- Back to Home »
- ^^Cerita Tentang Sebuah Kisah yang Bernama Perjalanan^^
Posted by : mulhaeri azzahra
Rabu, 25 Maret 2015
Cerita Tentang Sebuah Kisah yang Bernama Perjalanan
Kali ini aku
akan bercerita, tentang orang-orang yang kutemui di jalanan. Pun dalam
pete-pete, pada perjalanan menuju rumah. Ataukah pada setiap perjalanan yang
kutempuh, dimana pun. Seperti janjiku hari ini, aku akan sering menulis apapun
kejadian yang kualami. Tak mengapa, tak satu pun yang membaca. Pun bukan dengan
tujuan itu kemudian aku melakukan ini. Terlalu naïf, tentu saja! Karena pun dengan
membacanya, kalian tak kujamin untuk berubah seketika itu. Dan ini bukan cerita
yang barangkali sering kau baca di buku Motivasi, atau di tulisan mana pun yang
selalu numpang lewat di jejaring sosial yang acapkali jadi menu sehari-hari.
Ah, tentu saja, tak ada satu tulisan yang berani kusandingkan dengan tulisanku,
seperti kalimatku sebelumnya, aku masih belajar menulis, dan aku akan sering
menulis. Bukan pada baiknya tulisanmu, tapi seberapa sering kau menulis. Entah
quotes siapa itu yang membuatku tak berpikiran panjang mempertimbangkan apakah
tulisanku bermanfaat atau tidak. Tapi percayalah, aku masih punya nurani untuk
terus bermanfaat bagi orang lain.
Di perjalanan
kali ini, seperti memutar waktu kembali … pada masa ‘mahasiswa’.
Berkumpul dengan segolongan orang yang jelas lebih muda dariku, kali
ini. Berdiskusi layaknya presentasi makalah, ada yang kurang
sepakat, pernyataan ngotot, bahkan ada yang apatis sama sekali. Hei, dan semua
ingin diakui, pun dengan jawabannya. Tentu saja! Hak asasi manusia, yang
dipelopori oleh siapa, jelas untuk pelajaran sejarah terkadang otakku jadi
dengkul sama sekali, tapi aku suka sejarah, percayalah! Juga tentang panggilan
yang mulai ramah itu, ‘kakak’, dan mendapati diriku yang pautan usianya berbeda
dengan mereka, disitu kadang saya merasa sedih! Whatever … dulunya pun aku
seperti itu, ketika menjadi adik sama sekali, dan tak beradik, bahkan.
Baiklah … prolog
yang begitu panjang. Bukan bertele-tele. Bedakan itu! Terkadang prolog
membuatmu lebih nyaman untuk melanjutkan sebuah tulisan, kecuali jika kau tak
suka gombal sama sekali. Hei, aku bukan penggombal. Baca kembali prolog di
atas, tak ada gombalan, bukan?!
Ini perjalanan
kesekian …
Melewati jalan
yang sama, pun kadang dengan sopir dan mobil yang sama, atau mungkin masih
dengan teman duduk yang tetap saja sama, pada tujuan yang sama. Masih sama. Dan
mataku yang tak kunjung mengerjap, terus memelototi interior bangunan di kanan
kiri jalanan, meski itu hanya sebuah plang besar di lampu merah, dan
seorang artis yang memamerkan produk iklanannya. Dan itu selalu menarik buatku.
Jangan ditanya lagi tentang bangunan rumah minimalis di kiri kanan jalan, bukan
mengkhayalkan diriku yang punya rumah itu. Aish, tentu aku punya tipe rumah
idaman sendiri. Hanya saja, aku teringat Ryan Fikri, sang arsitek di novel
paling romantis yang pernah mampir dalam hidupku. Mr. Akechi yang mengerjakan
proyek desain bangunannya dengan tangan dinginnya. Dan sang belahan hati, Rani Ar
Rayyan yang suka dimarahi tanpa perasaan ketika pekerjaannya tak kunjung sesuai
keinginan hatinya. Hehehehe … disitu kadang saya berkhayal menjadi Rani ^_^
Pun pada
ruko-ruko yang kutemui, dan jenis jualan yang disediakannya. Perputaran uang
yang seharusnya begitu menjanjikan di negeri ini. Dan berbincang dengan teman
seperjalananku, tentang KFC yang menjamur, tentang J.Co, atau sederet freelance
yang pernah singgah di ingatan kami. Ngomong-ngomong tentang KFC, baru saja
kemarin kami berbincang dengan pernyataan yang sama, “Bulukumba, kota sekecil
itu saja punya KFC, kenapa Bone tidak.” Dan hei, sepertinya kalimat itu
benar-benar diaamiinkan malaikat. Sekarang tulisan KFC dengan font besar sudah
bisa kau jumpai di jalan Ahmad Yani dekat Bank Syariah Mandiri, meskipun belum
beroperasi alias renovasi bangunan. Hm, aku tak pernah benar-benar menyukai
jenis masakan ayam yang satu itu. Kecuali jika aku benar-benar sedang ingin
memakannya, itupun hanya sekali sentuhan. Sudah. Menurutku, masakan ayam ala
orang Bugis dengan ramuan rempah melimpah masih saja tetap nomor satu, di sini.
