ini? Baiknya aku hilang. Disambar petir pun tak mengapa, asal segera menghilang. Di sini. Darinya.
***
Hujan di luar sana. Tak sederas tadi. Hanya sesekali kilatan menambah cekaman. Dan sosok itu yang terus kuawasi dari balik kamar. Dia. Lelaki itu. yang bisa saja keluar dari rumah tanpa sepengetahuanku. Pernah sekali waktu, dia ditemukan di pasar dan tidur di sana, menambah gempar warga yang berakibat pada kecemasan-kecemasanku selanjutnya. Membuatku mengambil keputusan, untuk cuti kuliah dalam jangka waktu lama, menjaganya.
Aku mencintainya, dan pengabdianku adalah bukti cintaku. Padanya. Papa. Yang waktu kecil dulu selalu membawakan sekeranjang apel pada setiap kepulangannya dari berlayar. Penyakit ini pun seakan membawa lari jiwaku yang lain, saat setiap kali aku muncul, berulang kali itu pula kuulang namaku.
“Aku Nacita … Na-Ci-Ta … anak papa.”
“Apa aku mengenalmu?” Lebih sering aku mendapatkan jawaban itu. Sakit. Itu jelas! Tapi seperti janjiku, aku akan selalu menuntunnya, menemukan jalan pulang rumah saat dia tersesat, seperti saat kecil dulu dia pun selalu memberi sekeranjang apel untuk melihat senyumku.
Dalam dukaku sejauh hari ini, … izinkan aku bahagia. Sedikit. Kali ini. Tentang sosok itu, yang ternyata diam-diam mencariku selama ini. Mungkin dia tak tahu, atau tak perlu dia tahu, kalau kepura-puraanku terhadap benda yang entah kuletakkan dimana pada waktu itu adalah modus untuk bisa dekat dengannya. Maka biarkan saja perasaan ini berjalan apa adanya, karena kutahu pada akhirnya pun semua akan menemukan jawabannya.  
TAMAT





Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Soundcloud

Postingan Saya

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ^_^Bintang Berkaki^_^ -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -