Banggai-Lautan Kata dan Tulisan-tulisan yang Tumbuh Subur
Saya
mengenal Banggai dari seorang perempuan Banggai yang begitu kukagumi
karya-karyanya. Ia mengenalkan Sebelum
Hujan di Sea-Sea, Ning di Bawah
Gerhana, Rumah Perahu, dan Kei : Kutemukan Cinta di Tengah Perang.
Dari sebuah wawancara yang
kemudian saya kutip, ia mengatakan lahir dan tumbuh di Desa Lipulalongo,
Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, dengan kondisi serba terbatas di
pelosok membuatnya termotivasi untuk belajar dan mengubah nasib. Ia sadar
betul, kata bisa menjadi pedang tajam jika disuarakan dengan tepat. Ia konsisten
mengangkat kerumitan masalah di pedesaan dan meraciknya jadi amunisi untuk
memerangi ketidakadilan.
Hal ini mengingatkan saya pada
apa yang pernah ditulis oleh Leila S. Chudori dalam pengantar kumpulan
cerpennya Malam Terakhir dimana
Virginia Wolf, seorang sastrawan Inggris menggugat mengapa jumlah penulis
perempuan jauh lebih sedikit, hingga dia mengatakan, “For most of history, Anonymous was a woman.” Meski Leila pengagum
fanatiknya, dan memiliki seluruh buku karyanya, baru 20 tahun kemudian ia
betul-betul tunduk pada pendapat Virginia Woolf ini. Para penulis, para kreator
membutuhkan sebuah “ruang”, tetapi para penulis perempuan membutuhkan ruang
pribadi yang jauh lebih besar, lebih kukuh dan pribadi untuk membuat sebuah
karya yang jujur dan bercahaya.
Adalah Erni Aladjai, penulis
perempuan yang lahir dari rahim Banggai yang saya maksud. Adapun Novel Kei yang merupakan salah satu karyanya
yang populer setelah menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta—bercerita
tentang konflik di Pulau Kei, dekat dengan Banggai Laut—membuat saya tertunduk
dan tertegun dalam jangka waktu yang begitu lama, mengambil pada suatu
kesimpulan bahwa perang tidak akan membawa apa-apa selain rasa senasib
rakyatnya yang kemudian menghapus jarak antara penduduk Kei bahwa tidak ada
Islam, tidak ada Kristen, yang ada adalah orang Kei dan semuanya harus saling
bahu-membahu. Jika memang kenyataannya
novel ini tetap fiksi, saya ingin kehadirannya tetap bisa menampar krisis kemanusiaan
yang merajelala di negara kita.
Pun kejujuran
tulisan Erni Aladjai yang lain menjadikannya harus berurusan dengan polisi gara-gara
karya di kumpulan cerpen Ning di Bawah Gerhana, yang ia sumbangkan ke
perpustakaan desa. Cerpen yang bercerita tentang kepala desa yang korupsi saat
pilkada itu membuat tersinggung seorang pejabat desa yang kebetulan membaca.
Jadilah ia dilaporkan ke polisi, bahkan dituduh antek PKI, padahal tidak ada satu
pun isinya memuat tentang PKI.
Pengalaman
ini membuat ia sadar betapa suram potret pendidikan di sana.
***
Terlepas dari sudut pandang
seorang Erni Aladjai dalam menyikapi persoalan yang terjadi di salah satu
pelosok desa di daerah Banggai. Saya memandang dalam sudut pandang yang
berbeda, bahwa Banggai patut bersyukur mempunyai aset sumber daya manusia yang
mampu menerjemahkan berbagai perihal dalam sebuah ruang yang membuat kata-kata,
huruf-huruf dan kalimat-kalimat saling bertemu dan bermesraan. Sehingga
kata-kata, huruf-huruf dan kalimat-kalimat tersebut bersenyawa, mempunyai
kehidupan dan menari-nari dalam sebuah ruang yang nyata dan begitu menarik.
Banggai yang terkenal dengan kota
laut, bahkan keindahan lautnya disebut-sebut sebagai surga yang jatuh di bumi tentu
saja adalah aset sumber daya alam yang benar-benar membanggakan, dan bukan
isapan jempol belaka. Potensi pariwisata
dan potensi penulis yang menghuni surga dunia tersebut akan menjadi bentuk lain
yang kelak akan mengantarkan Banggai menjadi kota laut yang dekat dengan
tulisan-tulisan. Mengingat masih
sedikitnya tulisan sastra yang menceritakan tentang laut : laut Indonesia yang
paling luas, laut Indonesia Timur, laut Banggai. Hal ini akan menjadi mutiara
di masa depan jika disandingkan dengan cara saling bersinergi.
Baiklah, mari kita berkenalan
dengan tempat wisata Banggai satu per satu yang semoga saja akan menjadi inspirasi
sastra di suatu hari nanti :
1.
Pulo
Dua, Balantak
Terletak
di Kecamatan Balantak Utara, dengan menempuh perjalanan darat sekitar 150 Km
dari Luwuk. Mempunyai rimbunan flora endemik, dan gugusan bukit serta batu
karang yang menjulang tinggi membelah laut. Ada pemandangan menarik lainnya
saat musim kemarau, bukit yang mirip pegunungan bernama Tompotika, semua
pemandangan yang ada di pantai, bukit dan pegunungan akan terlihat dengan jelas
tanpa penghalang seperti kabut dan awan hitam. Pulo Dua ini juga sering
dijadikan lokasi syuting Mancing Mania karena terkenal dengan ikan-ikannya yang
memang menggoda.
2.
Agro
Wisata Salodik
Salodik
mempunyai wisata alam yang sangat menarik. Menempuh perjalanan darat sekitar 1
jam dari kota Luwuk. Kawasan ini mempunyai air terjun yang jernih dan terdiri
dari beberapa tingkat dengan kedalaman air sekitar 5 meter. Kawasan ini juga
ditumbuhi pohon pinus sehingga menjadi hutan wisata.
3.
Danau
Tower
Terletak
di Desa Tower, Kecamatan Balantak Utara. Daerah ini dikembangkan sebagai area
pemancingan bagi para wisatawan. Keberadaan sungai ini menjadi unik, karena
selama puluhan tahun pada musim kemarau menjadi kering. Namun belakangan
kemudian danau ini tidak pernah lagi kering melainkan menjadi tempat bertemunya
air tawar dan air laut.
4.
Air
Malino Tontouan
Tempatnya
nyaris tak banyak orang mengetahui. Jaraknya hanya sekitar 300 meter dari
pemukiman penduduk Desa Tontouon. Yang membuat tempat ini berbeda dari tempat
wisata alam lainnya yakni suguhan alamnya yang masih perawan dan belum
tersentuh oleh tangan-tangan manusia.
5.
Pantai
Kilolima
Merupakan
objek wisata alam yang indah dan bersih. Letaknya dijantung kota Luwuk. Beragam
makanan khas daerah dari dan luar Banggai tersaji di sepanjang cafe-cafe di
tempat wisata ini.
Sungguh, betapa jurus kata-kata
akan membuat gambar menjadi nyata dan bernyawa.
Tak hanya berhenti sampai di
situ,
Babad Banggai, yang memuat
tentang Kerajaan Banggai merupakan bukti nyata tulisan menjadi periode awal
bagaimana Banggai mulai dikenal oleh masyarakat luas. Babad Banggai merangkum
tentang bagaimana sejarah Kerajaan Banggai, Sistem Pemerintahannya, Silsilah
Raja-Raja, dan Berakhirnya Kerajaan Banggai. Bahkan teman-teman dari Indonesia
Mengajar turut meramaikan tentang Banggai melalui jurnal Lentera Banggai, yang
tentu saja menilik pada persoalan pendidikan anak-anak Banggai pada titik
tertentu masih membutuhkan pembenahan struktur dan infrastruktur lebih
spesifik.
Diselenggarakannya FestivalSastra di Banggai merupakan suatu bukti nyata telah sadarnya penulis-penulis tentang potensi yang dimilikinya yang sudah saatnya menunjukkan pada dunia
tentang talenta kepenulisan yang subur di sana. Pun saya sudah menerawang jauh
ke depan, ketika para generasinya diberdayakan untuk menulis tentang laut
Banggai yang indah maka Banggai akan menjadi objek wisata dunia pada tahun
mendatang.
Atau barangkali ke depannya,
Banggai tidak hanya dikenal dengan pemandangan lautnya.
Tidak hanya dikenal dengan ubinya
yang merupakan ubi satu-satunya di dunia yang hanya tumbuh di Banggai.
Banggai akan dikenal sebagai kota
Literasi yang menyuburkan penulis-penulis untuk jujur memakna Banggai tentang
laut, tentang Indonesia Timur. Seperti Belitong yang kemudian disorot kamera
berkat Andrea Hirata dalam menuliskannya lewat tetralogi Laskar pelangi.
Pun alasan saya untuk hadir pada Festival Sastra Banggai, saya ingin menjadi saksi lahirnya kota laut dan literasi yang sebentar lagi akan BANGKIT DAN BERAKSI !
Tulisan ini saya ikutkan pada lomba menulis di Blog yang diselenggarakan Babasal Mombasa
Referensi
:
Chudori,
Leila S. 2017. Malam Terakhir.
Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Selasa, 28 Maret 2017
Posted by mulhaeri azzahra
Perihal Mudik
Perihal Mudik
Rani Ar Rayyan*
Sejak bapak ibu meninggal dunia, dan rumah satu-satunya dikontrakkan, mudik tak pernah lagi menjadi alasan untuk pulang. Tiga belas tahun yang telah lewat atau barangkali telah masuk empat belas. Tak lagi benar-benar utuh dalam ingatan tentang kapan terakhir aku pulang, karena tak lagi penting. Dan jelas saja, apalah arti pulang tanpa bapak atau ibu yang
menanti dengan setia. Dulu—tentu saja selalu mengangkat kisah tentang dulu—ibu tak selalu berhasil menutup mata dengan rapat sampai aku tiba di rumah dengan selamat, bercerita banyak tentang peristiwa yang terlewati di rantauan hingga fajar menjelang,
besok-besoknya meja makan akan dipenuhi oleh aneka makanan kesukaanku. Dan kini, kerinduan itu tentu saja masih tersimpan di
kedalaman. Dan selalunya hanya berakhir seperti itu, menyimpan dalam-dalam, membiarkannya hidup sendiri pada hati. Tapi pada asal muasal yang bagaimana hingga kemudian kuputuskan untuk mengejar penerbangan terakhir malam itu. Hanya sebuah tas ransel yang
kusesaki begitu saja pakaian dan sedikit cemilan di dalamnya. Hatiku terpanggil pulang, itu saja. Barangkali dari kedalaman, pengakuan rindu itu menuntut untuk diwujudkan. Lebaran. Suasana takbir. Burasa[1]. Gambang[2]. Entah, setitik air dan lama-lama menjadi banjir memenuhi wajahku. Aku menangis seperti anak kecil. Untung saja, pesawat sudah berada di atas awan. Sehingga aku tak perlu khawatir dengan rasa
iba teman duduk di sekitaranku. Pun barangkali mereka merasakan hal yang sama.
Larut dalam kerinduan. Dan sebaik-baiknya jawaban adalah pulang.
“Baru kuputuskan untuk pulang sejak dua puluh lima tahun di rantauan. “ Bapak pas di sampingku mengangkat bicara begitu menganggap perasaanku sudah stabil,
barangkali. Pun berani kupastikan, dia seperti mengamati keseluruhan tingkahku beberapa menit yang
lalu. Seharusnya aku malu.Tapi dia seperti teman bagiku—saat itu juga—menyodorkansekotak tissue yang dirogohnya dari kantongan tempat duduk di
depannya. Barangkali wajahku terlihat parah sekarang.
“Lebaran dan mudik adalah momen yang paling ditunggu oleh kami yang tinggal di tanah rantau.” Suaranya terdengar tegas namun tenang—lebih tepat,
berbicara sendiri. “Dua puluh lima tahun adalah penantian yang tentu saja sangat lama.
“Yang pas di sampingku adalah anakku yang tertua, di kursi depan ada istriku dan dua anakku yang
lain.” Segera kualihkan pandanganku pada remaja perempuan yang hanya si bapak menjadi perantara di antara kami. Dia sudah lelap dalam tidur,
kelihatannya. Tanpa sedikit pun terganggu dengan pembicaraan di dekatnya.
“Tujuan bapak kemana?” Pada akhirnya kuputuskan untuk bertanya.
“Soppeng.”
“Bone.”Balasku.
“Soppeng dan Bone dulunya adalah dua kerajaan yang begitu bersahabat, Tellumpoccoe ri Limpo adalah bukti persahabatan mereka … Wajo juga.”
Arah perbincangan yang sebenarnya tak benar-benar membuatku tertarik. Namun kubiarkan saja dia berkisah panjang lebar, hingga kupastikan dia sudah berhenti. Setidaknya membuat perasaanku lebih baik kali ini.
“Kalau boleh tahu kenapa bapak baru memutuskan untuk pulang?”
Ada tawa dipaksakan dari sana.
“Pulang tak hanya membawa satu orang, anak muda … tapi lima orang … dan itu bukan nominal
angka yang kecil untuk orang-orang seperti kami.”
“Tentu saja bapak merasa bahagia pada akhirnya bias pulang sekeluarga kali ini.”
“Ya. Tentu saja.” Dan kali ini tawanya terdengar tulus.” Dan kamu sendiri, anak muda? Kamu hanya seorang?”
Pertanyaan seperti itu yang sebenarnya kuhindari. Tapi karena aku sendiri yang
telah memulai maka menjawabnya adalah keputusan yang tidakperlu lagi dihindari.
“Sendiri. Sudah hampir tiga bulan aku dan istri sudah tidak tinggal serumahlagi … biasa, percekcokan rumah tangga, dan anakku tentu saja kubiarkan untuk tinggal bersama ibunya …
mereka masih kecil dan aku tak menjamin bias menjaga mereka setelaten ibunya.”
Tawa si bapak kembali terdengar.
“Berarti Ramadan tahun ini benar-benar menyedihkan untuk kau lewati.” Tambahnya—menohok.
“Juga lebarannya.” Dan kali ini kuperkuat.
“Dan maka dari itu kau memutuskan untuk pulang, padahal alangkah bahagianya jika kau membawa serta istri dan anakmu.”
Mau tidakmau, ada tawa yang juga kupaksakan.
“Pun aku sudah begitu lama tidak pulang juga … tapi masih lebih lama
bapak tentunya.” Entah, kuputuskan untuk berkisah kali
ini, membunuh kantuk.“ Aku tidak punya tempat tujuan ketika pulang kampung sejak kedua orang tua berpulang.”
Hening. Dan suara dengkuran halus yang mulai terdengar beberapa saat kemudian. Mataku masih terjaga, mengalihkan pandangan pada jendela yang
menghadirkan temaram lampu dari bawah sana. Apa kabarmu, Makassar?! Lama tak jumpa—sangat. Hanya tampilan layar kaca yang
menceritakan keadaanmu kini. Puluhan tahun lalu tentu tak ada bandingannya dengan hari ini. Dan gemuruh yang kembali membuncah dari hati. Tangisku kembali pecah begitu kalimat si bapak barusan kembali terngiang, Lebaran dan mudik adalah momen
yang paling ditunggu oleh kami yang
tinggal di tanah rantau.Tapi kenapa kurasakan nelangsa yang semakin dalam bahkan saat mobil penumpang membawaku menempuh perjalanan empat sampai lima jam untuk tiba di kota
Bone beberapa saat kemudian. Kembali aku menangis seperti anak kecil. Karena kini kurasakan keperihan yang lain, ketika kepulangan itu tak mempunyai tempat tujuan. Wajah ibu bapak seperti dekat sekali pada ingatan : suasana masa kecil dengan baju yang
masih bau took menjadi hadiah dari bapak apabila aku berhasil khatam alquran selama ramadan, juga aroma kayu bakar yang di atasnya bertengger sepanci besar burasa menjadi tugas utamaku untuk memasukkan kayu baru begitu apinya sudah terlihat kecil. Kemana akan kutemui semua itu. Seketika rindu membuncah,
pada istriku, juga anak-anakku. Telah jauh keegoan itu menguasai hatiku selama ini.
“Jadi sesampai di Bone kamu akan langsung kemana?” Si Bapak masih mencecarku begitu keluar dari bandara tadi. Istri dan anak-anaknya tetap setia mengekor di
belakang dengan beban barang yang pastinya berisi oleholeh untuk sanak keluarga di kampung.
“Mungkin langsung
ke masjid … atau ke rumah keluarga
lain yang semoga saja masih ada
yang tersisa.”
“Anak muda … pulanglah, selalu ingat untuk pulang … mungkin kita tak punya rumah tujuan,
tapi kampong halaman selalu menjadi rumah darimana asal muasal kita berada.”
Si bapak ada benarnya. Suatu hari nanti barangkali akan kuputuskan untuk pulang lebih sering. Untuk melihat makam ibu bapak yang
sudah jelas tak terurus sekarang. Dan tentu saja, untuk menjenguk kenangan. Karena perihal mudik itu adalah rindu dan pulang.
*Penikmat becak dan teh hangat
Terbit di Kolom Budaya Fajar, Edisi 17 Juli 2016