Di hatiku.
Juga pada jenis
orang yang tak sengaja kau temui. Dan kalian pernah saling mengenal, dulu.
sayangnya, pertemuan yang sebenarnya tak kau inginkan disaat dirimu sedang keringatan
dan bau kecut karena sengatan panas, penampilan yang tak kau inginkan, pun
dengan pertemuan yang tak boleh kau hindari. Itu sering kejadian, padaku.
Padamu juga, bukan?! Yang terjadi kemudian, kau hanya pura-pura minta nomor HP
atau Pin BBM, dengan niat menyudahi segera pertemuan itu, dengan alasan
dilanjutkan lewat media sosial. ^_^ Tak mengapa! Asal janji, setelahnya itu kau
benar-benar menyambung silaturahim lewat nomor yang telah kau ambil tadi.
Juga pada becak
yang tak luput kau perhatikan. Kendaraan yang begitu kusukai di sepanjang jalan
ini. Apalagi di saat bulan basah, dan aku paling sering melarang tukang becak
menurunkan tirai plastiknya dengan niatannya agar aku tak kena hujan. Ingin
rasanya aku katakan,”Pak … aku suka naik becak sambil basah-basahan.” Tapi
jelas tak kulakukan, dikiranya nanti aku perempuan yang lari dari Rumah Sakit
Jiwa. Serius! Naik becak adalah sebuah perjalanan yang membawamu pada
kesederhanaan, pun membawamu pada kesabaran. Sebenarnya tak ada niatan untuk
mengemukakan yang terakhir ini, tapi sebelumnya aku mau meluruskan, ini sama
sekali tidak bermaksud Riya, tergantung Allah jika kemudian akan dinilai
seperti apa, hatiku hanya ingin menyampaikan, dari dalam … bahwa naik becak
juga adalah sebuah perjalanan yang membawamu pada sedekah. Ketika
banyaknya tawaran naik pete-pete dengan alasan cepat sampai, pun dengan
kenyamanannya. Atau naik ojeg, yang juga menawarkan jasanya. Dan kau memilih
becak yang masih tradisional cara mengayuhnya, sejatinya kau pun sedang melestarikan
warisan budaya bangsa kita.
Dan kali ini,
becak masih membuatku terpukau. Saat kau melihat seorang tukang becak yang
duduk di dalam kemudinya sambil menunggu penumpang, dan ini bukan duduk
sembarang, tapi sedang membaca … kira-kira apa yang terpikirkan olehmu. Aku
tersenyum, tentu saja! Bahwa tukang becak pun harus banyak belajar. Bahwa semua
orang pun harus banyak membaca. Biar cerdas. Biar tidak mudah ditipu. Dan
semakin mendekat, mendekat … akhirnya aku hanya melafadzkan ‘Subhanallah’,
ketika buku yang dibacanya bukan sembarang buku, melainkan kitab suci Alquran.
Kini bukan lagi senyuman, lebih pada hati yang bergetar. Sungguh, pemandangan
langka yang jarang kutemui di sepanjang windu ini.
“Itu barangkali
buku primbon yang berbahasa Arab … “ Cetus teman seperjalananku begitu kami
sampai di penginapan.
“Hm … buku
primbon ya?! Hahaha … “Komentarku.
“Tapi sepertinya
memang Alquran … seorang tukang becak seperti itu, mana tahu tulisan arab yang
di Indonesiakan … yang aku pun tak tahu membacanya.” Tambah teman
seperjalananku, meralat kembali ucapannya.
Entahlah …
apapun itu, dalam hatiku … sejuta doa kuucapkan untuk si tukang becak itu.
Semoga Allah memudahkan rezekinya, dan selalu dilimpahi kebahagiaan. Bukan
karena dia membaca … tentu saja! Karena dia makhluk hidup … pun dengan semua
makhluk hidup di dunia ini, semoga dilimpahi kebaikan! Aamiin!
Untuk
Perempuan yang suka traveling, dan tentu saja suka naik becak!